Orang dengan disabilitas merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang berhak atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasarnya, seperti dijamin dalam UUD NRI 1945. Namun, dalam pelaksanaannya, warga negara dengan disabilitas masih kerap mendapat diskriminasi; salah satunya dalam menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan umum. Regulasi menjadi penyebab paling mendasar dalam praktik diskriminasi itu, seperti yang terlihat dalam proses pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 2014. Maka itu, regulasi terkait terus disempurnakan, terutama melalui peraturan pelaksanaan yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dorongan untuk memperbaiki aspek regulasi tersebut ternyata tidak dilakukan secara sistematis dan menyeluruh. Salah satu Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai pelaksanaan hak memilih bagi penyandang disabilitas adalah UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2015). UU itu masih mengatur ketentuan yang diskriminatif, khususnya bagi warga negara dengan disabilitas mental. Ketentuan yang dimaksud tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa “Pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang tergganggu jiwa/ingatannya”.
Ketentuan tersebut dianggap menghilangkan hak memilih seorang warga negara, padahal kondisi terganggu jiwa atau ingatannya bukan merupakan kondisi yang permanen. Selain itu, kriteria gangguan jiwa atau ingatan yang dimaksud dalam Pasal tersebut tidak jelas. Gangguan jiwa atau ingatan memiliki dimensi yang luas, yang tidak selalu berakibat pada ketidakcakapan memilih dalam pemilihan umum. Negara, melalui instrumen UU, seharusnya melakukan upaya untuk menjamin dan memastikan agar semua warga negara memiliki aksesibilitas yang baik untuk menggunakan hak memilihnya. Upaya itu harus dilakukan dengan mengatasi segala hambatan warga negara untuk berpartisipasi menggunakan hak memilihnya, termasuk warga negara dengan disabilitas mental.
Ketentuan yang diskriminatif dalam ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 kemudian diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi terhadap ketentuan dalam UUD NRI 1945, terutama terhadap Pasal 28D ayat (1). Permohonan uji materi diajukan pada 20 Oktober 2015. Lalu, pada 27 September 2016, MK mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 terhadap permohonan itu. Dalam amar Putusan, disampaikan bahwa MK mengabulkan sebagian pemohon, terutama menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”.
Melihat Makna di Balik Pasal
Putusan MK tersebut mengabulkan permohonan dari pemohon dengan bangunan argumentasi yang tidak sepenuhnya melihat pada aspek normatif, tetapi lebih kuat berdasarkan aspek sosiologis. Para Hakim MK tidak sebatas melihat ketentuan-ketentuan dalam Pasal yang ada di UU No. 8 Tahun 2015, tetapi lebih melihat dan mempertimbangkan kondisi masyarakat dalam melihat orang dengan disabilitas mental sebagai seorang warga negara. Putusan MK itu mempertimbangkan posisi putusan pengadilan sebagai perantara untuk meluruskan persepsi yang dianggap keliru dalam masyarakat.
Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015, MK menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a hanya mengatur aspek administrasi dalam pelaksanaan Pilkada. Pasal itu tidak mengganggu hak memilih warga negara, terutama warga negara yang mengalami gangguan jiwa atau ingatan. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa dalam memahami Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015, perlu juga memperhatikan ayat lain dalam Pasal 57, terutama ayat (4).
Pasal 57 ayat (4) mengatur, “Warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat pemungutan suara tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak memilihnya.” Ketentuan itu ditafsirkan oleh MK bahwa para calon pemilih yang tidak memenuhi syarat pada Pasal 57 ayat (3)—baik karena alasan sedang terganggu jiwa atau ingatannya maupun karena sedang dicabut hak pilihnya—tetap dapat mengikuti pemilihan umum dengan berdasar pada ketentuan pada Pasal 57 ayat (2).
Apabila MK berhenti pada titik tersebut—sebatas melihat konstruksi pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2015, MK akan menolak permohonan dalam Putusannya. Hal itu berarti MK bisa jadi menyatakan bahwa rumusan Pasal 57 ayat (3) huruf a tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun, MK menggunakan sudut pandang lain yang dianggap berpengaruh dan perlu diluruskan. MK menyatakan dalam Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 bahwa saat ini ada kerancuan persepsi dalam masyarakat yang beranggapan bahwa gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan dibayangkan sebagai kondisi “gila, atau yang secara medis disebut sebagai sakit jiwa yang sifatnya permanen. Dengan begitu, MK bermaksud ikut berperan melalui Putusannya untuk menjernihkan berbagai kerancuan yang cenderung menimbulkan stigmatisasi serta perlakuan yang tidak tepat.
Dalam Putusan tersebut, MK berpendapat bahwa setiap jenis gangguan jiwa atau ingatan begitu beragam. Oleh karena itu, penggunaan tanda garis miring (/) dalam frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang tercantum pada Pasal 57 ayat (3) huruf a merupakan suatu kekeliruan. Itu akan menimbulkan akibat hukum yang sama terhadap suatu kondisi yang berbeda. Selain itu, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 mengatur suatu pembatasan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu berdasarkan suatu kondisi, yaitu gangguan jiwa atau ingatan. Dengan begitu, seharusnya Pasal itu dilengkapi ketentuan yang mengatur perihal mekanisme dalam menentukan apakah seseorang sedang atau tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. untukUmenentukan hal itu, dibutuhkan suatu profesi khusus, yang apabila merujuk kepada Pasal 73 UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pasal 150 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum dilakukan oleh spesialis kedokteran jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan ketiadaan mekanisme penentuan oleh profesi khusus itu, potensi untuk terjadinya ketidakadilan atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu akan sangat besar.
Dengan pertimbangan tersebut, MK menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan prinsip pemilihan umum yang dianut dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, sekaligus juga bertentangan prinsip pengakuan hukum yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Dengan begitu, orang dengan gangguan jiwa atau ingatan—yang juga termasuk dalam orang dengan disabilitas mental—tidak dapat dikatakan berada dalam kondisi yang seragam dan permanen. Oleh karena itu, tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun, terutama undang-undang, yang dapat mengurangi hak memilihnya, baik pada saat pendaftaran pemilih atau pada saat menggunakan hak memilihnya dalam suatu pemilihan umum.