Terhitung sejak bulan Januari 2018, masyarakat sipil Indonesia, khususnya yang bergerak di bidang hukum kehilangan tiga orang figurnya. Asep Rahmat Fadjar, Widodo Budidarmo dan Supriyanto Widodo Eddyono; yang akrab kami panggil Asep, Dodo dan Supi telah berpulang keharibaan-Nya. Asep telah berpulang setahun sebelumnya di Januari 2017, sementara Dodo dan Supi berturut-turut di Desember 2017.
Kiprah terakhir Asep adalah di Kantor Staf Presiden (KSP), Dodo di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH) Jakarta dan Supi adalah Direktur Eksekutif Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR). Kepergian mereka bertiga yang begitu cepat mengingatkan akan isu dan agenda reformasi hukum yang sedang berjalan.
Asep berperan besar dalam menyusun konsep reformasi regulasi yang hendak diusung Presiden Joko Widodo. Sementara Dodo, selain mendirikan organisasi Arus Pelangi yang memperjuangkan hak-hak sipil warga LGBT, di tahun-tahun terakhir hidupnya aktif menjadi penggalang dana untuk LBH Jakarta. Supi sendiri aktif melakukan advokasi reformasi hukum pidana melalui jalur uji materi peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Aktivitas dan jalur yang dipilih (dan ditinggalkan) oleh Asep, Dodo dan Supi merupakan model intervensi baru dari masyarakat sipil terhadap isu reformasi hukum. Tulisan ini bermaksud mengelaborasi model intervensi yang ditinggalkan almarhum Asep, Dodo dan Supi terhadap agenda reformasi hukum.
Mengapa hal ini perlu dibahas? Karena dampak reformasi hukum tidaklah hanya untuk mereka yang berprofesi di bidang hukum saja. Reformasi hukum membicarakan kelembagaan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, Mahkamah Agung (MA) serta Mahkamah Konstitusi. Keputusan sektoral di masing-masing institusi tersebut seperti soal tilang atau batas denda untuk tindak pidana ringan misalnya, imbasnya akan sama untuk Rizal di Sawahlunto atau Sugeng di Kediri.
Berbicara reformasi hukum tentunya tidak sebatas proses dan performa penegakan hukum, tapi termasuk pengawalan pembentukan regulasi dari tingkat pusat serta daerah hingga inisiatif dari kelompok masyarakat sipil sebagai salah satu aktor dalam pembangunan hukum. Dalam semesta itulah ruang intervensi yang telah dirintis serta diciptakan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi menjadi menarik untuk dibicarakan.
Karir Sebagai Perwujudan Ruang Intervensi
Pada awal karirnya di bidang reformasi hukum, Asep ikut mendirikan Mahasiswa Pemantau Peradilan (MAPPI-FHUI), sebuah organisasi yang berisikan mahasiswa berbasis kampus yang aktif dalam isu-isu peradilan. Kemudian Asep sempat selama beberapa waktu menjadi juru bicara Komisi Yudisial saat Busyro Muqqodas menjadi pimpinan.
Posisi Asep terakhir adalah sebagai tenaga ahli Deputi bidang Politik, Hukum dan Pertahanan di KSP; yang khusus mengawal reformasi regulasi. Jalur kiprah yang ditempuh Asep adalah di organisasi masyarakat sipil berbasis kampus kemudian birokrasi di Komisi Yudisial kemudian berakhir di Kantor Staf Presiden.
Sementara untuk Dodo, ia merintis karirnya dengan pertama-pertama mendirikan organisasi Arus Pelangi yang bergerak di perlindungan hak sipil kaum minoritas LGBT. Setelah mendirikan Arus Pelangi, Dodo menjadi ujung tombak penggalangan dana Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH) Jakarta. Bersama timnya, Dodo membuat program Solidaritas Masyarakat Peduli Keadilan atau SIMPUL.
Tim SIMPUL menyambangi kantor-kantor firma hukum serta membuka stand di berbagai event-event di Jakarta untuk meminta kesediaan orang-orang untuk menjadi donatur LBH via pendebetan kartu kredit. Cara Dodo ini terbukti cukup efektif karena melalui metode ini, LBH Jakarta berhasil mengumpulkan Rp40 juta per bulan menurut Direktur LBH Jakarta Al Ghifari Aqsha.
Sedangkan almarhum Supi mengawali karirnya sebagai peneliti di ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Kemudian Supi mendirikan Indonesia Center for Criminal Justice Reform (ICJR) yang aktif melakukan riset serta advokasi untuk reformasi hukum pidana, terutama untuk revisi KUHP dan KUHAP.
