Usman Hamid, aktivis dan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan (Kontras), menjadi tersangka pada September 2009. Berselang tahun, kasusnya belum dihentikan dan status tersangkanya belum dicabut. Haknya untuk mendapat kepastian hukum dan keadilan telah dilanggar.
Theodorus Tekwan Ajat, petani di Kutai Barat, menjadi tersangka pada Agustus 2014. Tiga kali perkaranya dilimpahkan dan dikembalikan penuntut umum kepada penyidik. Hingga hari ini, kasusnya belum dihentikan dan status tersangkanya belum dicabut. Hak seorang warga negara akan kepastian hukum kembali terlanggar, ditambah lagi sebelumnya ia juga pernah ditahan.
Contoh di atas hanya dua dari puluhan ribu kasus dengan nasib serupa. Data menunjukkan gambaran yang fantastis. Laporan Tahunan Polri 2012-2014 menyebutkan Polri sebagai penyidik menerbitkan 643.063 surat perintah penyidikan ( di luar tindak pidana korupsi). Kejaksaan sebagai penuntut umum dalam laporan tahunan 2012-2014 menerima 463.697 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Polri (di luar tindak pidana korupsi).
Artinya, penyidik Polri dalam 179.366 perkara tidak memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut. Ketiadaan pemberitahuan ini menonjolkan gejala bahwa penyidikan menjadi domain absolut penyidik tanpa diketahui pihak lain, penuntut sekalipun. Bangunan akuntabilitas pada proses penyidikan rapuh. Mekanisme saling kontrol yang seharusnya dilakukan penyidik dan penuntut sebagai fungsi yang tak terpisahkan tidak tercipta.
Pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan sekadar instrumen administratif. Pemberitahuan itu adalah pintu masuk akuntabilitas penyidikan guna menghindari penyalahgunaan wewenang dan korupsi yudisial. Sebagaimana dinyatakan Robert Klitgaard (1991:75), korupsi terjadi karena monopoli terhadap kewenangan ditambah keleluasaan tanpa akuntabilitas.
Tiadanya pemberitahuan penyidikan itu juga berakibat bolak-baliknya berkas perkara. Data menunjukkan, sepanjang 2012-2014 terdapat 157.050 berkas perkara yang dikembalikan penuntut kepada penyidik. Pengembalian berkas perkara ini memperpanjang waktu yang diemban seseorang dalam proses peradilan.
Sebanyak 47.008 berkas perkara dikembalikan penuntut kepada peyidik, tapi tidak dilengkapi dan dikembalikan. Sebanyak 2.735 perkara dihentikan penyidikannya. Dengan demikian, 44.273 perkara tidak dihentikan penyidikannya sekaligus tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Jumlah itu adalah jumlah berkas perkara yang dalam satu berkas bisa terdapat lebih dari satu orang tersangka. Dengan asumsi satu orang tersangka dalam satu berkas perkara saja, hanya dalam waktu tiga tahun sebanyak 44.273 oranga tidak diperoleh kepastian hukum dan keadilan karena kasus dan status tersangkanya tidak jelas.
Kententuan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah akar dari permasalahan itu. Pasal 109 ayat (1) KUHAP menyatakan, ketika penyidikan dimulai, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum. Namun, ketentuan itu tidak diikuti dengan norma yang bersifat wajib sehingga seakan-akan penyidik bebas mengirim pemberitahuan atau tidak.
KUHAP tidak mengamanatkan peran aktif penuntut umum pada tahapan penyidikan. Penuntut umum, yang dikenal sebagai dominus litis (pengendali perkara), diberi peran sebatas memberi petunjuk apabila ada kekurangan dalam hal penyidikan, menurut Pasal 14 huruf b KUHAP.
Penuntut, sebagai pihak yang menghadapkan, membacakan dakwaan terhadap seseorang di muka persidangan, seharusnya mengetahui suatu perkara secara substantif dari awal, tengah, hingga akhir proses. Bukan hanya melalui berkas perkara yang dikirim oleh penyidik.
Demi keadilan dan kepastian, suatu perkara harus sesegera mungkin diajukan kemuka persidangan atau dihentikan demi hukum. Tanpa kepastian regulasi mengenai batas waktu penyidikan dan bolak-balik berkas perkara, seseorang dapat berstatus tersangka hampir seumur hidup.
Ketidakpastian batas waktu penyidikan dan bolak-balik berkas perkara itu didukung pengaturan KUHAP. Pasal 138 ayat (2) KUHAP menyatakan, apabila berkas dikembalikan. Penyidik memiliki waktu 14 hari untuk melengkapinya. Tidak ada konsekuensi jika dalam kurun waktu itu penyidik tidak menyerahkan kembali berkas kepada penuntut umum. KUHAP juga tidak tegas mengatur apakah proses pengembalian berkas itu hanya dapat dilakukan satu kali atau berkali-kali.
Jalan keluar terhadap persoalan besar proses acara pidana Indonesia itu adalah melalui penegasan norma dalam regulasi. Dengan kata lain, penyempurnaan KUHAP dan pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Konstitusi adalah solusi untuk mengurai masalah yang semakin hari semakin menggunung itu.
============================================================================
Sumber : Surat Kabar Harian Tempo
Terbit pada : Kamis, 13 Mei 2016