Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Kupas Tuntas RUU KUHAP dan Dinamika Pembahasannya” pada Kamis (12/6/2025). Bugivia Maharani, Peneliti PSHK, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang membahas isu-isu krusial dalam reformasi hukum pidana dan proses penyusunan RUU KUHAP.
Rani menekankan bahwa penyusunan KUHAP baru tidak boleh hanya berorientasi pada penyelesaian target waktu formal. Menurutnya, pembahasan RUU KUHAP harus berlandaskan kewajiban konstitusional dan mandat internasional yang telah disepakati Indonesia sejak era reformasi. Ia menegaskan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah readjust—menyesuaikan kerangka pikir KUHAP dengan norma-norma hak asasi manusia dalam berbagai instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Instrumen tersebut antara lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Convention Against Torture (CAT), Convention on the Rights of the Child (CRC), serta CEDAW yang melindungi perempuan dari diskriminasi.
“Ratifikasi dari berbagai instrumen hukum internasional itu memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional, termasuk dalam bentuk legislasi dan yudikatif di internal negara kita,” tegas Rani di hadapan para peserta diskusi.
Selain soal penyesuaian prinsip dan norma, Rani juga menegaskan perlunya rebuild atau pembangunan ulang kerangka hukum acara pidana Indonesia agar lebih sejalan dengan perkembangan global, praktik peradilan modern, dan kebutuhan perlindungan HAM yang lebih progresif. Ia menjelaskan bahwa naskah akademik RUU KUHAP sendiri telah menegaskan pentingnya dasar perubahan yang merujuk pada perkembangan dan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Karena itu, setiap ketentuan dalam RUU KUHAP idealnya tidak berhenti pada kompromi politik DPR, tetapi harus mengutamakan perlindungan hak tersangka, korban, dan masyarakat secara imparsial.
Sebagai contoh nyata, Rani mengutip kewajiban negara untuk menghapus praktik penahanan sewenang-wenang, penangkapan tanpa dasar hukum, serta perlakuan yang bersifat penyiksaan atau penghukuman yang merendahkan martabat, sebagaimana ditegaskan dalam ICCPR dan Convention Against Torture yang juga mengatur Optional Protocol. Dengan demikian, setiap pasal yang mengatur penahanan, penangkapan, pemeriksaan, hingga penuntutan harus diawasi ketat agar tidak membuka celah pelanggaran hak asasi manusia.
Rani kemudian menguraikan langkah ketiga, reformulation—perumusan ulang pasal-pasal KUHAP agar dapat menjawab tantangan nyata penegakan hukum di Indonesia, termasuk penyimpangan kewenangan yang sering terjadi di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Ia menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam seluruh proses pembahasan RUU KUHAP. “Pengawalan publik sangat penting dalam proses yang dilakukan DPR dan pemerintah,” ujarnya, sambil mengingatkan bahwa kompromi yang tidak berpihak pada HAM berpotensi menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan.