Di bawah komando Supi sebagai Direktur Eksekutif, ICJR menggunakan Mahkamah Konstitusi dan pengadilan negeri sebagai arena untuk advokasi dengan tujuan strategis. Misalnya mengajukan pendapat hukum ke Pengadilan Negeri Sanggau Kalimantan Barat, untuk kasus Fidelis yang menanam ganja untuk pengobatan istrinya. Yang terkini menjadi Amicus Curae (sahabat pengadilan) yang memberi masukan pada Mahkamah Konstitusi sehubungan uji materi pasal KUHP tentang perzinaan yang diantisipasi akan membuka kriminalisasi besar-besaran untuk tindak pidana kesusilaan.
Almarhum Supi sendiri kerap dalam mewakili masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi undang-undang ke Mahkamah Agung. Terbilang untuk uji materi pasal makar di KUHP hingga pasal UU MD3 sampai Perppu Ormas, Supi maju sebagai pemohon ke Mahkamah Konstitusi.
Setelah penjelasan mengenai sekilas jejak karir Asep, Dodo dan Supi kita bisa menarik beberapa pembahasan. Pertama-tama kita harus membayangkan isu reformasi hukum, baik isu maupun institusi yang berkecimpung di dalamnya adalah bagai sebuah jagad tersendiri.
Ketika kita membicarakan reformasi hukum, Asep, Dodo dan Supi melalui jalur dan metodenya masing-masing telah menciptakan intervensi terhadap jagad tersebut. Ketiganya sama-sama menempuh jalur yang identik yaitu memulai dari organisasi masyarakat sipil yang berkonsentrasi pada isu yang cukup spesifik. Asep untuk pemantauan peradilan, Dodo dalam isu hak-hak LGBT sementara Supi untuk HAM.
Dari “sekadar” berkecimpung dan fokus pada pengawalan isu serta penyusunan kebijakan, mereka bertiga bergerak ke arah yang lebih sistemik lagi. Dalam posisinya sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden, Asep meluncurkan reformasi regulasi dalam penegakan hukum sebagai kebijakan hukum pemerintahan Joko Widodo.
Kekayaan pengalaman serta jaringan Asep semasa dirinya bergiat di organisasi masyarakat sipil menambah amunisi untuk agenda ini. Dari pengalamannya menggeluti isu kelembagaan ini Asep paham di mana saja terjadi sumbatan regulasi dan kebijakan yang saling berlawanan satu sama lain dalam birokrasi penegakan hukum.
Bila dalam posisinya sebagai pekerja di organisasi masyarakat sipil membuat kontribusinya pada reformasi hukum dari luar pagar, maka kini Asep berada di dalam pagar sendiri dan memainkan perannya dari dalam. Jaringan yang sudah terbina sejak awal karirnya tetap diberikan peran oleh Asep sebagai mitra ataupun teman kritisnya dalam pelaksanaan usulan kebijakan reformasi regulasi tersebut.
Dodo sebagai pendiri dan pegiat advokasi hak kaum minoritas dalam organisasi Arus Pelangi, khususnya LGBT, paham bahwa belum semua lapisan masyarakat dengan terbuka menerima isunya. Namun pembelaan terhadap kaum LGBT yang teraniaya hak-hak sipilnya tentu tak bisa menunggu kesiapan masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, apakah organisasi yang konsisten terdepan dalam membela hak-hak kaum rentan? Apalagi mengingat kaum LGBT yang kerap dipinggirkan hak-hak sipilnya adalah mereka yang juga termarginalkan dalam hal akses ekonomi serta politik.
Rekam sejarah menunjukkan bahwa LBH Jakarta adalah salah satu lembaga bantuan hukum yang tak pernah absen memberikan bantuan hukum pada mereka yang minim akses ekonomi, politik serta sosial. Sambil tetap aktif menggaungkan hak-hak sipil untuk kaum LGBT, Dodo kemudian mengepalai tim penggalangan dana publik untuk LBH Jakarta.
Model penggalangan dana publik untuk LBH Jakarta ada yang melalui pendebetan rekening tabungan atau kredit ataupun melalui penjualan karya seni yang pendapatannya kemudian diberikan pada LBH Jakarta. Inilah ruang intervensi yang diciptakan oleh Dodo. Dari mengusung persamaan hak sipil kaum LGBT melalui advokasi dalam bentuk penyusunan kertas kerja atau pengawalan isu yang beredar di publik; Dodo bergeser sedikit.
