Siaran Pers
“Alternatif Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan”
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
&
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA
Pelanggaran lalu lintas merupakan jenis perkara terbesar yang ditangani oleh Mahkamah Agung. Menurut Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2013, sebanyak 3.214.119 atau 96,40% dari 3.386.149 perkara pidana selama 2013 adalah perkara pelanggaran lalu lintas. Selain jumlahnya yang cukup signifikan, angka itu dapat dikatakan membuka potensi hampir tiga juta orang mempermasalahkan layanan pengadilan. Persepsi positif atas layanan pengadilan penting untuk semakin memperbaiki citra pengadilan dan Mahkamah Agung.
Selain dari melalui pemberitaan berbagai media, Survey Interitas Pelayanan Publik KPK maupun Baseline Survey Pelayanan Publik Pengadilan yang dilakukan oleh PSHK dan Badan Pengawas MA pada 2013 menunjukkan bahwa pengelolaan perkara tilang ada di bawah standar. Beberapa keluhan masyarakat yang dapat diidentifikasi adalah keberadaan calo, suasana antrian yang kacau, dan fasilitas pengadilan yang tidak memadai.
Dari sisi pengadilan, perkara tilang tak pelak juga menyedot tenaga SDM dalam jumlah besar. Beberapa temuan kami di lapangan mengkonfirmasi hal itu. Misalnya, untuk setiap kali sidang tilang, PN Jakarta Timur menyiapkan 1 hakim, 1 panitera, 8 staf pengadilan (pada 2013, perkara tilang yang ditangani berjumlah 170.463 perkara). Lalu, PN Surabaya, dimana disiapkan 1-5 hakim dan 6 staf pengadilan (pada 2013, perkara tilang yang ditangani berjumlah 141.196 perkara).
Dari keadaan diatas, terdapat dua opsi yang dijadikan titik berangkat penelitian ini. Pertama, keinginan untuk mempertahankan beban perkara tilang di pengadilan, namun dengan perbaikan tertentu. Kedua, mengeluarkan atau mengurangi perkara tilang dari beban kerja pengadilan, khususnya bagi perkara dimana pelanggar mengakui kesalahannya (uncontested cases).
Penelitian ini meliputi studi terhadap literatur dan peraturan perundang-undangan. Beberapa kali turut diadakan kelompok diskusi terarah (FGD). Tidak kurang, penelusuran lapangan dilakukan di 6 (enam) PN dengan persebaran wilayah serta kuantitas penanganan perkara yang berbeda. Dari beberapa tahapan tersebut, kami mengindentifikasi beberapa temuan, yaitu:
Pertama, wacana untuk mengeluarkan perkara tilang dari pengadilan menemukan perbenturan dengan ketentuan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Perlu waktu dan sumber daya besar untuk mendorong perubahan kedua undang-undang tersebut. Meski demikian, di sisi berbeda, pelibatan pengadilan merupakan perwujudan due process of law yang memposisikan hakim sebagai tempat mengadu dan memberikan pertimbangan keadilan.
Kedua, pandangan bahwa perkara tilang menjadi beban pengadilan masih beragam. Perkara tilang menjadi beban bagi pengadilan di kota besar dengan jumlah perkara yang juga besar. Sebaliknya, tidak menjadi beban bagi pengadilan di kota kecil dengan jumlah perkara yang kecil. Penggunaan kata “beban” juga tidak luput diuraikan, dimana beban perkara tilang meliputi beban administrasi perkara dan beban persepsi negatif masyarakat terhadap pengadilan. Salah satunya akibat adanya calo dalam pengurusan perkara tilang. Pandangan yang beragam ini juga kami temukan pada panitera maupun hakim yang bertugas menangani perkara tilang.
