Pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly bahwa ada kemungkinan Presiden Joko Widodo tidak akan menandatangani UU MD3 sebagai wujud penolakannya, dan mendorong masyarakat sipil yang mempermasalakan pasal-pasal UU MD3 mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sama sekali tak bisa diterima dalam logika perundang-undangan. Pernyataan itu menunjukan sikap Pemerintah yang tidak ada itikad baik untuk bertanggungjawab atas permasalahan yang dihasilkannya sendiri.
Perlu diingat dalam hal ini bahwa suatu UU akan disahkan apabila sudah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam hal proses pengesahan UU MD3, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bertugas mewakili Presiden membahas revisi UU MD3 bersama Panja Komisi 1 DPR. Artinya, Pemerintah mengetahui dan ikut serta pembahasan pasal-pasal tersebut, dan pada kahirnya memberikan persetujuan. Apabila Presiden tidak memberikan persetujuan, maka suatu RUU tidak akan disahkan menjadi UU. Seperti contoh pada tahun 2014, Pemerintah tidak melanjutkan untuk membahas Rancangan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat, padahal sebelumnya sudah dibahas secara alot, sampai akhirnya RUU ini dibahas kembali sampai disahkan pada 2016. Ada lagi pada tahun 2012 ketika Pemerintah menunda pengesahan RUU Pendidikan Tinggi, dengan alasan ingin mempelajari lebih lanjut. Catatan terbaru Pemerintah juga sempat menolak pembahasan RUU Pertembakauan yang diajukan oleh DPR pada 2017. Serangkaian pengalaman itu menunjukan bahwa posisi Pemerintah atau Presiden dalam hal ini sangat kuat, dan menimbulkan konsekuensi beban pertanggungjawaban yang penuh bersama DPR terhadap setiap UU yang disahkan.
Kuatnya posisi Presiden dalam pembentukan UU merupakan bentuk dari perwujudan perimbangan kekuasaan antara lembaga legislatif dan ekesekutif. Hal itu menjadi lebih penting ketika RUU yang dibahas sangat kental kepentingan dari salah satu pihak. UU MD3 jelas mengandung kepentingan yang kuat dari DPR, dan pada saat itulah Presiden harus mampu berperan dalam menjaga agar UU yang dihasilkan tetap dalam koridor yang benar, yaitu dalam lingkup negara hukum dan demokrasi. Namun peran itu tidak dijalankan dengan benar oleh Presiden. Publik mencatat bahwa Presiden Joko Widodo melalui Menkumham Yasonna Laoly tak pernah menyatakan penolakan maupun ketidaksetujuannya terhadap UU MD3 pada saat proses pembentukannya. Pernyataan Menkumham Yasonna Laoly bahwa dirinya tak sempat melaporkan mengenai pembahasan pasal-pasal bermasalah kepada Presiden sulit diterima akal sehat. Posisi Pemerintah mengenai UU MD3 ini menurut kalimat Menkumham adalah sebatas Daftar Isian Masalah yang membahas mengenai penambahan kursi pimpinan di DPR. Hal ini menunjukkan keterbatasan pemahaman dan kerangka berpikir dari Pemerintah mengenai bagaimana seharusnya relasi konstituen dan lembaga perwakilan dibangun melalui legislasi.
Patut disayangkan bahwa Presiden Joko Widodo melalui Menkumham gagal belajar dari pengalaman terdahulu, dan gagal memainkan perannya sebagai penyeimbang kepentingan dalam proses legislasi. Selain itu, pernyataan agar masyarakat sipil mengajukan uji materi untuk UU MD3 tidak sepatutnya keluar dari pihak yang justru memiliki otoritas dan mandat untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, untuk kembali melakukan revisi terhadap UU MD3.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PSHK mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengajukan agenda revisi UU MD3, dan membahasnya dengan DPR.
Narahubung:
Fajri Nursyamsi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
0818100917