Sudah lebih dari satu dekade, setiap akhir tahun DPR mengeluarkan daftar RUU prioritas yang akan dibahas pada tahun berikutnya. Daftar itu menjadi acuan kinerja DPR (bersama pemerintah) dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa perencanaan penyusunan undang-undang (UU) dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sedangkan pengertian dari Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.[1] Dari pengaturan dua pasal diatas, dapat dikatakan bahwa Prolegnas merupakan instrumen perencanaan yang digunakan oleh DPR untuk menjalankan fungsi legislasi. Bermula dari perencanaan, DPR selanjutnya akan menentukan target yang akan dicapai. Dari capaian itulah kemudian dapat menjadi bahan evaluasi legislasi, untuk perbaikan kedepannya.
Dalam mengevaluasi UU capaian Prolegnas dapat ditinjau dari dua aspek yaitu kuantitas dan kualitas. Masyarakat pada umumnya lebih tertarik pada aspek kuantitas karena menyajikan angka-angka statistik dan perbandingan capaian setiap tahun, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Sedangkan aspek kualitas lebih membutuhkan analisa dan pengetahuan lebih mendalam. Namun jika ditinjau dari segi hasil, evaluasi secara kuantitas tidak menggambarkan kondisi yang utuhHal itu dapat melahirkan hasil evaluasi yang tidak tepat sasaran.
Evaluasi ditinjau dari aspek kuantitas bukan berarti tanpa manfaat. Melalui aspek kuantitas dapat dilihat pencapain Prolegnas pada tahun tertentu. Pencapaian itu dilihat dengan membandingkan RUU yang direncanakan dengan UU yang berhasil disahkan. Selain itu, UU itu juga dapat dibagi kedalam kategori atau bidang tertentu sehingga dapat diketahui kecenderungan UU yang lebih banyak disahkan dalam satu tahun. Data itu dapat menjadi petunjuk awal terhadap arah politik-hukum DPR dan Pemerintah pada tahun itu.
Tinjauan dari aspek kuantitas merupakan tahap awal dalam mengevaluasi capaian Prolegnas secara paripurna. Untuk itu perlu ditindaklanjuti atau ditinjau lebih dalam dengan aspek kualitas. Penilaian terhadap kualitas undang-undang tertuju pada dua wilayah, yaitu proses dan substansi (rancangan) undang-undang. Kualitas proses bisa kita telusuri sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pengesahan. Sedangkan kualitas substansi atau isi rancangan undang-undang dapat kita kaji mulai dari bacaan terhadap Naskah Akademik (NA), tujuan pengaturan, pengaruh terhadap pemangku kepentingan (stakeholders) dan prinsip-prinsip dasar (seperti HAM, konstitusi, peraturan terkait, lingkungan, gender, dll), beban keuangan hingga hal-hal teknis berupa struktur penulisan dan kalimat perundang-undangan.
Catatan Kuantitatif Prolegnas 2012
Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2012, DPR dan Pemerintah merencanakan penuntasan 64 RUU serta 5 kategori RUU Kumulatif Terbuka, kemudian muncul penambahan 5 RUU sehingga totalnya ada 69 RUU dengan 5 kategori RUU Kumulatif Terbuka. Sepanjang 2012, DPR (dan Pemerintah) telah menyelesaikan pembahasan 30 RUU menjadi undang-undang. Berdasarkan nomor urut UU, secara keseluruhan ada 32 UU. Namun, dua UU pertama, yaitu UU No. 1 Tahun 2012 tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disahkan pada tahun 2011. DPR dan Pemerintah dalam hal ini hanya mampu menyelesaikan kurang dari 50% dari jumlah target yang direncanakan pada Prolegnas 2012.
Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa ada peningkatan jumlah UU yang disahkan dalam dua tahun terakhir. Pencapaian 30 UU itu merupakan jumlah terbanyak apabila dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yaitu 16 UU pada 2010 dan 24 UU pada 2011. Hal itu patut diapreasi, namun jelas masih jauh dari target yang dicanangkan oleh DPR. Dari sudut pandang perencanaan, legislasi tahun 2012 masih sama seperti legislasi pada tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah mencapai jumlah target dalam Prolegnas. Apabila dilihat secara presentase, kuantitas capaian Prolegnas dalam 3 tahun terakhir selalu dibawah 50% yaitu 23% pada 2010, 26% pada 2011, dan 43% pada 2012.
Namun apabila dilihat lebih mendalam, dari 30 UU tersebut, hanya 10 UU yang merupakan UU Non-Kumulatif Terbuka (di luar UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), UU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, dan UU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota) sedangkan 20 UU lainnya merupakan UU yang masuk kategori UU Kumulatif Terbuka. Oleh karena itu, data-data diatas menunjukan bahwa evaluasi secara kuantitas belum bisa menjadi patokan baik atau tidaknya materi muatan yang terkandung dalam UU yang telah disahkan.
Catatan Dalam Aspek Kualitas Prolegnas 2012
Selama 2012 berdasarkan hasil pemantauan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dapat dilihat bahwa proses yang ada pada tahap perencanaan sangat mempengaruhi pola pembahasan dan substansi rancangan undang-undang. Temuan ini menjadi bahan penilaian bahwa desain Prolegnas yang bermasalah mengakibatkan pembahasan rancangan undang-undang menjadi berlarut-larut, karena tidak diawali dan dilengkapi dengan persiapan waktu dan bahan yang memadai. Selain itu, sejumlah perdebatan tentang teknis pembahasan maupun substansi RUU sebenarnya bisa diantisipasi seandainya Prolegnas hadir sebagai instrumen perencanaan yang sensitif terhadap kapasitas kelembagaan serta kemampuan mengolah aspirasi dan merespon dinamika.
