Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Terkait Tindakan Represif Aparat Polri dalam Berbagai Kesempatan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapat sorotan karena melakukan berbagai tindakan kontra demokrasi dan melanggar hak asasi manusia (HAM) dalam satu pekan terakhir. Korban jiwa berjatuhan dan disinyalir berasal dari tindakan represif aparat dalam menangani aksi demonstrasi di sejumlah daerah.
Pemberitaan yang tersebar di banyak media menunjukkan aparat Polri menendang, memukul, dan bahkan menggilas peserta aksi dengan kendaraan taktis. Perilaku sebagaimana ditampilkan di berbagai pemberitaan tersebut amat berlebihan sekaligus berpotensi melanggar peraturan internal Polri sendiri, yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, karena tidak memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas dalam melakukan tindakan.
Selain itu, terkait penanganan aksi demontrasi, Polri juga harus menjawab pertanyaan publik mengenai dugaan adanya ketertutupan terhadap informasi mengenai penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap peserta aksi. Apakah benar ada sejumlah peserta aksi yang tidak diketahui keberadaannya saat ini karena ditahan oleh pihak Kepolisian? Apakah benar peserta aksi yang ditahan oleh pihak Kepolisian belum mendapatkan pendampingan hukum? Pertanyaan-pertanyaan itu harus mampu dijawab oleh Polri mengingat aksi demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat adalah perwujudan dari hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945.
Tidak berhenti di situ, potensi pengekangan demokrasi pun dilakukan aparat Polri terhadap pembuat film dokumenter Dandhy Dwi Laksono dan seniman Ananda Badudu. Sebelumnya, Polri melalui akun media sosialnya juga menyebarluaskan berita bahwa ambulans milik Palang Merah Indonesia (PMI) mengangkut batu dan bensin; sebuah disinformasi yang dengan tegas disanggah oleh pihak PMI. Walaupun kemudian berita tersebut dihapus dari akun media sosial Polri, tetapi dalam kesempatan berikutnya Polri bersikeras menyatakan bahwa berita tersebut merupakan fakta.
Ketidakwajaran berbagai tindakan dan kebijakan Polri tersebut bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga amat mengecewakan. Slogan Polri yaitu “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat”, tidak tercermin melalui fakta di lapangan yang seolah menempatkan publik dalam posisi musuh yang harus dibasmi. Aksi tindakan aparat Polri juga menjadi contoh buruk bagaimana demokrasi di Indonesia berjalan. Alih-alih mendamaikan, Polri justru menjadi aktor utama penyebar rasa tidak aman bagi publik.
Seluruh rangkaian kejadian tersebut harus diselesaikan. Masyarakat harus diberikan rasa aman dalam menyuarakan pendapatnya. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh tindakan dan kebijakannya tersebut. Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif dan wakil rakyat perlu menjalankan mandatnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan DPR adalah menggunakan hak interpelasi yang sudah diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Melalui penggunaan hak itu, DPR dapat meminta keterangan kepada Pemerintah, khususnya dalam hal ini Polri, mengenai rentetan kejadian pelanggaran HAM tersebut.
Pelaksanaan hak interpelasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan berlanjut pada penggunaan hak angket apabila ditemukan potensi pelanggaran terhadap undang-undang tertentu oleh Pemerintah. Seluruh proses harus berjalan secara transparan dan akuntabel agar publik semakin diyakinkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan DPR adalah sebenar-benarnya perwakilan rakyat Indonesia.
Untuk menggunakan hak interpelasi; menurut Pasal 194 dan 195 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), diperlukan usul dari minimal 25 orang anggota DPR yang berasal dari lebih dari 1 fraksi, untuk disampaikan kepada Pimpinan DPR. Usulan itu menjadi hak interpelasi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Tanggal 30 September 2019 adalah hari terakhir anggota DPR periode 2014-2019 menjabat. Komposisi fraksi DPR hasil pemilu legislatif kemarin mempertahankan 9 dari 10 fraksi di DPR sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti. Oleh karena itu, berakhirnya masa jabatan tidak bisa jadi alasan DPR untuk menghindari tanggung jawabnya menjalankan fungsi pengawasan pada kerja Pemerintah.
Hari terakhir itu dapat digunakan oleh 9 Fraksi yang lolos ke DPR periode 2019-2024 untuk menyatakan sikap dan berkomitmen menggunakan hak interpelasi segera setelah anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Komitmen ini yang patut dituntut dan ditunggu oleh publik, dan DPR sepatutnya tidak lagi mengecewakan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo harus menginstruksikan Polri sebagai bawahannya untuk menghentikan seluruh tindakan kontra demokrasi dan melanggar HAM tersebut. Presiden juga harus menjamin bahwa seluruh tindakan tersebut tidak akan terulang dan, terlebih penting lagi, Presiden harus mampu menunjukkan kompetensi dan kapasitasnya untuk mengendalikan aparatnya sendiri.
Narahubung
Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK (0818-100917)