Akhir April lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan pernyataan soal kebutuhan merevisi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Menurut dia, revisi itu diperlukan untuk mengatur pengawasan aliran dana kepada ormas, sebagai respons atas maraknya aksi premanisme yang dilakukan atas nama ormas.
Wacana revisi UU Ormas hampir selalu mencuat tiap kali negara gagal mengendalikan kekerasan oleh kelompok yang mengklaim diri sebagai ormas atau organisasi kemasyarakatan—bukan ”organisasi masyarakat” atau ”organisasi massa”.
UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (sebagaimana diubah dengan Perppu No 2/2017 dan disahkan melalui UU No 16/ 2017) yang kini berlaku produk era Reformasi yang sebenarnya hanya memperbarui warisan rezim Orde Baru, yakni UU No 8/1985.
Meski rezim telah berganti, pola pikir negara terhadap kelompok sipil tak banyak berubah. Tiap kali terjadi kericuhan yang melibatkan kekerasan atau penyebaran ideologi yang dianggap mengancam kedaulatan, pemerintah selalu menyalahkan lemahnya aturan dan mendorong pengetatan ketentuan dalam UU Ormas.
Kesalahan konseptual
Namun, benarkah akar persoalan adalah lemahnya UU Ormas? Atau justru kekeliruan konseptual dan pendekatan politik-keamanan yang sejak awal tertanam di UU itu sendiri?
Kelompok masyarakat sipil dan akademisi telah lama menyerukan perlunya reformasi mendasar atas kerangka hukum yang mengatur sektor masyarakat sipil. Salah satunya, Koalisi Kebebasan Berserikat, yang menilai UU Ormas tak layak dijadikan rujukan utama untuk mengatur sektor ini.
Setidaknya terdapat empat persoalan utama yang menjadikan UU Ormas keliru secara mendasar. Pertama, UU Ormas menciptakan kategorisasi ganjil, yakni ”ormas berbadan hukum” yang terdiri dari yayasan dan perkumpulan dan ”ormas tidak berbadan hukum”.
Secara konseptual ataupun praktik, ini membingungkan dan bertentangan dengan sistem hukum kita. Dalam sistem hukum perdata Indonesia yang mengadopsi Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) masa Hindia Belanda, hanya dikenal dua jenis subyek hukum: orang dan badan hukum. Maka, pembagian entitas ormas berbadan hukum dan tak berbadan hukum, pada dasarnya, tidak sejalan dengan pengertian tersebut.
Sama halnya dengan di Belanda, hukum di Indonesia membagi organisasi sosial ke dalam dua jenis badan hukum: yayasan (stichting) untuk organisasi tidak berbasis anggota dan perkumpulan (vereniging) untuk organisasi berbasis anggota.
Yayasan diatur berdasarkan UU No 16/2001 jo UU No 28/2004 tentang Yayasan, sementara perkumpulan diatur dengan Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Verenigingen).
Konsep ormas berakar dari UU Ormas 1985 yang lahir di era Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto menciptakan istilah ”ormas” sebagai kategori payung untuk semua organisasi non-negara (Eryanto Nugroho, 2013). Tujuannya politis: memudahkan pengawasan negara.
Ironisnya, meski tak sejalan dengan konsep korporasi dalam ilmu hukum, pendekatan ini dilanjutkan oleh pembentuk UU era Reformasi. Dalam praktik, entitas tak berbadan hukum ini menyulitkan proses penegakan hukum. Ketika sebuah ormas melakukan pelanggaran, tak ada entitas hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara korporatif. Tanggung jawab akhirnya dibebankan kepada individu anggotanya.
Berbeda dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) berbadan hukum seperti yayasan atau perkumpulan yang bisa dituntut sebagai subyek hukum.
Kedua, UU Ormas memuat kewajiban pendaftaran ganda bagi OMS berbadan hukum. Yayasan atau perkumpulan yang telah disahkan oleh kementerian hukum masih diwajibkan mendaftar sebagai ormas di Kemendagri. Padahal, ketentuan ini telah dibatalkan MK melalui Putusan No 82/PUU-XI/2013.
Namun, berdasarkan temuan Koalisi Kebebasan Berserikat di lapangan, aparat di daerah masih kerap melabeli OMS yang tak terdaftar di Kemendagri sebagai ”ilegal”. Selain membebani OMS dengan kewajiban administratif yang tak relevan, situasi ini mencerminkan rendahnya kepatuhan pemerintah pada putusan pengadilan. Pembatasan aktivitas OMS melalui syarat kepemilikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang dikeluarkan Kemendragri tetap dipertahankan meski dianggap inkonstitusional oleh MK.
Ketiga, UU Ormas memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada Kemendagri dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap seluruh organisasi di sektor masyarakat sipil. Padahal, kegiatan OMS mencakup berbagai bidang yang semestinya jadi kewenangan sektoral kementerian terkait.
Meski tak diatur secara eksplisit, praktik pemerintahan menunjukkan hubungan antara pemerintah dan OMS seharusnya dibina oleh kementerian sektoral sesuai bidangnya. Organisasi lingkungan hidup berinteraksi dengan Kementerian LHK, organisasi pendidikan dengan Kemendikbud, organisasi agama dengan Kementerian Agama, dan seterusnya.
Sentralisasi pembinaan di Kemendagri justru mengaburkan batas kewenangan antarkementerian dan memperkuat pendekatan politik-keamanan yang tak lagi relevan dalam sistem demokrasi. Ketimpangan wewenang ini pernah memicu polemik, seperti saat Kemendagri menerbitkan Permendagri No 3/2018 yang mewajibkan lembaga riset mengantongi izin sebelum mengumpulkan data penelitian.
