Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rezim pemerintahan Joko Widodo setidaknya dapat dilihat dari empat aspek, yakni persoalan regulasi, kapasitas aparat penegak hukum, proses pembentukan kebijakan, dan kepentingan kelompok tertentu (vested interest). Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif PSHK Rizky Argama dalam peluncuran Catatan Hari Hak Asasi Manusia 2024 yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada Jumat (6/12/2024) di Jakarta.
Terkait regulasi, Gama–begitu ia disapa–mengungkapkan bahwa sejumlah peraturan perundang-undangan masih menjadi faktor dari berbagai macam pelanggaran HAM. Temuan PSHK menunjukkan, sejumlah peraturan seperti UU Ormas bukan hanya perlu diperbaiki tetapi harus dicabut karena secara konsep justru membatasi kebebasan berserikat. Contoh lain adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara dalam KUHP lama yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi tetapi dihidupkan kembali dalam KUHP baru. Menurutnya, pasal ini mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Persoalan kedua, ia melanjutkan, ialah rendahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap regulasi serta nilai-nilai HAM. Masalah ketiga, yaitu proses legislasi yang tergesa-gesa dan tidak transparan hingga menihilkan keterlibatan kelompok-kelompok terdampak. Terakhir, pelanggaran HAM juga terjadi karena tidak adanya keberpihakan negara terhadap kelompok yang lemah, sebaliknya kelompok kepentingan yang dekat dengan kekuasaan justru memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kebijakan.
Dalam acara itu, KontraS memaparkan rangkuman pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo dengan membaginya menjadi sembilan aspek, yakni pelanggaran terhadap hak fundamental warga negara, pelanggaran terhadap kebebasan sipil warga, pelanggaran HAM dalam sektor sumber daya alam, dan mandeknya penuntasan pelanggaran HAM berat. Kemudian, persoalan situasi pelanggaran HAM di Papua, serangan terhadap pembela HAM, proses legislasi bermasalah, sikap pemerintah terhadap isu HAM internasional, serta proyeksi HAM pada rezim Prabowo Subianto.
Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy, dalam paparannya, menyatakan bahwa aparat masih menjadi aktor utama terjadinya pelanggaran HAM. KontraS mencatat, sejak Desember 2023, terjadi 45 kasus pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) yang dilakukan aparat negara, khususnya kepolisian. Pembunuhan terhadap tersangka tindak pidana sebelum sempat menjalani persidangan secara langsung pada dasarnya meniadakan hak para tersangka untuk menghadapi proses peradilan yang adil (due process of law) dan melakukan pembelaan.
KontraS juga mencatat terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan sipil warga negara saat melakukan aksi demonstrasi. Dalam beberapa peristiwa, seperti aksi #PeringatanDarurat, aparat baik Polri dan TNI justru menjadi pelaku terjadinya tindak kekerasan terhadap peserta aksi. Pantauan KontraS bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) pada aksi tersebut menemukan setidaknya 254 korban luka-luka akibat tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan 380 orang mengalami penangkapan sewenang-wenang.
Catatan Hari Hak Asasi Manusia 2024 itu diluncurkan dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional ke-76 yang jatuh pada 10 Desember 2024. Selain KontraS sebagai pemapar catatan dan PSHK sebagai penanggap, hadir pula Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida sebagai penanggap lainnya.
Siaran Pers dan Peluncuran Catatan Hari Hak Asasi Manusia 2024 dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube KontraS.