Satu Tahun Jokowi dan Masa Depan KPK
Sudah genap 1 (satu) minggu sejak Kabinet Kerja Jokowi-JK berumur 1 (satu) tahun, dan dalam masa satu tahun tersebut, belum banyak perubahan yang terjadi dalam konteks pemberantasan korupsi, terutama penyelamatan KPK. Ada 5 (lima) hal yang perlu diperhatikan terkait penyelamatan KPK yang menjadi catatan penting menurut Indonesia Corruption Watch. Kelima catatan tersebut adalah, seleksi Capim KPK, kriminalisasi pegiat anti korupsi, revisi UU KPK, revisi peraturan terkait remisi, dan kinerja kabinet kerja.
Kelima catatan kritis sekaligus juga menjadi rekomendasi bagi penyelamatan KPK yang sejalan dengan semangat Nawacita, janji kampanye Pemerintahan Jokowi JK yang menjadi pengejawantahan visi dan misi kabinetnya. Kelima catatan kritis dan rekomendasi ini diharapkan dapat memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi ke depannya.
1.Jangan ada Seleksi Ulang Capim KPK
Presiden Jokowi sudah mengirimkan 8 (delapan) nama Capim KPK yang dianggap pantas menempuh uji kelayakan kepada DPR, September lalu. Bersama dengan 2 (dua) calon yang juga sudah lolos pada seleksi 2014, Komisi III DPR RI akan menjalankan uji kelayakan untuk memilih 5 (lima) Capim KPK untuk periode 2015-2019.
Meskipun masih ditemukan 3 (tiga) nama Calon KPK yang memiliki rekam jejak yang potensial kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi, namun proses uji kelayakan tetap akan dilakukan atas seluruh calon yang namanya telah diterima DPR. Untuk itu, Presiden Joko Widodo patut memastikan bahwa proses uji kelayakan akan berjalan sesuai dengan tengat waktu yang tersedia, yaitu kurang dari 2 (dua) bulan hingga masa jabatan 2 ( dua) Komisioner dan 3 (tiga) Plt Komisioner KPK selesai.
Terkait hal tersebut, Presiden harus memastikan bahwa uji kelayakan terhadap para Capim KPK akan menghasilkan 5 (lima) Komisioner KPK, dan tidak kurang dari jumlah tersebut. Jika akhirnya DPR RI tidak memilih sesuai dengan jumlah tersebut, Pemerintah harus memastikan posisinya untuk tidak melakukan seleksi ulang untuk memenuhi kembali jumlah Capim KPK yang diminta DPR RI.
Seleksi ulang Capim KPK justru kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi, karena akan menghabiskan lebih banyak waktu, menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, dan belum tentu calon-calon yang akan terpilih kemudian memiliki kualitas yang baik. Untuk itu, jangan sampai Seleksi Capim KPK justru menjadi andil perlambatan pemberantasan korupsi karena adanya wacana seleksi ulang Capim KPK, sebagaimana yang pernah berhembus pada Seleksi Capim KPK 2014.
2.Penghentian Kriminalisasi Pegiat Anti Korupsi
Sejak marak terjadi pada awal 2015, kriminalisasi terhadap para pegiat anti korupsi, khususnya 2 (dua) Komisioner KPK Non-aktif Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, belum ada keputusan politik yang diambil oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan kriminalisasi tersebut. Hingga saat ini, kedua komisioner non aktif tersebut masih berstatus tersangka, dan bahkan berkas penyelidikannya sudah disampaikan ke Kejaksaan dan dinyatakan lengkap untuk penyusunan dakwaan. Kriminalisasi yang berlanjut ini tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menginginkan kriminalisasi dihentikan, namun tidak ada langkah konkrit yang diambil untuk menyelesaikan polemik ini.
Kriminalisasi yang marak terjadi pasca penetapan Komjenpol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, masih belum cukup menarik perhatian Presiden Joko Widodo untuk mengambil sebuah sikap dan keputusan politik. Padahal, keputusan tersebut sangat penting untuk membuktikan komitmen anti korupsi Jokowi-JK, dan untuk memenuhi janji Nawacita Jokowi-JK yang bersepakat untuk memperkuat KPK.
Keputusan Presiden untuk menghentikan kriminalisasi tentu tidak dapat dianggap sebagai intervensi hukum yang merugikan upaya penegakan hukum. Hal ini justru harus diambil karena proses hukum yang berjalan terhadap kedua komisioner non-aktif KPK ini, sarat dengan kepentingan-kepentingan nono hukum yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melemahkan dan memperlambat kerja KPK dalam memberantas korupsi.
3. Penghentian Pembahasan Revisi UU KPK
Salah satu hal penting yang juga potensial mengancam eksistensi KPK adalah pelemahannya melalui proses legislasi. Hal ini dapat dilihat dari maraknya wacana Revisi UU KPK dalam janka waktu satu tahun ini. Tercatat ada 2 (dua) kali wacana revisi UU KPK dalam masa pemerintahan Jokowi-JK ini, dan dalam kesempatan tersebut, substansi revisi UU KPK justru bersifat melemahkan KPK.
