Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyinggung soal realisasi pembentukan Badan Legislasi Nasional dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR, 11 Februari 2025. Lembaga baru tersebut diharapkan menjadi mitra Badan Legislasi DPR dalam pembentukan rancangan undang-undang.
Gagasan mendirikan badan khusus untuk mengelola proses legislasi bukan hal baru. Pada awal 2019, saat debat calon presiden 2019-2024, Presiden Joko Widodo menawarkan ide ”pusat legislasi nasional” sebagai solusi tumpang tindih regulasi.
Ide itu ia sampaikan menjawab lawan kompetisinya saat itu, calon presiden Prabowo Subianto, yang menanyakan jalan keluar untuk mengatasi persoalan banyaknya peraturan tidak harmonis.
Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia pada 2019 telah mengidentifikasi persoalan tata kelola regulasi di Indonesia yang menjadi basis argumentasi bahwa pemerintah perlu membentuk badan khusus yang menangani persoalan ini. Pada intinya, PSHK memetakan persoalan dalam tata kelola regulasi sebagai berikut.
Pertama, perencanaan legislasi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) kerap tak sinkron dengan perencanaan pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kedua, kecenderungan pemerintah dan DPR untuk menjadikan undang-undang sebagai panacea atau solusi atas semua masalah.
Ketiga, absennya mekanisme monitoring dan evaluasi yang terintegrasi dalam proses pembentukan UU yang turut berkontribusi pada fenomena hiper-regulasi atau jumlah peraturan yang terlalu banyak dan tidak harmonis. Keempat, ketiadaan otoritas tunggal yang bertanggung jawab dalam urusan manajemen regulasi.
Setelah enam tahun, gagasan ini kembali mengemuka. Berdasarkan informasi yang diperoleh pihak kementerian bidang hukum, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melakukan studi mendalam tentang rencana pembentukan badan regulasi nasional itu dalam setahun terakhir. Rencana ini kemungkinan kian matang sehingga Menko Yusril terbuka membicarakannya di hadapan publik.
Keraguan publik
Namun, apakah gagasan membentuk lembaga baru masih relevan? Melihat berbagai kejadian di masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini, publik patut ragu bahwa ide mendirikan Badan Legislasi Nasional akan menyelesaikan persoalan ruwetnya regulasi.
Setidaknya terdapat beberapa situasi yang menguatkan keraguan itu. Pertama, Presiden Prabowo memecah Kementerian Hukum dan HAM menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum, Kementerian HAM, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Di satu sisi, pemisahan sejumlah urusan secara tersendiri sejalan dengan masukan para ahli yang mengatakan bahwa beban Kementerian Hukum dan HAM terlalu berat karena menggabungkan fungsi tata kelola regulasi dengan isu-isu lain, seperti hak kekayaan intelektual, HAM, imigrasi, dan pemasyarakatan.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi kementerian atau lembaga negara selalu memiliki dampak ikutan yang tidak sedikit, mulai dari perubahan struktur organisasi dan penyesuaian fungsi-fungsi unit di dalamnya, pergantian pejabat, perpindahan pegawai, hingga pekerjaan infrastruktur fisik, seperti memindahkan kantor dan sebagainya.
Proses ini tentu memakan waktu. Setahun pertama pemerintahan ini berjalan belum tentu cukup untuk membenahinya. Salah satu perubahan yang telah teridentifikasi yaitu keberadaan Direktorat Perencanaan yang dibentuk di bawah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan.
Menteri Hukum perlu memastikan bahwa fungsi direktorat baru itu tidak tumpang tindih dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), badan lain di bawah Kementerian Hukum yang selama ini menjalankan fungsi perencanaan peraturan perundang-undangan.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/07/19/579876ac-17c4-4101-ae2c-4a4e77cff53b_jpg.jpg)
Kedua, pemerintah selama ini melakukan pembiaran atas proses legislasi yang buruk. Sudah bukan cerita baru bahwa legislasi di masa Jokowi didominasi produk UU yang lemah legitimasi sosiologisnya.
Dimulai dari revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019 yang pengesahannya dipaksakan di tengah gelombang aksi #ReformasiDikorupsi, demonstrasi berskala nasional yang berujung pada hilangnya nyawa sejumlah mahasiswa dan pelajar.
Tahun 2020 dan seterusnya diwarnai oleh kehadiran berbagai legislasi bermasalah, mulai dari UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus—mencabut dan mengubah 80 UU lain. UU Cipta Kerja ini dibahas hanya dalam waktu kurang dari 6 bulan tanpa partisipasi publik memadai mengingat masyarakat sedang berjibaku menghadapi Covid-19.
Kemudian, revisi UU Mahkamah Konstitusi dan UU Mineral dan Batubara (Minerba), yang juga dibahas hanya dalam hitungan hari hingga disahkan, dengan keterlibatan minimal pemangku kepentingan.
Prabowo tidak lepas dari tanggung jawab atas proses legislasi yang buruk tersebut mengingat pada saat itu ia adalah salah satu anggota kabinet sebagai Menteri Pertahanan.
Terlebih lagi, saat ini pemerintahan Prabowo terus melanjutkan proyek ibu kota baru, yang lahir melalui UU Ibu Kota Negara yang tak kalah bermasalah, mulai dari naskah akademik yang dinilai tak berkualitas oleh para akademisi hingga persoalan dampak lingkungan serta penganggaran yang tak rasional.
