JAKARTA, 20 Desember 2013 — Tim Advokasi untuk Kebebasan Berserikat mengajukan permohonan pengujian terhadap sebelas pasal bermasalah dalam Undang-‐undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Para pemohon pengujian yang didaftarkan kepada Mahkamah Konstitusi per 20 Desember 2013 tersebut adalah Yayasan FITRA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). Selain itu juga terdapat tiga pemohon individu, antara lain Said Iqbal, Choirul Anam, dan Poengky Indarti.
Direktur YAPPIKA Fransisca Fitri mengungkapkan kesebelas pasal bermasalah yang dimohonkan untuk pengujian adalah pasal 1 angka 1, pasal 1 angka 6, pasal 5, pasal 8, pasal 10, pasal 11, pasal 23, pasal 29 ayat (1), pasal 42 ayat (2), pasal 57 ayat (2) dan (3), serta pasal 59 ayat (2) huruf b, c, dan e. Penjelasan lebih lanjut lihat Lampiran 1.
“Kesebelas pasal tersebut telah mengekang dan merugikan hak‐hak konstitusional lantaran menciptakan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir,” tegas Fransisca yang juga Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB).
Pengajuan peninjauan kembali pasal‐pasal UU Ormas tersebut diperkuat dengan temuan kasus yang terjadi hanya dalam kurun waktu 5 bulan setelah pengesahan. Wahyudi Djafar, Koordinator Tim Advokasi untuk Kebebasan Berserikat dari ELSAM, mengungkapkan temuan pelanggaran mengarah pada pembatasan peran organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan kinerja pemerintah. Temuan lain lihat Lampiran 2.
Pengesahan UU Ormas mengembalikan pendekatan politik dan keamanan terhadap sektor sosial masyarakat di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik.Pendekatan politik ini telah ditinggalkan oleh mayoritas negara‐negara di dunia, karena hendak mencerminkan prinsip negara hukum yang mereka anut. Sementara minoritas negara yang pada umumnya masih otoritarian, meletakkan pengawasan sektor sosial masyarakat di bawah Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
Oleh karena itu, publik luas perlu mendukung proses pengujian UU Ormas di Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan undang‐undang yang telah menciderai kebebasan berserikat dan membatasi hak organisasi berpartisipasi dalam pembangunan. Bersama‐sama mengawasi dan mengadvokasi jika dalam pelaksanaan UU Ormas diikuti dengan tindakan sewenang‐wenang. Publik perlu untuk mengawal proses penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, agar tidak terjadi penyusupan norma, khususnya terkait dengan pendaftaran yang saat ini bersifat sukarela dan tidak mewajibkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT), jangan sampai berubah menjadi norma wajib dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan lebih lanjut:
- Fransisca Fitri, Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) 0818 202 815
- Wahyudi Djafar, Koordinator Tim Advokasi untuk Kebebasan Berserikat (Kuasa Hukum) 08138208 3993
LAMPIRAN 1
PASAL-PASAL KRUSIAL DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN
Terdapat 11 ruang lingkup pasal UU Ormas yang dimohonkan untuk pengujian oleh Mahkamah Konstitusi, karena telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, sehingga merugikan hak-hak konstitusional. Kesebelas ruang lingkup tersebut adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan (3), serta Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pertama, tentang rumusan definisi tentang organisasi kemasyarakatan (Pasal 1 angka 1) dan pengaturan yang secara khusus mengatur tujuan Ormas (Pasal 5) telah menyempitkan jaminan perlindungan hak atas kebebasan berserikat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Batasan pengertian Ormas yang kemudian membawahi semua bentuk asosiasi atau organisasi yang hidup di Indonesia, telah mempersempit hak atas kebebasan berserikat menjadi hanya Ormas.
Kedua, pengaturan tentang Ormas lingkup nasional (Pasal 8 jo. Pasal 23) telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketidakpastian hukum ini lahir dari kontradiksi norma pengaturan kategorisasi lingkup Ormas dengan wilayah kerjanya di dalam UU Ormas, dan dengan UU Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum. Menurut Pasal 15 ayat (3) UU Ormas, organisasi berbadan hukum bebas untuk beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. UU Yayasan dan Stb. 1870-64 mengatur badan hukum yayasan dan perkumpulan secara otomatis bebas beroperasi di seluruh wilayah negara RI. Ketentuan ini dinegasikan oleh Pasal 23 yang mengharuskan batas minimal jumlah cabang yang dimiliki untuk menentukan lingkup organisasi. Namun, Pasal 27 menegasikan ketentuan Pasal 23 dengan menyebutkan bahwa wilayah kerja Ormas adalah di seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, ketentuan Ormas berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum, berbasis anggota dan tidak berbasis anggota (Pasal 10); perkumpulan dan yayasan (Pasal 11); serta ketentuan Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri (Pasal 1 angka 6) telah menciptakan konflik norma, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ruang lingkup pasal-pasal UU Ormas ini menegaskan kembalinya pendekatan politik sebagai panglima terhadap sosial masyarakat dengan menyingkirkan prinsip negara hukum dan kepastian hukum.
