Rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) akibat dugaan tindak pidana korupsi yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, perlu mendapatkan perhatian serius. Dari berbagai media, secara garis besar, Presiden menyatakan nantinya terdapat 3 (tiga) poin utama dalam Perppu tersebut yakni persyaratan hakim konstitusi, penjaringan dan pemilihan hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK.
Harus diakui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memang memberikan hak bagi Presiden secara konstitusional untuk menerbitkan Perppu (Pasal 22), yaitu dalam konteks adanya ihwal kegentingan memaksa. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Perppu adalah sebagai noodverordeningsrecht atau produk hukum yang dikeluarkan berdasarkan hak subjektif Presiden guna melakukan pengaturan ketika ada keadaaan yang genting dan memaksa. Hak subjektif Presiden yang diberikan oleh konstitusi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 butir 4, Pasal 7, dan Pasal 11). Sedangkan mekanisme pemberian persetujuan oleh DPR agar Perppu tersebut dapat atau tidak dapat berlaku sebagai undang-undang diatur dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011.
Mengenai konteks “ihwal kegentingan memaksa” perlu untuk dibahas lebih lanjut. Keadaan yang “memaksa” merujuk kepada hal yang berkaitan dengan substansi pengaturan dari suatu Perppu. Perlu diperjelas apakah ada persoalan substansial yang memaksa untuk dikeluarkannya Perppu. Hal ini mengingat dalam keadaan normal sekalipun persyaratan hakim konstitusi, pemilihan hakim konstitusi, dan pengawasan terhadap MK seharusnya diatur secara normatif dalam undang-undang. Dalam kapasitas Presiden yang memiliki kewenangan konstitusional untuk membentuk undang-undang bersama dengan DPR, berdasarkan substansi pengaturannya, lebih tepat ketiga hal tersebut diajukan dalam bentuk RUU inisiatif oleh Presiden (dapat melalui perubahan UU MK).
Selanjutnya, hal kedua yang patut diperjelas adalah maksud dari keadaan “genting”, yang merujuk kepada hal yang berkaitan dengan waktu/kondisi pada saat dikeluarkannya Perppu. Patut diperhatikan apakah ada waktu/kondisi yang mengharuskan Presiden mengeluarkan Perppu. Hal ini mengingat hingga hari ini persidangan di MK masih berjalan dengan jumlah hakim konstitusi masih mencapai syarat kuorum. Begitu juga belum ada penarikan perkara atas dasar ketidakpercayaan kepada MK. Dengan dasar penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa keadaan yang genting dan memaksa belum terpenuhi untuk dikeluarkannya Perppu oleh Presiden.
Penangkapan terhadap Akil Mochtar tentu saja mengejutkan publik dengan segala harapannya kepada MK. Proses hukum yang berlangsung juga tidak boleh luput dari perhatian. Namun, di sisi lain, perlu kejernihan berpikir dalam memandang permasalahan ini, bahwa secara kelembagaan MK masih penting dan perlu dijaga kewibawaannya. Dukungan publik kepada MK merupakan dorongan positif untuk membenahi lembaga yang lahir dari proses panjang reformasi ini. Begitu juga dengan rencana penerbitan Perppu oleh Presiden yang patut diberi perhatian. Berdasarkan argumentasi diatas, terhadap ketiga materi tersebut lebih tepat kiranya diatur dalam bentuk undang-undang, lebih tegasnya dapat melalui RUU inisiatif oleh Presiden.
Miko Susanto Ginting (085722447687)