Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
DPR berencana mulai menyiapkan RUU kepemiluan pada masa sidang pertama di tahun 2025, yang akan mulai diselenggarakan pada 21 Januari 2025. Beredar kabar bahwa RUU kepemiluan akan dibuat dengan metode omnibus. Rencana itu perlu dikritisi karena metode omnibus bukan tanpa catatan, bahkan produk UU omnibus sudah ada yang dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi baik secara formil dan materiil.
RUU kepemiluan perlu dibentuk dengan model kodifikasi bukan model omnibus law. Dengan model kodifikasi seluruh UU yang akan digabung itu dibahas secara komprehensif, sehingga dengan pembahasan itu keterhubungan antara satu UU dengan UU lain dapat terpetakan dengan baik. Hal itu membantu mengurangi resiko adanya tumpang tindih, atau bahkan pengaturan yang saling bertolak belakang. Model omnibus law cenderung hanya membahas masing-masing UU secara parsial, yaitu pasal-pasal yang baru saja; baik hasil penambahan, penghapusan, atau revisi. Pendekatan itu justru akan mengaburkan permasalahan, cenderung hanya mengakomodasi kepentingan pembentuk khususnya kepentingan partai politik, berpotensi besar memasukan ketentuan yang saling tumpang tindih, dan potensi terjadi penyelundupan hukum karena memasukan ketentuan yang tidak mudah untuk diketahui hubungannya dengan ketentuan lain.
UU 7/2017 tentang Pemilu sudah mempraktikan model kodifikasi, dan terbukti berhasil menggabungkan beberapa UU. Oleh karena itu, model kodifikasi dalam UU Pemilu saat ini sudah baik dan selanjutnya dapat ditambah dengan ketentuan yang saat ini diatur dalam UU Pilkada dan UU Parpol.
Hal penting lainnya untuk pembentukan kodifikasi UU kepemiluan ini adalah menyelaraskan dengan perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sejak UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol diundangkan sudah banyak diuji dan MK sudah banyak memutus soal norma yang ada di masing-masing UU tersebut.
Terkait dengan substansi kelembagaan DPR, MPR, DPD, dan DPRD sebaiknya tetap dipisah dalam UU tersendiri karena memiliki dimensi dan konteks pengaturan yang berbeda.
Selain model perumusan kodifikasi yang lebih baik dibanding model omnibus tersebut, yang perlu menjadi perhatian juga, adalah prinsip-prinsip dalam pembentukan UU harus dilaksanakan. Hal yang krusial dalam perubahan sejumlah UU dalam satu waktu adalah bagaimana pembahasan dilakukan secara transparan dengan partisipasi yang bermakna. Dalam hal ini DPR harus bersedia membuka seluruh draft pembahasan, sekalipun draft RUU itu masih dalam pembahasan. DPR juga harus membuka ruang komunikasi seluas-luasnya kepada publik, mempertimbangkan seluruh masukan, dan menjawab masukan tersebut apakah diakomodasi atau tidak, dan jika tidak menyampaikan alasannya penolakan.
Selain itu, DPR juga perlu sensitif terhadap substansi pelindungan hak politik warga negara, baik hak memilih, dipilih, atau menyampaikan pendapat. Agar DPR tidak fokus ke isu politik elit saja, melainkan fokus pada peningkatan kualitas dan integritas demokrasi melalui legislative engineering.