Ketiga, Presiden Prabowo baru saja menyerukan efisiensi anggaran di semua lini pemerintahan. Efisiensi ini berdampak besar, bahkan membuat sejumlah kementerian dan lembaga terhambat melaksanakan tugas dan fungsi utamanya.
Di sisi lain, pemerintah terkesan tak konsisten dengan mempertahankan anggaran Kementerian Pertahanan, kepolisian, dan TNI. Publik pun menyorot pengangkatan sejumlah staf ahli pada beberapa kementerian yang dilakukan tanpa ada urgensi yang jelas.
”Omnibus” alihkan fokus
Keterlambatan sebenarnya tak perlu terjadi jika Presiden Jokowi konsisten dengan janji kampanyenya masa itu.
Lewat UU Nomor 15 Tahun 2019 yang merevisi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden dan DPR sepakat untuk menggagas lembaga khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pembentukan peraturan. Klausul itu merupakan tindak lanjut atas kerangka reformasi regulasi yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2020-2024.
Namun, setelah dilantik untuk masa jabatan kedua, Jokowi justru mewacanakan ide omnibus law sebagai langkah penyelesaian masalah regulasi.
Sebagaimana diketahui, energi pemerintah dan DPR pada masa itu dikonsentrasikan untuk ”proses kejar tayang” UU Cipta Kerja yang digadang-gadang akan menyederhanakan kerumitan berbagai hambatan berusaha di Tanah Air.
Selain substansinya yang belakangan terbukti merugikan pengusaha dan pekerja, metode omnibus yang digunakan dalam penyusunan UU Cipta Kerja juga tidak lepas dari kritik.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/06/26/7051533b-d21d-4341-96b8-9ee9a40bdf4b_jpg.jpg)
Pembahasannya yang amat singkat dan cenderung tertutup membuat MK dalam Putusan No 91/PUU-XVIII/2020 kemudian mendalilkan UU itu inkonstitusional bersyarat, salah satunya karena metode omnibus dinilai meminimalkan partisipasi publik yang bermakna.
Di negara-negara Anglo Saxon, tempat konsep ini lahir, RUU omnibus kerap kali dianggap problematik karena diterapkan secara tidak demokratis (undemocratic practice).
Anggota parlemen dari Partai Demokratik Baru di Kanada, Peter Stoffer, pada 2015 mengusulkan perubahan Parliament of Canada Act untuk mengakomodasi ketentuan yang membatasi praktik RUU omnibus.nibus
Menurut Dodek (2017), tuntutan itu wajar karena karakter RUU omnibus yang rumit dan tebal membuat anggota parlemen kesulitan melakukan pemeriksaan secara mendalam. Butuh lebih dari lima tahun bagi pemerintah untuk mengembalikan fokus dari persoalan jumlah regulasi ke akar masalahnya, yaitu isu tata kelola regulasi.
Namun, sekali lagi, apakah membentuk Badan Legislasi Nasional menjadi solusinya? Meski terlambat, gagasan ini belum tentu usang.
Perlu ada langkah cermat untuk merealisasikannya. Salah satu yang bisa dilakukan ialah tidak dengan mendirikan lembaga baru, tetapi dengan memperkuat badan yang sudah ada.
Dalam pertemuan sejumlah ormas sipil dengan Tim Percepatan Reformasi Hukum Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, pertengahan 2023, PSHK merekomendasikan pemerintah mengintegrasikan seluruh fungsi pengelolaan peraturan ke dalam satu otoritas pelaksana.
Yang berlaku saat ini, fungsi-fungsi terkait pembentukan peraturan masih tersebar di lima kementerian, yakni Kementerian Hukum, Bappenas, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, serta Kementerian Dalam Negeri khusus untuk produk hukum daerah.
Kelima kementerian menjalankan peran masing-masing secara terpisah dalam rangkaian pembentukan peraturan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan dan pengundangan.
Butuh transformasi dan penguatan
Dengan ide integrasi, semua fungsi tersebut digabungkan ke dalam BPHN untuk kemudian lembaga ini ditransformasikan menjadi Badan Legislasi Nasional. Untuk memperkuat kewenangannya, badan ini perlu ditingkatkan kedudukannya langsung di bawah presiden atau setingkat menteri.
Oleh karena itu, jika terjadi perselisihan antara satu peraturan dan peraturan lainnya yang melibatkan dua kementerian atau badan berbeda, Badan Legislasi Nasional dengan otoritasnya dapat menyelesaikan perselisihan itu secara arbitrase.
Untuk tahap permulaan, Badan Legislasi Nasional dapat difokuskan pada pengelolaan peraturan di tingkat pusat. Namun, secara bertahap, ruang lingkup pengelolaan itu perlu diperluas hingga ke level daerah.
Persoalan tata kelola regulasi, dalam praktik di lapangan, tidak hanya terjadi pada peraturan-peraturan di tingkat nasional, tetapi juga pada tataran produk hukum daerah, seperti peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Hal yang terpenting, pemerintah perlu memikirkan strategi yang cermat dan tepat di tengah keraguan publik terhadap kinerja pemerintah serta keterbatasan anggaran akibat kebijakan efisiensi.
Jika tidak mau disebut pemborosan anggaran, pemerintah memerlukan argumentasi kuat untuk merealisasikan ide ini, dimulai dengan mengakui lambannya respons selama ini terhadap kebutuhan reformasi tata kelola regulasi.
Penulis: Rizky Argama
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/gagasan-terlambat-badan-legislasi-nasional
Tanggal: 19 Februari 2025