Jakarta, CNN Indonesia — Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu dilakukan lantaran tak ada alasan mendasar. Komisi antirasuah dinilai telah efektif memberantas korupsi dibanding dua penegak hukum lainnya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
“Alasan undang-undang direvisi adalah kalau suatu lembaga ternyata tidak efektif. Dari data yang ada (Kata Data), nilai kasus yang diusut di Kepolisian tahun 2014 sebanyak Rp132 miliar (123 kasus), KPK Rp3 triliun (34 kasus), dan Kejaksaan Rp1,7 triliun (472 kasus),” kata Bivitri dalam diskusi di Kantor PSHK, Jakarta, Kamis (11/2).
Angka tersebut menurut Bivitri cukup mengejutkan mengingat KPK hanya berada di Jakarta sementara Kepolisian dan Kejaksaan tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, KPK adalah lembaga yang baru dibentuk pada tahun 2003 lalu.
“Menurut kami yang dilakukan DPR itu politik legislasi tidak wajar karena dilandasi oleh rasa ketidaksukaan,” katanya.
Natali menduga ada oknum di parlemen yang ingin menguliti KPK dengan mengamputasi wewenangnya. Kepentingan ini justru bertentangan dengan semangat yang dikobarkan Presiden Joko Widodo untuk menguatkan KPK. Anggota perlemen dinilai gerah dan resah dengan keberadaan KPK yang berhasil menguak tabir korupsi di Senayan. Dua anggota DPR belakangan diciduk dalam operasi tangkap tangan yang berjalan mulus akibat penyadapan sebelumnya. Kedua anggota parlemen tersebut yakni Dewie Yasin Limpo dan Damayanti Wisnu Putranti.
Lebih jauh, ia beranggapan, “MK sudah menyatakan bahwa tidak ada masalah konstitusional dengan desain KPK dan wewenangnya.”
Berdasarkan penelusurannya, UU KPK digugat sebanyak 18 kali ke Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003. Namun, seluruh gugatan ditolak oleh majelis hakim. Artinya, tak ada yang salah dengan UU KPK tersebut.
Hal yang sama dilontarkan Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Natalia Subagyo. Mantan panitia seleksi pimpinan KPK ini menilai tak ada urgensi revisi UU KPK. “Saya kira belum waktunya untuk direvisi terutama sekarang konteks politik begitu tidak mencerminkan semangat antikorupsi yang tinggi. Apabila ini terus didorong sampai terjadi, ini kami kawatir ini akan semakin menjatuhkan kredibilitas lembaga DPR itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
“Ini justru bertentangan dengan apa yang diinginkan presiden, tidak perlu revisi yang memperlemah tapi kalau ada harus memperkuat. Ini tidak terjadi,” ucapnya.
Kacaukan Sistem
Sejumlah poin dalam gubahan UU KPK dinilai justru merusak sistem pemberantasan korupsi yang telah ada misalnya terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Bivitri menilai penerbitan SP3 justru memberikan ruang jual beli kasus oleh lembaga penegak hukum, seperti yang diduga terjadi di Kepolisia dan Kejaksaan.
“Itu bisa buka peluang komoditas bagi para penegak hukum lainnya untuk diperjualbelikan dan celah kompromi politik kalau KPK sidik pemegang kekuasaan,” ujar Bivitri.
Contoh lainnya, Bivitri menjelaskan terkait mekanisme penyadapan yang dianggap berbelit. Pembatasan prosedur penyadapan yang harus mendapat izin dari Dewan Pengawas dinilai tak sesuai dengan konteks Indonesia.
“Batasan yang terlalu ketat juga bisa kacaukan pemberatasan korupsi. Ini mekanisme yang anomali dan mengacaukan sistem,” ucapnya.
Sementara itu, Natali Subagyo menilai tak perlu dibentuk Dewan Pengawas. KPK selama ini telah cukup ketat diawasi oleh masyarakat dan pihak lain. Pembentukan Dewan Pengawas juga bakal rumit.
“Kemarin saja memilih pimpinan KPK sudah rumit dan mendalam, bagaimana nanti memilih Dewan Pengawas? harus orang seperti apa yang dicari?” katanya.
Presiden Didesak Tolak Bahas
Dengan kondisi demikian, keduanya sepakat untuk mendesak presiden agar tak membahas RUU KPK yang nantinya bakal menjadi usulan DPR. Presiden dapat menerbitkan surat penolakan pembahasan.
“Di Badan Legislasi kan nanti di paripurna disahkan jadi RUU. Setelah itu dikirim ke presiden dan minta dikirim menteri ke DPR untuk bahas. Sudah hentikan saja. Kalau DPR tidak mau dengar masukan kami yang rasional ini, prseiden lah yang harus raisonal, jangan kasih untuk bahas,” katanya.
Presiden memiliki wewenang untuk menolak pembahasan yang nantinya RUU ini dapat gugur dan tak dibahas. Pembentukan UU, menrutnya harus ada kesepakatan antara DPR dan presiden, merujuk UUD 1945. (bag)
============================================================================
Sumber : http://www.cnnindonesia.com/
Terbit pada : Kamis, 11 Februari 2016
Tautan online: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160211125439-12-