Kebijakan ini dikritik kalangan akademisi dan OMS yang bergerak di bidang riset karena dianggap menghambat kebebasan akademik. Padahal, aktivitas penelitian yang dilakukan perguruan tinggi atau OMS seharusnya jadi domain Kementerian Pendidikan Tinggi atau BRIN, bukan Kemendagri.
Reformasi, Ingatan, dan Kolektivitas
Keempat, UU Ormas membuka ruang bagi pemerintah membubarkan organisasi secara sepihak, tanpa proses pengadilan. Padahal, prinsip due process of law dan asas praduga tak bersalah merupakan landasan penting di negara hukum.
UU No 17/2013 sebenarnya mengatur mekanisme sanksi bertahap hingga pencabutan status badan hukum lewat putusan pengadilan. Namun, Perppu No 2/2017 yang lahir di tengah tekanan pembubaran HTI menghapus mekanisme ini dan memberi kewenangan pembubaran langsung ke pemerintah.
Dengan dasar ini, pemerintah kemudian membubarkan HTI, Perkumpulan ILUNI UI, dan Front Pembela Islam (FPI), tanpa proses hukum terbuka. Pendekatan ini mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh eksekutif.
Inkonsistensi penegakan hukum
Fenomena kekerasan yang mengatasnamakan ormas jelas tak bisa ditoleransi. Namun, solusinya bukan dengan terus memperketat UU Ormas, melainkan menegakkan hukum secara konsisten pada pelaku.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah menyediakan instrumen yang cukup untuk menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum: pemerasan, ancaman, penganiayaan, hingga perusakan fasilitas publik. Masalahnya, aparat penegak hukum kerap enggan menindak jika mereka mengatasnamakan ormas tertentu. Kekosongan penegakan hukum ini yang justru menumbuhkan impunitas dan menyuburkan premanisme berbendera ormas.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh organisasi berbadan hukum, mekanisme penjatuhan sanksinya pun sudah diatur. UU Yayasan memuat ketentuan tentang pembubaran sebagai sanksi terberat atas dasar putusan pengadilan.
Untuk badan hukum perkumpulan, Staatsblad 1870-64—meski merupakan instrumen usang—juga mengatur bahwa pembubaran perkumpulan harus melalui proses peradilan. Pembaruan aturan tentang badan hukum perkumpulan terus didorong oleh kalangan akademisi dan masyakat sipil.
Sayangnya, RUU Perkumpulan yang telah disiapkan sejak 2011 tak kunjung dibahas di DPR, meski berulang kali masuk Program Legislasi Nasional. Padahal, kehadiran UU Perkumpulan akan memperkuat kerangka hukum sektor nirlaba, melengkapi keberadaan pengaturan terhadap yayasan yang sudah lebih dulu ada.
Tolak warisan kekeliruan
Masalah utama dari UU Ormas bukan pada kelemahan substansi semata, melainkan pada kekeliruan konseptual yang telah berlangsung lama. UU Ormas gagal membedakan ormas sebagai makhluk administratif-politik dari OMS sebagai entitas hukum yang diakui.
Konsep ”ormas” itu sendiri lahir dalam kerangka kontrol negara, bukan untuk menjamin kebebasan berserikat yang dijamin Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Akibatnya, OMS yang seharusnya dilindungi dan difasilitasi negara justru dicurigai, diawasi berlebihan, dan diperlakukan secara represif. Ini berbanding terbalik dengan perlakuan ke sektor privat yang diberi berbagai fasilitas dan insentif, dari kemudahan perizinan hingga keringanan fiskal.
Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman (2018) mencatat bagaimana ormas-ormas pelaku kekerasan kerap tumbuh dari kedekatan dengan elite politik dan militer. Kekerasan itu bukan penyimpangan, tetapi bagian dari strategi kuasa. Maka, selama negara terus memelihara relasi tersebut, revisi aturan tak akan menyentuh akar persoalan.
Namun, kompleksitas sejarah dan jejaring kekuasaan bukan alasan untuk membiarkan kekerasan terus berlangsung. Aparat penegak hukum tak kekurangan instrumen hukum untuk menindak premanisme berbendera ormas. Yang kurang hanyalah keberanian untuk menegakkan hukum secara adil, tanpa kompromi pada aktor yang berlindung di balik simbol-simbol organisasi.
Jika kekerasan dilakukan oleh individu, tangani dengan KUHP. Jika dilakukan oleh organisasi berbadan hukum, proses di pengadilan terbuka. Tak perlu melanggengkan entitas semu bernama ”ormas”, apalagi menciptakan dikotomi keliru ”ormas berbadan hukum” dan ”ormas tak berbadan hukum”, atau bahkan membuka ruang pembubaran sepihak tanpa mekanisme peradilan.
Pendekatan represif dalam UU Ormas justru mengaburkan masalah. Alih-alih memperbaiki penegakan hukum, ia memperpanjang daftar kecurigaan negara terhadap warga yang berserikat. Dalam konteks ini, pencabutan UU Ormas jadi langkah yang bukan hanya masuk akal secara hukum, melainkan juga mendesak secara demokratis.
Sudah saatnya negara berpindah dari paradigma pengawasan menuju paradigma pelindungan.
Penulis: Rizky Argama
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/salah-kaprah-uu-ormas-dan-basa-basi-penegakan-hukum