Sebagai pendiri Arus Pelangi, Dodo paham betul bahwa diskriminasi dan pelanggaran hak-hak sipil merupakan ancaman sehari-hari kaum LGBT yang membuat mereka semakin termarginalkan. LBH Jakarta adalah salah satu organisasi yang kerap terdepan dalam membela hak-hak sipil kaum rentan seperti LGBT, sehingga ketika organisasi tersebut operasionalnya terancam karena terbatasnya dana berarti semakin sedikit sekutu yang siap membela para LGBT.
Mungkin Dodo tidak mengambil sikap ini secara sadar. Namun berdasarkan rekam jejaknya LBH Jakarta. bergulirnya roda organisasi berarti berjalannya pembelaan bagi kaum rentan. Dan kaum LGBT di Indonesia adalah termasuk mereka yang paling termarginalkan hak-hak sipilnya.
Sementara itu, Supi menciptakan ruang intervensinya melalui ruang-ruang sidang pengadilan, terutama di Mahkamah Konstitusi. Selain tetap menyuarakan sikap bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia semakin meningkat dan revisi KUHP; almarhum Supi adalah litigator tangguh di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Terbilang beberapa kasus pengujian undang-undang yang cukup monumental pernah diajukan oleh Supi. Pada tahun 2017 lalu, Supi tercatat menjadi salah satu kuasa hukum untuk pengujian UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengajukan uji materi untuk pasal batas usia anak.
Sebelumnya pada tahun 2011, Supi menjadi salah satu pengaju uji materi pasal-pasal penyadapan UU ITE. Terakhir pada tahun 2017, Supi menjadi salah satu pihak yang mengajukan uji materi pasal KUHP mengenai makar. Apabila Asep memulai intervensinya sebagai dengan mengagas reformasi regulasi di Istana Kepresidenan sementara Dodo mengintervensi model pembelaan pada kelompok rentan dengan menggalang pencarian dana maka Supi melengkapinya dengan beracara untuk uji materi dengan substansi hukum yang strategis di Mahkamah Konstitusi.
Ruang intervensi di birokrasi, organisasi masyarakat sipil dan lembaga peradilan sebagaimana dilakukan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi telah membawa kita pada pembahasan lain. Kepergian Asep, Dodo dan Supi menciptakan jeda untuk inisiatif-inisiatif bermakna di bidang yang mereka geluti. Suka tidak suka, memasuki tahun 2018 sebagai tahun politik, jeda yang tercipta karena berpulangnya Asep, Dodo dan Supi ini akan semakin tajam terasa.
Keberlanjutan Intervensi dan Tahun Politik
Jeda akan intervensi itu semakin menggigit apabila kita melihat fakta-fakta berikut. Presiden Joko Widodo pada 2017 lalu menyebutkan bahwa peraturan di Indonesia sudah sebegitu banyaknya sehingga layak disebut ‘obesitas regulasi’. Tercatat ada 3.153 peraturan yang hendak dibatalkan oleh Kemendagri namun sayangnya Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pembatalan tersebut.
Kemudian berhubungan dengan kelompok rentan, laporan tahunan LBH Jakarta mencatat selama 2017 pengaduan terbanyak dari kelompok ini adalah pelanggaran hak kebebasan berpikir, berserikat dan beragama sebanyak 666 kasus.
Dari simpang yang berbeda, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Aliansi Cinta Keluarga (AILA) untuk memperluas makna perzinaan dalam pasal KUHP. Dengan penolakan ini berarti pertarungan definisi perzinaan sebagaimana dimohonkan AILA kembali ke ranah pembahasan rancangan revisi KUHP bersama DPR dan Pemerintah.
Mengapa fakta-fakta tersebut perlu diangkat? Karena sepertinya kita perlu menengok ke fakta-fakta tersebut, bukan saja karena isunya merupakan ranah yang ditinggalkan almarhum Asep, Dodo dan Supi, melainkan karena substansinya integral dengan agenda reformasi hukum, apalagi di tahun politik ini.
Reformasi regulasi pusat dan daerah serta advokasi pembelaan terhadap kaum rentan merupakan dua isu yang menjadi pintu masuk intervensi Asep dan Dodo selama ini. Reformasi hukum pidana dan uji materi perundang-undangan yang diyakini nilai-nilainya bertentangan dengan konstitusi merupakan arena intervensi yang menjadi ranah Supi. Perlu ada pemantapan isu serta agenda lebih lanjut agar ruang-ruang intervensi dari individu tersebut untuk reformasi hukum tidak terhela sejarah.
Kita bisa memulai dari pembenahan regulasi yang bertumpuk baik di tingkat pusat maupun daerah dan saling bertabrakan satu sama lain sebagai salah satu target reformasi hukum. Materi lain yang juga perlu dibicarakan dalam reformasi hukum adalah agenda revisi KUHP serta KUHAP yang pembahasannya tertunda hingga kini.
