Temuan
Masyarakat sepertinya tidak akan lagi leluasa melewati lobi Gedung Nusantara I dan Gedung DPD. Begitu pula mengawasi secara langsung dan kasat mata kinerja maupun pilihan politik anggota DPR/DPD dalam ruang-ruang pengambilan keputusan tidak makin mudah. Melalui pemberlakuan zona tertentu, pergerakan di dua area tersebut yang selama ini cukup bebas dan sering dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan anggota DPR/DPD menjadi terbatas. Ini yang dikhawatirkan dari pemberlakuan Rancangan Peraturan DPR tentang Pengamanan Terpadu di Kawasan MPR, DPR, DPD, serta Rumah Jabatan dan Wisma Griya Sabha (selanjutnya disingkat Rancangan Peraturan Pengamanan Terpadu). Terdiri dari 12 bab dan 57 pasal, peraturan tersebut antara lain mengatur objek dan zonasi pengamanan hingga uraian perlengkapan keamanan yang dibutuhkan. Melalui Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) 31 Mei 2016 lalu, rancangan peraturan tersebut disetujui untuk kemudian dibawa ke rapat paripurna.
Rancangan peraturan tersebut menyimpan sejumlah persoalan. Pertama, DPR tidak memformulasikan secara khusus definisi “ancaman” dan “gangguan” dalam konteks lingkungan (keberadaan) MPR, DPR, dan DPD. DPR menyamakan pengertian “ancaman” dan “gangguan” (dalam Rancangan Peraturan Pengamanan Terpadu) dengan rumusan “ancaman” dan “gangguan” yang ada dalam Keppres Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional.
Ruang lingkup ancaman dan gangguan yang tidak spesifik akan berakibat pada tindakan atau reaksi yang berlebihan terhadap pihak eksternal yang akan mendatangi, beraktivitas, dan berhubungan dengan anggota DPR/DPD maupun tenaga pendukung (administrasi dan keahlian). Kekhawatiran ini semakin beralasan, apalagi aturan pembagian zona (pengamanan) nampak tumpang tindih, dengan ruang tafsir yang sangat luas. Akibatnya, akses publik terasa makin terbatas. Sebagai contoh, ruang lobi Gedung Nusantara I dan Gedung DPD masuk kategori Zona Merah 2. Artinya, hanya dapat diakses oleh orang yang memiliki kewenangan dan/atau tugas di area tersebut. Padahal sehari-sehari banyak orang lalu lalang di lobi Gedung Nusantara I dan Gedung DPD. Mereka bukan saja anggota DPR/DPD ataupun tenaga pendukung, tapi juga anggota masyarakat dengan segala kepentingan mereka. Mulai dari ingin menyuarakan aspirasi, mengundang anggota DPR/DPD ke suatu acara hingga sedang melakukan penelitian.
Pembatasan akses bahkan melanda pula ruang rapat paripurna dan ruang rapat alat kelengkapan DPR. Dua area yang selama ini sangat terbuka bagi khalayak umum, yang ingin menyimak kiprah individu anggota DPR maupun fraksi dalam setiap proses pengambilan keputusan di berbagai fungsi kelembagaan DPR.
Kedua, keamanan menjadi faktor mutlak dan lebih dulu dikedepankan ketika berhadapan dengan anggota masyarakat. Siapapun yang akan memasuki Zona Merah 2 (termasuk Gedung Nusantara I dan Gedung DPR) dan Zona Kuning 1 (ruang rapat alat kelengkapan DPR) akan disaring. Bisa dibayangkan anggota masyarakat yang ingin menyampaikan masukan, mendokumentasikan sepak terjang wakil mereka (dalam rapat-rapat), mencari dokumen pembahasan rancangan undang-undang hingga melakukan penelitian, terpaksa meladeni rentetan prosedur keamanan. Anggota masyarakat yang bertujuan demikian mesti lebih dulu berhadapan dengan kepentingan lolos pemeriksaan atau tidak.
Seorang anggota DPR, yang tidak pernah berkomunikasi dengan konstituen di daerah pemilihannya, atau pernah berjanji akan memperjuangkan aspirasi warga (seperti usulan rancangan undang-undang atau pemekaran daerah), di kemudian hari ingin ditemui dan ditagih janjinya oleh masyarakat (dari daerah pemilihannya). Apakah itu dianggap sebagai potensi ancaman dan gangguan sehingga perlu direspon dengan satuan pengamanan terpadu?
Rekomendasi
Menguji kelayakan dan relevansi tujuan pertemuan atau interaksi antara rakyat dengan anggota DPR sesungguhnya tidak mutlak menjadi urusan pengamanan semata. Individu maupun kelompok masyarakat yang ingin hearing dan menyampaikan aspirasi, bisa disyaratkan secara tertulis dan kemudian diverifikasi oleh anggota DPR, fraksi atau tenaga ahli.
Langkah pengamanan di lingkungan MPR, DPR, dan DPD butuh konsistensi saja, bukan seperti Rancangan Peraturan Pengamanan Terpadu. Seringkali pengamanan yang ketat hanya dilakukan ketika masa sidang atau saat ada acara yang dihadiri presiden dan wakil presiden, atau tamu kenegaraan lainnya. Ketika reses atau setiap Jum’at di saat alat kelengkapan DPR biasanya tidak menjadwalkan rapat, cenderung mengendur. Ketidakkonsistenan ini berpotensi dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang bisa melakukan serangkaian tindakan persiapan yang di kemudian hari membahayakan dan menimbulkan kerugian di lingkungan MPR, DPR, dan DPD.
Layanan informasi publik di DPR masih perlu dibenahi. Kecepatan menyediakan risalah rapat atau bisa diketahui dengan segera status suatu rancangan undang-undang yang sedang dibahas di DPR masih belum optimal, termasuk www.dpr.go.id. Banyak pihak masih merasa harus mendatangi DPR, untuk mendapatkan dokumen atau beraudiensi langsung dengan anggota DPR maupun tenaga ahli. Mereka khawatir ketinggalan informasi legislasi hingga perlu berdiskusi panjang lebar. Sangat disayangkan tuntutan akan kelihaian DPR dalam memfasilitasi setiap interaksi dan partisipasi masyarakat malah diartikan dengan “mengamankan” akses publik melalui peraturan pengamanan terpadu.