Ketiga, persepsi masyarakat apabila melanggar lalu lintas sebaiknya memilih slip biru memiliki kerancuan. UU LLAJ tidak membedakan perkara tilang uncontested (slip biru) dengan contested (slip merah). Penerapan blanko tilang didasarkan pada SKEP Kapolri No. SKEP/443/IV/1998. Ketiadaan pengaturan ini juga menyebabkan wacana mengeluarkan perkara tilang slip biru dari pengadilan tidak bisa dilakukan. Penggunaan slip biru dengan uang titipan sebesar ancaman denda maksimal digunakan sebagai ancaman untuk mengurangi pelanggaran lalu lintas. Padahal, UU LLAJ mengatur uang titipan dikenakan kepada pelanggar yang tidak bisa hadir di pengadilan.
Keempat, keberadaan calo dalam sidang pengadilan berkontribusi terhadap penilaian buruk masyarakat kepada pengadilan. Calo dapat dibedakan menjadi dua, yaitu “calo” sebagai penerima kuasa untuk hadir di pengadilan sesuai ketentuan Pasal 231 KUHAP dan “calo” sebagai perantara untuk mempercepat proses pengurusan tilang. Dalam praktik, pembedaan “calo” sulit dilakukan karena jarangnya hakim menanyakan keabsahan kuasa yang diberikan.
Kelima, pelaksanaan teknis persidangan masih beragam. Beberapa temuan menonjol diantaranya adalah penggunaan layanan informasi sidang tilang melalui SMS (PN Surabaya) maupun website (PN Mataram, PN Tulungagung, dan PN Semarang). Terdapat penerapan sistem antrian dengan nomor urut (PN Surabaya). Hingga penataan ruangan yang berdekatan sehingga pelayanan lebih cepat (PN Jakarta Timur).
Keenam, fasilitas pokok berupa loket dan ruangan pelayanan perkara tilang sebagian besar masih belum memadai. Asumsinya disebabkan jumlah perkara yang juga besar. Padahal, keberadaan loket maupun ruangan pelayanan sangat berpengaruh pada kecepatan dan kemudahan pengurusan tilang.
Ketujuh, pelayanan perkara tilang ini sangat bergantung kepada koordinasi dengan lembaga penegak hukum. Dalam praktik, koordinasi ini masih beragam. Terdapat daerah yang sudah berjalan dengan baik, tetapi juga masih ada yang perlu ditingkatkan.
Kedelapan, pengelolaan perkara tilang berdampak pada persoalan akuntabilitas keuangan/penerimaan negara.
Terhadap beberapa temuan di atas, kami mengajukan dua poin besar rekomendasi, yaitu rekomendasi jangka pendek dan jangka menengah. Rekomendasi jangka pendek meliputi (i) perubahan SKB Ketua MA, Menkeh, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Lalu Lintas (SKB 19 Juni 1993), (ii) melakukan identifikasi praktik-praktik baik yang sudah diterapkan di pengadilan dan menjadikannya model standar nasional, (iii) mengembangkan buku standar pelayanan pengadilan untuk pengelolaan perkara tilang, (iv) memperbaiki layanan dengan mengoptimalkan peran SDM serta penyesuaian dengan beban kerja, (v) memperbaiki fasilitas pengadilan terutama penyediaan loket khusus, (vi) mengurangi ruang gerak calo melalui pelarangan jasa pengurusan tilang dan kemungkinan pencantuman kuasa dalam buku register, (vii) koordinasi pelaksanaan tugas yang lebih baik dengan Kepolisian dan Kejaksaan, dan (viii) peningkatan kapasitas SDM dalam pelayanan perkara tilang.
Sementara rekomendasi jangka menengah yang kami tawarkan adalah (i) mengeluarkan perkara uncontested dari pengadilan melalui perubahan peraturan perundang-undangan, (ii) perbaikan pola hubungan dan koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, (iii) mengkaji ulang pengaturan UU LLAJ yang menetapkan uang titipan dengan ancaman denda maksimal, dan (iv) perubahan ketentuan untuk membedakan perlakuan antara slip biru dan slip merah.
Untuk menyaksikan LAWmotion #16 – Alternatif Pengelolaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas di Pengadilan, silahkan buka linknya di sini
Kontak :
Nur Sholikin : 0816 1800 674