Universitas Koc menjadi tempat konferensi tahunan bertajuk Sixth Annual YCC Global Conference yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Perbandingan Hukum Amerika (American Society of Comparative Law). Lebih dari seratus peserta hadir dalam konferensi yang diadakan pada 27—29 April 2017. Setelah melalui tahapan seleksi abstrak, tiga orang peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) hadir untuk mempresentasikan paper mereka.
Muhammad Reza Winata mempresentasikan penelitiannya mengenai “Relasi Mahkamah Konstitusi dan Pembentuk Undang-Undang di Indonesia: Urgensi dan Rasionalisasi Pengesampingan terhadap Putusan Pengujian Undang-Undang.” Permasalahan yang diidentifikasi adalah karakterisitik praktik pengesampingan terhadap putusan MK, finalitas putusan MK yang dikesampingkan, dan implikasi pengesampingan terhadap demokrasi konstitusional di Indonesia. Kajian itu berusaha menanggapi diskursus beberapa ahli dan organisasi masyarakat sipil yang menuntut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi wajib selalu dipatuhi oleh semua lembaga negara, termasuk Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Saat ini, Mahkamah Konstitusi sedang melakukan pengujian terhadap pengaturan terkait lanjut putusannya. Untuk menemukan jawaban mengenai isu itu, Reza memilih sampel terhadap 54 putusan yang telah ditindaklanjuti dengan undang-undang perubahan atau pengganti dari 148 putusan yang dikabulkan semenjak 2003—2013.
Selama 10 tahun tersebut, hanya 16 putusan yang dikesampingkan dengan berbagai karakteristik berbeda. Data itu menunjukkan pembentuk undang-undang masih cenderung mengikuti putusan. Analisis berdasarkan konsep check and balances serta living constitution memberikan pemaknaan terhadap finalitas putusan, yaitu putusan itu final dan mengikat sepanjang tidak dikesampingkan oleh pembentuk undang-undang, bahkan dalam keadaan tertentu pengesampingan wajib dilaksanakan untuk merespons perubahan masyarakat. Hal itu sekaligus menegaskan reaksi pembentuk undang-undang untuk mengikuti atau mengesampingkan putusan merupakan pilihan sehingga putusan tidak mutlak selalu diikuti. Karakteristik pengesampingan dapat berimplikasi positif atau negatif terhadap demokrasi, pengesampingan berpengaruh positif jika didasarkan rasionalisasi yang komprehensif merespons kondisi masyarakat, sedangkan berdampak negatif jika gagal menjelaskan urgensi dan hanya menguntungkan elit atau golongan tertentu. Untuk itu, mekanisme pengesampingan terhadap putusan berkontribusi menciptakan siklus pembentukan undang-undang yang konstruktif dan dialog konstitusional yang komunikatif antara lembaga-lembaga negara.
Mulki Shader mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia dalam Perlindungan Hak Atas Peradilan yang Cepat dalam Penyelesaian Perkara Pengujian Undang-Undang pada Mahkamah Konstitusi RI”. Penelitian itu dilatarbelakangi oleh keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlambat oleh berbagai pihak, misalnya pada perkara nomor 14/PUU-XI/2013 tentang keserentakan pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum legislatif. Selain itu, terdapat pula fakta bahwa dalam risalah persidangan pengujian undang-undang, ada hakim yang menolak untuk mempertimbangkan permohonan prioritas penyelesaian perkara yang diajukan oleh pemohon.
Penelitian tersebut mencoba untuk mengkaji mengenai hal-hal yang mempengaruhi waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi dan menganalisis wujud ideal perlindungan hak atas peradilan yang cepat (rights to speedy trial) pada perkara pengujian undang-undang berdasarkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (human right-based approach). Hasil penelitian mengindikasikan tiga faktor yang mempengaruhi waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang, di antaranya beban perkara, teknis yudisial, dan diskresi hakim. Selain itu, berdasarkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (human right-based approach), Mahkamah Konstitusi sebagai duty barrier berperan penting dalam melindungi hak atas peradilan yang cepat para pemohon sebagai right holder. Peran itu dapat dilakukan dengan secara aktif dan konsisten menilai kebutuhan prioritas penyelesaian pada tiap perkara pengujian undang-undang.
Estu Dyah Arifianti mempresentasikan hasil penelitian yang berjudul “Tantangan Implementasi Gugatan Sederhana (Small Claims Court) di Indonesia”. Bukan tanpa sebab, topik small claims court menjadi bagian dari penelitian dan advokasi PSHK bersama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dalam tiga tahun terakhir. Tujuh ratuh enam puluh dua (762). Itulah jumlah perkara small claims court sejak peraturan tentang gugatan sederhana disahkan sampai dengan 2016. Angka itu kecil jika dibandingkan dengan jumlah semua gugatan yang masuk di pengadilan; hanya sebesar 1,81%. Semakin kecil jika dibandingkan dengan usaha kecil menengah yang berpotensi memiliki sengketa, rasionya yakni 0,013%. Dari riset yang dilakukan PSHK dan LeIP, terdapat beberapa temuan dan mengenai pelaksanaan small claims crourt.
Analisis atas pelaksanaan small claims court didasarkan pada asas peradilan yang mudah, cepat, dan murah. Ketentuan bahwa perkara gugatan sederhana harus diselesaikan dalam 25 hari kerja sejak sidang pertama mendorong semua pihak baik penggugat, tergugat, maupun hakim untuk menaatinya. Selain itu, pemotongan proses perkara perdata biasa (seperti replik, duplik, konvensi, rekonvensi, dan kesimpulan) mendorong cepatnya proses penyelesaian perkara small claims court. Para pihak yang dapat menyelesaikan perkaranya tanpa menggunakan jasa advokat berpengaruh pada tidak banyaknya biaya yang dikeluarkan. Selain beberapa hal positif, terdapat beberapa tantangan untuk perbaikan pelaksanaan small claims court. Mahkamah Agung perlu meninjau larangan pihak yang berdomisili di wilayah hukum yang berbeda untuk berperkara dalam small claims court. Perlu adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah petugas pengadilan dan para pihak dalam mengikuti proses penyelesaian perkara. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan kepada internal pengadilan oleh Mahkamah Agung. Terakhir, mendorong Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk didiskusikan oleh pemerintah dan DPR agar pengaturan mengenai hukum acara perdata ideal, termasuk small claims court.
Pengalaman mempresentasikan penelitian di hadapan peneliti dan akademisi dari berbagai negara sangat penting. Pengetahuan dan pokok bahasan baru juga didapatkan dari presentasi peserta lain pada konferensi tersebut. Mengikuti Sixth Annuall YCC Global Conference semakin memotivasi para peneliti PSHK yang hadir untuk mengembangkan kajian perbandingan hukum dalam pelaksanaan penelitian pada masa mendatang.
Penulis: ED, MS, MRW
Editor: APH