Siaran Pers:
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3
“Revisi UU MD3, Lanjutkan Reformasi Parlemen”
Dewan Perwakilan Rakyat mengecewakan rakyat di awal periode. Satu masa sidang tersia akibat perseteruan KIH dengan KMP. Persetujuan DPR atas Budi Gunawan bertentangan dengan aspirasi rakyat. Reformasi parlemen terancam mandek jika DPR generasi keempat paskareformasi tak lagi memasukkan UU MD3 sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat DPR tak henti-hentinya berseteru sepanjang masa sidang pertama. Perseteruan tersebut dimulai pada saat Pemilihan Presiden 2014. Paska DPR dilantik mereka memperebutkan kursi pimpinan Alat Kelengkapan DPR. Hingga pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran terabaikan karenanya.
Memasuki masa sidang kedua, rakyat kembali terkejut ketika DPR menyetujui calon Kapolri Budi Gunawan (BG) yang diajukan Presiden meski dua hari sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan BG sebagai tersangka kasus korupsi. Bagaimana mungkin DPR menyetujui calon Kapolri yang sudah jelas statusnya secara hukum dan dipertanyakan oleh rakyat?
Kedua kasus tersebut terjadi akibat pengaturan pemilihan pimpinan alat kelengkapan dan seleksi calon pejabat publik yang tidak standar dalam Undang-Undang 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Kasus tersebut berpotensi berulang dan bertambah karena pengaturan dalam undang-undang tersebut selalu disahkan menjelang pemilihan umum sehingga sarat dengan kepentingan politik.
Dalam catatan koalisi, setidaknya ada lima point penting yang berpotensi menimbulkan kasus:
- Pengaturan rapat tertutup secara tidak ketat berpotensi menimbulkan mafia anggaran julid II. (Pasal 229 dan munculnya klausa “rahasia” pada pasal 189, pasal 186, pasal 132 dan klausa “tertutup” pada pasal 132)
- Kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam memberikan persetujuan tertulis bagi anggota yang dipanggil dan dimintai keterangan oleh pengadilan melebihi kewenangan etik dan berpotensi melindungi pelaku tindak pidana korupsi di parlemen. (pasal 224 dan pasal 245) 3. Penghapusan alat kelengkapan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara tanpa pengalihan fungsi dan sistem pendukung di Komisi berpotensi memperlemah pengawasan anggaran dan memberi ruang yang lebih leluasa untuk “bemain.”
- Desain kewenangan dan jumlah Komisi tanpa mempertimbangkan efektifitas kerja berpotensi memperlemah kinerja DPR dalam mencapai target legislasi, pengawasan dan penganggaran. Jumlah komisi seharusnya menjadi hal yang tetap dan bisa diprediksikan sesuai dengan bidang kerja yang diusulkan oleh pemerintah. Sehinga dengan adanya jumlah komisi yang seimbang dengan bidang kerja pemerintah akan menciptakan keseimbangan dan efektifitas dalam bekerja oleh para anggota Komisi.
- Penambahan hak anggota untuk mengusulkan program daerah pemilihan tanpa diikuti mekanisme akuntabilitas berpotensi menimbulkan penyimpangan anggaran.
Agenda utama reformasi parlemen adalah untuk menciptakan parlemen yang bersih, akuntabel, transparan, representatif dan partisipatif. Kedua kasus di atas dan sejumlah potensi kasus seharusnya diantisipasi dan tak perlu terjadi. Berdasarkan argument di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 mendesak DPR dan pemerintah untuk:
- Memasukkan revisi UU MD3 dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019 dan Prioritas Prolegnas 2015.
- Membahas dan merampungkan revisi UU MD3 maksimal selesai selambat-lambatnya pada 2016. Karena untuk menghindari kepentingan politik.
Contact Person(s):
Ahmad Hanafi (IPC) : 08119952737
Ronald Rofiandri (PSHK) : 0818747776
Roy Salam (IBC) : 081341670121
Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3
PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan),
IPC (Indonesian Parliamentary Center),
YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia),
PATTIRO (Pusat Telaah Informasi Regional),
KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi),
TII (Transparansi International Indonesia),
ICW (Indonesia Corruption Watch),
IBC (Indonesia Budget Center)