Keempat, ketentuan pasal-pasal pada uraian nomor ketiga menghambat peran serta masyarakat dalam pembangunan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Keberadaan pasal-pasal dimaksud, telah mempersempit ruang untuk mendirikan suatu organisasi, atau jika ingin bergabung dalam suatu wadah organisasi guna berperan serta dalam pengembangan masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Kelima, ketentuan tentang tata cara pemilihan kepengurusan Ormas (Pasal 29 ayat (1)) dan penyelesaian sengketa (Pasal 57 ayat (1) dan (3)) yang memberikan ruang bagi pemerintah dalam urusan internal organisasi telah mengancam independensi organisasi sebagai pihal utama hak atas kebebasan berserikat. Pengaturan ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Keenam, pasal terkait larangan (Pasal 59 ayat (2)) telah menciptakan ruang penafsiran yang luas, sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum. Hal ini bertentangan dengan Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terkait pasal dalam UU Ormas, telah menciptakan penafsiran yang multi interpretatif, khususnya terhadap frasa ‘penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama’, frasa ‘kegiatan separatis’, serta frasa ‘kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum’ karena ketiadaan penjelasan yang memadai.
LAMPIRAN 2
TEMUAN KASUS TERKAIT IMPLEMENTASI UU ORMAS
Dalam lima bulan setelah pengesahan (R)UU Ormas, telah ditemukan beberapa kejadian pelanggaran atas kebebasan berserikat dan berorganisasi. Kejadian ini menciderai hak atas hak informasi dan membatasi peran organisasi masyarakat sipil dalam berpartisipasi pada pembangunan, khususnya memantau kinerja pemerintah.
- Pada Agustus 2013 FITRA Sumut mendapat penolakan untuk mendapatkan dokumen RKA (Rencana Kerja Anggaran) dari Dinas Komunikasi dan Informasi dan Pusat Data Elektronik Kabupaten Karo. Alasan yang disampaikan oleh Dinas tersebut adalah FITRA Sumut tidak terdaftar di Kesbangpolinmas Kabupaten Karo sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sebelum memiliki status terdaftar di Kesbangpolinmas Kabupaten Karo, FITRA Sumut tidak dapat memperoleh data dan informasi yang diminta. Sementara FITRA Sumut merupakan organisasi berbadan hukum Yayasan yang menurut UU Ormas tidak wajib mendaftarkan diri karena telah secara otomatis terdaftar sebagaimana diatur pada Pasal 15 UU Ormas tentang pendaftaran ormas berbadan hukum. Sebagai badan hukum, FITRA Sumut memenuhi persyaratan sebagai pemohon informasi seperti diatur pada Pasal 1 ayat 12 UU KIP.
- Hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan Kesbangpol Kabupaten Lombok Tengah menemukan bahwa 47 LSM, termasuk yang sering melaksanakan hearing ke sejumlah dinas maupun DPRD ternyata tidak memiliki ijin. “Kalau sudah tidak memiliki kantor ditambah tidak mengantongi izin, artinya sebagian besar LSM kita ini ilegal” demikian penjelasan HM Suhardi, Kepala Kesbangpol Lombok Tengah. Walaupun LSM tersebut memiliki akte pendirian, AD/ART dan struktur kepengurusan, keberadaan kantor dianggap menjadi salah satu pengakuan hukum di mata Kesbangpol. (lihat Lombok Post, Senin 16 September 2013, dan Harian Umum Nurani Rakyat 23 Agustus 2013). Dalam kejadian ini belum sampai terjadi pelanggaran atas hak berorganisasi, tetapi pemberian ‘stigma ilegal’ akan dapat berpengaruh pada penghambatan peran-peran berbagai LSM (di antaranya adalah peran partisipasi dan pemantauan) oleh pihak-pihak yang tidak suka, tidak tertutup kemungkinan termasuk oleh pemerintah daerah.
- Surat Edaran Gubernur Lampung No.045.2/0427/11.03/2013 tentang Ormas/LSM yang terdaftar pada Pemerintah Provinsi Lampung. Angka 5 dari Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa Ormas, LSM, atau Lembaga Nirlaba di Lampung yang tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dianggap illegal. Surat Edaran ini dibuat 3 bulan sebelum lahirnya UU Ormas baru. Namun demikian hal ini patut dicermati agar tidak menciderai kebebasan berserikat berkumpul di Indonesia. ‘Stigma ilegal’ dapat secara sembrono digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan organisasiorganisasi kritis misalnya, sehingga akan berdampak mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan.