Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas menyelenggarakan diskusi bertajuk “Penguatan Pelindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Hukum Acara Pidana” pada Selasa (3/6/2025). Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menjadi penanggap dalam diskusi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagai penyempurnaan sistem peradilan pidana dan implementasi KUHP baru yang akan berlaku pada 2026.
Dalam diskusi dibahas soal adanya sejumlah ketentuan dalam KUHAP yang berpotensi diskriminatif, antara lain definisi saksi yang belum mengakomodasi ragam disabilitas sensorik, ketiadaan ketentuan tentang akomodasi yang layak dalam proses hukum, dan rendahnya pengakuan terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas mental.
Fajri menyoroti pentingnya jaminan aksesibilitas dalam sistem hukum di Indonesia, terutama bagi penyandang disabilitas intelektual. Menurutnya, aksesibilitas bukan hanya soal fasilitas fisik seperti landaian (ramp) atau toilet khusus, tetapi mencakup juga ruang-ruang informasi, penyediaan juru bahasa isyarat, serta penggunaan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. “Aksesibilitas juga berarti adanya edukasi yang sistematis dan berkelanjutan kepada aparat hukum dan tenaga layanan publik lainnya agar memahami kebutuhan khusus penyandang disabilitas, serta bagaimana cara memperlakukan mereka secara bermartabat,” tegas Fajri.
Penyandang disabilitas juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan hingga pelaksanaan regulasi, termasuk saat penyusunan undang-undang, agar kebijakan yang lahir tidak abai terhadap kebutuhan nyata mereka.
Lebih lanjut, Fajri menyampaikan pentingnya adanya prosedur yang terukur dalam menangani kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, sehingga aparat tidak bertindak berdasarkan persepsi pribadi atau pemahaman yang sempit. Ketika prosedur sudah baku dan inklusif, maka penegakan hukum tidak hanya menjadi tertib, tetapi juga manusiawi dan berpihak kepada korban, termasuk mereka yang rentan secara komunikasi, seperti penyandang disabilitas intelektual.
Heppy Sembayang dari Lembaga Advokasi dan Perlindungan Disabilitas Indonesia menyoroti secara langsung bagaimana ketidaksiapan aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas intelektual. Menurutnya, hal tersebut telah menciptakan ketidakadilan yang akut.
AKBP Endang Dwi Lestari menyebutkan bahwa banyak kasus yang terjadi tidak pernah sampai ke pengadilan karena korban tidak mampu menjelaskan pengalaman traumatisnya dan tidak ada pendamping profesional yang memahami kebutuhan komunikasi mereka. Ironisnya, aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung justru mempertanyakan korban dengan cara yang melecehkan dan tidak berempati, hal itu menandakan tidak hanya kurangnya pelatihan, tetapi juga minimnya perspektif inklusif dalam institusi hukum.
Dalam konteks ini, Fajri juga menyoroti pentingnya perubahan sistemik, bukan hanya pada tataran aturan hukum, tetapi juga dalam budaya kerja institusi penegak hukum dan persepsi masyarakat terhadap disabilitas. Fajri menyoroti kasus tragis Nathaniel Julius, remaja dengan down syndrome yang ditembak polisi di Afrika Selatan, sebagai cerminan kekuasaan tanpa empati yang menindas kelompok rentan. Fajri melihat secara paralel dengan yang terjadi di Indonesia, di mana penyandang disabilitas kerap diposisikan sebagai “yang lain” dan bahkan ditakuti, mencerminkan budaya yang melihat institusi negara sebagai alat represi, bukan pelindung. Bagi Fajri, perjuangan martabat penyandang disabilitas harus berangkat dari solidaritas nyata bukan belas kasihan dengan mendorong sistem hukum adil, prosedur manusiawi, dan budaya inklusif. Solidaritas, menurutnya, adalah tanggung jawab kolektif untuk menghapus diskriminasi, baik tersembunyi maupun terang-terangan.
Diskusi bertajuk “Penguatan Pelindungan Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Hukum Acara Pidana” ini dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.