Komisi III DPR RI berniat menunda proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap 12 calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial. Alasannya, KY tidak memenuhi permintaan Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan 5 orang hakim agung, yang berarti KY harus mengajukan 15 calon hakim agung ke DPR (3 kali jumlah lowongan). DPR bersikap hanya akan melakukan seleksi semua calon hakim agung secara bersamaan, setelah KY memberikan 3 orang tambahan calon hakim agung yang bisa diambil dari calon-calon yang tidak lolos namun memiliki integritas. Pada sisi lain, KY menanggapi permintaan DPR untuk melengkapi kekurangan kuota calon hakim agung tersebut dengan cara menggelar kembali seleksi untuk menutup kekurangan 3 calon hakim agung pada seleksi periode sebelumnya, sekaligus mencari pengganti empat hakim agung yang akan pensiun pada semester kedua 2012 (Kompas.com 31/5), bukan menambah jumlah calon hakim agung yang telah dieleminir KY pada proses seleksi sebelumnya seperti permintaan DPR.
Penundaan proses uji kelayakan dan kepatutan ini terkesan hanya didasari pada argumentasi yang dibuat-buat. Padahal tahun 2011 lalu, kondisi serupa pernah pula dilakukan oleh KY yang pada saat itu hanya mengirimkan 18 dari yang seharusnya 30 orang calon hakim agung ke DPR. Namun mengapa pada saat itu DPR tidak mempersoalkannya? Mengapa DPR pada saat itu lebih memilih kemanfaatan ketimbang mempermasalahkan soal kuota? Dan yang lebih menggelikan, kenapa DPR ngotot meminta KY untuk mencukupi jumlah kuota dengan mengambil calon hakim yang tidak lulus seleksi. Patut diduga, sikap menunda proses uji kelayakan dan kepatutan ini bisa saja dilakukan karena ada “calon DPR” yang mungkin tidak diloloskan oleh KY.
Adapun persoalan seputar penundaan proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung adalah:
- Menunda uji kelayakan calon hakim agung, pada prinsipnya juga akan menunda penetapan hakim agung yang diharapkan akan segera melaksanakan tugas-tugas Judicialnya di MA. Tabiat DPR yang menonjolkan arogansi kekuasaan semacam ini tidak sekali ini saja terjadi. Beberapa waktu lalu, Komisi III DPR juga pernah menunda-nunda proses seleksi pimpinan KPK tanpa alasan yang jelas atau prinsipil. Sedangkan dalam konteks seleksi calon hakim agung, alasan DPR untuk menunda proses uji kelayakan dan kepatutan karena MA yang masih kekurangan hakim agung, dan anggaran yang telah dialokasikan kepada KY untuk menyeleksi calon hakim agung adalah untuk 15 orang bukan 12 orang (hukumonline.com, 30/5). Pertanyaannya, apakah pilihan DPR untuk menunda proses uji kelayakan tersebut akan menyelesaikan persoalan kebutuhan hakim agung pada saat ini? Atau justru sebaliknya.
- DPR seharusnya memahami bahwa pilihan KY untuk tidak memenuhi kuota 15 orang calon hakim agung ini, dimaknai untuk menjaga integritas Mahkamah Agung. Sebagai puncak dari lembaga Kekuasaan Kehakiman di Republik ini, Mahkamah Agung harus betul-betul diisi oleh orang-orang yang berintegritas dan dapat mendekatkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Maka, tidak ada yang salah jika KY melalui proses yang cukup ketat hanya memilih orang-orang yang dianggap layak untuk diusulkan menjadi hakim agung. Hal ini didasarkan pada setiap aspek yang memang mutlak harus dimiliki oleh seorang hakim agung, yakni integritas dan kualitas. Tatkala nantinya yang terpilih nanti jauh dari kualifikasi tersebut, dapat dibayangkan seperti apa Mahkamah Agung ke depan. Dari catatan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), beberapa orang dari calon hakim agung yang tidak lolos tersebut pernah mengalami hukuman disiplin, membiarkan praktek suap, kedekatan dengan pihak-pihak dari partai politik tertentu. Pada sisi lain, banyak juga dari calon tersebut yang tidak memahami jenis putusan pengadilan, putusan yang bersifat ultra petita, jenis sumpah dalam acara perdata, dan class action, masalah praperadilan, dan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan yang lebih parah lagi, terdapat pula calon hakim agung yang sulit membedakan pengetahuan hukum yang sangat mendasar, seperti beda antara uang pengganti dengan pidana denda.
- Proses fit and proper test di DPR bukan tanpa limitasi waktu. Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang KY dengan tegas menyebutkan bahwa “DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada Presiden paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang sejak diserahkan oleh KY”. Jika dihitung sejak tanggal diajukannya nama-nama calon hakim agung tersebut oleh KY, yakni pada tanggal 14 Mei 2012, maka DPR paling tidak hanya memiliki sisa waktu kurang lebih 16 hari sidang. Padahal pada tanggal 27 Juni 2012, DPR sudah harus menyerahkan nama-nama calon hakim agung ke Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim agung terpilih. DPR harus mengingat, bahwa apabila jangka waktu tersebut terlampaui, maka Presiden berwenang mengangkat hakim agung dari calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial (Pasal 19 ayat 3).
Berangkat dari kondisi demikian, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengecam sikap Komisi III DPR yang menunda proses fit and proper test dengan alasan jumlah calon yang dikirimkan KY yang tidak memenuhi kuota sebanyak 15 orang (3 orang untuk 1 lowongan);
- Mengingatkan Komisi III DPR agar segera menggunakan kewenangannya menyelenggarakan tahapan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung tanpa menunggu tambahan calon hakim dari KY, karena kewenangan DPR untuk menetapkan calon hakim agung terpilih hanya 30 hari sidang semenjak diterimanya nama calon hakim agung dari KY yakni pada tanggal 14 Mei 2012 (DPR hanya meliliki sisa waktu sampai dengan tanggal 27 Juni 2012);
- Mengingatkan Komisi III DPR apabila jangka waktu yang telah ditentukan tersebut terlampaui, maka Presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan hakim agung yang direkomendasikan oleh KY (Pasal 19 Ayat 3).
- Meminta KY agar tidak melengkapi kuota yang berasal dari calon-calon yang tidak diloloskan KY pada tahapan seleksi sebelumnya.