“CSO perlu mengembangkan sayap kolaborasi dengan elemen lembaga lain, sekalipun bidangnya berbeda,” ujar Eryanto Nugroho di penghujung presentasinya yang berjudul “Prospek Demokrasi, Gerakan Antikorupsi, dan Perlindungan HAM di Indonesia”. Materi itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif PSHK pada Selasa, 15 Maret 2016, di acara Seminar Nasional “Anti-Corruption & Democracy Outlook 2016: Bersama Lawan Korupsi” yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII).
Eryanto, yang membawakan presentasinya pada Sesi Pleno I, mengawali presentasinya dengan memperlihatkan beberapa indeks terkait korupsi, demokrasi, dan HAM di Indonesia. Setelah itu, ia mengajak peserta untuk turut mendiskusikan beberapa contoh tantangan di balik indeks-indeks itu, misalnya terkait pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), oligarki, dan pembatasan kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, dan beragama. Tidak hanya membahas soal tantangan, Eryanto pun memberikan usulan terhadap bagaimana mengatasinya, salah satunya dengan pembenahan politik legislasi.
Dalam pemaparannya, Eryanto juga mengelaborasikan mengenai pentingnya peran Civil Society Organizations (CSO) dalam mendukung lingkungan yang demokratis. Ia memperlihatkan indeks kondisi CSO di Indonesia, yang menunjukkan angka 4,1 untuk CSO Sustainability pada 2014. Angka itu menunjukkan bahwa CSO di Indonesia ada pada tahap Evolving (keberlanjutan berkembang), sedangkan agar dapat berkontribusi secara optimal, dibutuhkan untuk berada di angka 1—3, yaitu tahap Enhanced (Keberlanjutan Meningkat).
Di akhir presentasi, Eryanto memberi 3 usulan bagi CSO untuk turut mengembangkan perannya, yang salah satunya adalah dengan lebih giat menjalankan kolaborasi dengan lembaga lain, sekalipun bidangnya berbeda. Hal itu dibutuhkan dalam rangka memperkuat jaringan antar CSO di Indonesia dan agar ruang komunikasi antar CSO menjadi lebih terbuka. (AW)