Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI terkait Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) pada Senin, (29/09/2025) di Jakarta.
PSHK yang diwakili Deputi Direktur Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa revisi KUHAP harus menempatkan penyandang disabilitas sebagai warga negara dan subjek hukum yang setara. “Poin penyandang disabilitas sebagai warga negara menjadi penting karena penyandang disabilitas berpotensi untuk berurusan dengan hukum. Kami, penyandang disabilitas, tidak kebal hukum. Kami punya hak dan kewajiban yang sama,” tegasnya.
Fajri juga memaparkan empat poin perubahan utama untuk memastikan revisi KUHAP yang inklusif dan mengakomodasi perspektif disabilitas. Pertama, pengakuan disabilitas sebagai saksi. Koalisi mengkritik definisi saksi dalam draf revisi KUHAP yang terbatas pada informasi yang “didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri”. Definisi itu dinilai diskriminatif karena tidak mengakui kemampuan lain penyandang disabilitas dalam memperoleh informasi, seperti melalui perabaan dan penciuman. Definisi itu juga belum disesuaikan dengan Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yang menegaskan bahwa saksi tidak selalu harus berbasis pada apa yang didengar dan dilihat sendiri.
Kedua, penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Koalisi mendesak agar kewajiban penyediaan akomodasi yang layak oleh aparat penegak hukum diatur secara lengkap dalam revisi KUHAP. “Akomodasi yang layak ini bukanlah hanya sekadar prosedur maupun administrasi, tapi dia adalah bagian dari hukum acara. Dia adalah bagian di mana hak penyandang disabilitas bisa terfasilitasi untuk memberikan kesaksian, itu sangat menentukan,” jelasnya.
Ketiga, kesetaraan bobot kesaksian. Pasal yang mengatur kesaksian “orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa” dapat diberikan tanpa sumpah dianggap sangat diskriminatif dan secara implisit menurunkan bobot kesaksian. Koalisi menegaskan bahwa kondisi kejiwaanbersifat episodik, sehingga seseorang dalam fase pemulihan sangat mampu memberikan keterangan yang akurat.
Keempat, penyesuaian definisi dan konsep. Revisi KUHAP didorong untuk mengadopsi terminologi yang sesuai dengan perspektif disabilitas modern sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Hal itu termasuk penggunaan istilah “Juru Bahasa Isyarat” bukan “penerjemah”, “penyandang disabilitas wicara” bukan “bisu”, dan “penyandang disabilitas Tuli” bukan “tuli”.