Perlu diingat satu tujuan reformasi hukum adalah meningkatnya kualitas demokrasi. Namun sulit bagi kita untuk berbicara secara tertib soal reformasi regulasi, apalagi reformasi hukum, bila kualitas demokrasi kita semakin menipis. Salah satu ciri utama demokrasi adalah terjaminnya kebebasan berpendapat, berserikat dan menyatakan pendapat.
Sayangnya pada tahun 2017 ini, LBH Jakarta dalam laporan tahunannya mencantumkan bahwa pelanggaran hak kebebasan berpenadapat, berserikat dan menyatakan pendapat mencapai 600 laporan lebih sebagaimana diuraikan sebelumnya. Kontestasi pilkada di Jakarta lalu ternyata menguatkan politik identitas yang membuat masyarakat semakin tersegregasi dan mempersekusi satu sama lain.
Kontras mencatat dalam laporan tahunannya bahwa DKI Jakarta memiliki kasus tertinggi untuk pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat selama tahun 2017 sebagai akibat dari penyelenggaran pilkada. Hal ini dikuatkan dengan temuan Jaringan Relawan untuk Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENET) bahwa selama tahun 2017 telah ada 105 orang yang dipersekusi. Termasuk dalam angka ini wartawan Zulfikar Akbar yang dipecat dari media tempatnya bekerja karena komentarnya dianggap menyinggung ustad, dokter perempuan di Solok hingga kakak beradik yang dianggap pasangan LGBT.
Hal-hal tersebut di atas menjadikan ruang intervensi yang sudah dirintis oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi menemukan kegentingannya di tahun 2018 ini. Mesin politik partai dan petahana akan berderu menyukseskan pilkada serentak di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Untuk memastikan ruang intervensi bidang reformasi hukum yang telah dimulai oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi tidak tersia-sia di tahun politik ini, kita semua perlu kritis dan mengawal beberapa hal.
Pertama, tidak menjadikan pilkada serentak sebagai pemaaf untuk menurunnya kinerja aparat penegak hukum terutama untuk kasus-kasus pelanggaran hak-hak sipil yang menimpa kelompok rentan. Tingginya kasus persekusi sebagai akibat pilkada seharusnya merupakan pengingat bagi aparat penegak hukum untuk menjaga netralitas dalam pilkada serta mengedepankan kepentingan publik.
Kedua, mengawal agenda perundang-undangan, khususnya revisi KUHP dan KUHAP agar tidak menjadi komoditas transaksional untuk kepentingan politik pragmatis. Politik identitas sudah terbukti mampu semakin mensegregasi masyarakat dan ketika materi sensitif masuk ke ranah politik, dampaknya bisa tak terkontrol.
Ketiga, menempatkan serta menagih reformasi regulasi baik pusat maupun daerah menjadi bagian dari komitmen program para kandidat yang berlaga di pilkada maupun pilpres. Reformasi regulasi haruslah merupakan agenda yang terorkestrasi dari pusat dan daerah. Tanpa pembenahan regulasi yang sinergis antara pusat dan daerah; tantangan pembangunan yang bersumber dari regulasi takkan mampu ditaklukkan.
Keempat, lembaga peradilan harus diintensifkan sebagai arena kontestasi argumen hukum serta keberpihakan pada isu yang berdampak pada kelompok rentan. Individu dan organisasi masyarakat sipil perlu tetap konsisten maju menjadi pihak terkait untuk uji materi perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, memberikan pendapat hukum ataupun berposisi sebagai amicus curae di pengadilan.
Langkah-langkah tersebut tentunya bukan resep mujarab dan terbuka untuk dikritik. Namun sirkus pilkada serentak hingga pilpres kelak bisa mengaburkan konsistensi sikap dan keberpihakan individu maupun kelompok. Ruang intervensi yang ditinggalkan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi adalah model dan inspirasi kontribusi bagi siapapun yang bergerak di bidang reformasi hukum.
Secara khusus elemen masyarakat sipil yang bergerak di bidang hukum, adalah untuk menjaga konsistensi, stamina serta mandat kelembagaan agar tetap dalam koridor keadilan dan keberpihakan pada mereka yang rentan dan semakin tersisih dalam hiruk pikuk tahun politik ini. Dalam jangka panjang, sejarah akan mencatat bagaimana reformasi hukum di Indonesia menjadi semakin kaya dengan model intervensi yang dilahirkan oleh almarhum Asep, Dodo dan Supi.