Meskipun telah menuai banyak kritisme dari publik, rencana tersebut juga digugurkan, karena baik pemerintah maupun DPR RI hanya menunda pembahasan tersebut, padahal harusnya pembahasan Revisi UU KPK dihentikan saja, dan tidak perlu dibahas bahkan prolegnas di masa-masa mendatang.
Sesuai dengan janji Nawacita Jokowi-JK dalam hal Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum yang Bebas Korupsi, Jokowi-JK berjanti untuk membangun politik legislasi yang kuat di bidang pemberantasan korupsi. Dalam konteks tersebut, sudah sepatutnya rencana-rencana revisi mapun pembentukan undang-undang dilakukan atas dasar penguatan pemberantasan korupsi dan KPK.
Jadi, Presiden harus memastikan bahwa peraturan-peraturan hukum yang akan dibahas dan dihasilkan oleh Kabinet Kerja, sesuai dengah semangat tersebut. Jika akhirnya Revisi UU KPK dibatalkan pembahasannya, jangan sampai muncul pelemahan dari peraturan hukum lain, seperti RUU KUHP. Pemerintah justru harus berinisiatif untuk mempercepat pembahasan RUU yang memperkuat pemberantasan korupsi seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan Revisi UU Tipikor.
4.Jangan Revisi Remisi untuk Koruptor
Wacana Revisi PP 99/2012 tentang Hak Warga Binaan kembali menyeruak dalam masa pemerintahan Jokowi-JK. Revisi tersebut potensial besar bertentangan dengan semangat penjeraan koruptor dan upaya pemberantasan korupsi, karena hendak meniadakan syarat pengetaan penerimaan remisi.
Sebagaimana diketahui, ada sejumlah syarat penerimaan remisi korupsi yang diperketat melalui PP 99/2012 ini yaitu, kewajiban untuk membayar denda dan uang pengganti, bersedia menjadi saksi pelaku yang bekerja sama, dan mendapat pertimbangan tertulis dari lembaga terkait yang menanganni perkara. adapun syarat yang diwacanakan untuk dihapus adalah keharusan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), padahal syarat ini sangat penting untuk mengungkap pelaku utama dan perkara korupsi yang sejelas-jelasnya.
Untuk itu, Presiden Jokowi harus memastikan bahwa revisi tersebut tidak terjadi, karena akan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan untuk tidak memberikan remisi bagi koruptor, kecuali bagi narapidana korupsi yang memenuhi syarat dalam Pasal 34 A PP 99/2012, sehingga Presiden harus memastikan bahwa Surat Edaran Menkumham terkait pembatasan penerapan PP 99/2012 harus dicabut oleh Menkumham.
5.Mengontrol Anggota Kabinet dan Parpol Pendukung Pemerintah
Dalam merespon beberapa kondisi dan isu terkait pemberantasan korupsi, sikap Anggota Kabinet Kerja dan Parpol pendukung pemerintah kerap tidak sejalan dengan Presiden Joko Widodo. Selain menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, hal ini juga menunjukkan kurangnya ketegasan Presiden Jokowi dalam menyikapi perilaku tersebut.
Sepatutnya, Presiden Jokowi dapat dengan tegas bersikap terhadap perbedaan-perbedaan sikap tersebut, karena posisi dari para anggota kabinet dan parpol pendukung, sangat berpengaruh terhadap pengambilan dan pembuatan kebijakan publik dan peraturan hukum yang berpengaruh secara signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Ke depannya, Presiden Joko Widodo harus tegas menyikapi hal-hal tersebut, karena pada akhirnya Presidenlah yang memilki kuasa tertinggi untuk melakukan perbaikan kelembagaan negara dan memperkuat pemberantasan korupsi.
Jika ada sikap-sikap atau kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi dan sikap Presiden Jokowi sendiri, sudah sepatutnya oknum-oknum maupun parpol tersebut dikeluarkan dari kabinet mapupun didepak dari koalisi pendukung pemerintah.
Untuk itu, kami merekomendasikan 5 (lima) hal di atas untuk dilakukan oleh Presiden Jokowi yaitu:
- Memastikan tidak ada proses seleksi ulang Capim KPK periode 2015-2019;
- Menghentikan kriminalisasi pegiat anti korupsi;
- Menghentikan pembahasan Revisi UU KPK dan mempercepat pembahasan RUU lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi;
- Tidak merevisi Peraturan Pemerintah terkait Remisi untuk narapidana korupsi; dan
- Mengontrol anggota kabinet dan parpol pendukung pemerintah untuk sejalan dengan semangat Presiden Jokowi dalam memberantas korupsi.