Beberapa fakta berikut mengkonfirmasi penilaian PSHK itu, antara lain:
- Dalam Rapat Pleno Badan Legislasi (4 Desember 2012), fraksi-fraksi meminta penundaan pembahasan RUU Pilpres. Alasannya, fraksi-fraksi masih akan mengkaji dan mempertimbangkan kembali perlu tidaknya revisi UU Pilpres. Sikap yang seperti ini seharusnya sudah bisa disampaikan pada saat sebelum Prolegnas lima tahun atau prioritas tahunan ditetapkan.
- Komisi VIII mengusulkan RUU Pengelolaan Ibadah Haji, sedangkan pemerintah mempersiapkan RUU Keuangan Haji. Materi pengaturan yang sebenarnya bisa ditempatkan dalam satu undang-undang. Namun, Prolegnas 2010-2014 mencantumkan keduanya secara terpisah. Potensi tumpang tindih sangat besar, seperti yang terjadi pula saat penyusunan RUU Perkoperasian dan RUU Lembaga Keuangan Mikro.
- Dalam sebuah forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan oleh Komisi VIII, Senin, 18 Juni 2012, Wakil Ketua Komisi VIII pernah menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) tidak pernah dibuat oleh Komisi VIII. Padahal RDPU itu sendiri diselenggarakan dalam rangka mendapatkan masukan atas RUU KKG. Selain itu pula, RUU KKG sendiri masuk dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas 2012. Situasi ini jelas mengkonfirmasi adanya ketidaksinkronan antara Prolegnas (Prioritas 2012) dengan apa yang seharusnya dipersiapkan oleh alat kelengkapan, dalam hal ini komisi.
Sikap pro dan kontra terhadap suatu rancangan undang-undang bukan menjadi sebuah kemunduran. Namun, melalui perencanaan yang baik, beragam respon dan perdebatan yang muncul dapat difasilitasi dan diolah dalam situasi yang relevan, seperti pada tahap penyusunan naskah akademik atau memunculkan lebih dulu isu pokok yang melatarbelakangi suatu rancangan undang-undang. Langkah ini yang seharusnya bisa diberlakukan untuk jenis rancangan undang-undang dengan polarisasi kepentingan yang cukup tajam seperti RUU Aparatur Sipil Negara, atau yang kontroversial dengan tingkat resistensi publik yang tinggi, seperti RUU Keamanan Nasional dan RUU Organisasi Masyarakat.
Perencanaan legislasi berpeluang untuk memfasilitasi dan mendialogkan urgensi atau alasan kenapa suatu rancangan undang-undang mengamanatkan pembentukan suatu lembaga atau badan baru. Sedangkan selama 2012, masih tersisa beberapa rancangan undang-undang yang menghendaki adanya lembaga atau badan baru, seperti RUU Jaminan Produk Halal, RUU Perlindungan dan Pencegahan Pembalakan Liar, dan RUU Aparatur Sipil Negara.
Selain kualitas perencanaan yang bermasalah, baik DPR dan Pemerintah masih memperlihatkan koordinasi internal yang lemah. Dampaknya, proses pembicaraan tingkat I menjadi terganggu, bahkan tahap- tahap tertentu tidak bisa dimulai atau akhirnya ditunda. Kita bisa mengamatinya saat:
- Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran yang berlangsung lama, bahkan sempat mengalami penundaan dari April hingga berakhirnya Masa Sidang II (Desember 2012), ternyata disebabkan juga oleh hal teknis, yaitu koordinasi di internal DPR maupun pemerintah yang lemah. Awalnya, RUU Pendidikan Kedokteran dibahas oleh Komisi X. Belakangan setelah sekian lama dibahas, Komisi IX ingin turut terlibat. Di sisi pemerintah, kelambanan terjadi karena presiden belum mendapatkan laporan yang memadai dari wakil pemerintah yang ditugaskan membahas RUU tersebut.
- Komitmen penyelesaian Daftar Inventaris Masalah (DIM) masih lemah, baik di internal DPR maupun Pemerintah. Tidak ditentukannya batas waktu penyerahan DIM oleh fraksi-fraksi di DPR turut berkontribusi terhadap dimulainya pembahasan RUU Pemilukada. Di sisi Pemerintah, kelambanan penyerahan DIM terjadi pada RUU Perlindungan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, sebagai pengganti UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Meskipun sudah ada Surat Presiden pada 2 Agustus 2012, namun hingga 17 September 2012, DIM dimaksud belum diserahkan juga oleh Pemerintah. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pula pada RUU Perubahan UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Pembenahan Instrumen Perencanaan Legislasi
Membaca catatan diatas, maka pembenahan mutlak dilakukan, baik oleh DPR maupun Pemerintah. DPR dan Pemerintah merupakan aktor utama dalam penyusunan dan pengejawantahan Prolegnas. Pembenahan itu dapat dimulai dengan perbaikan internal DPR. Perbaikan internal DPR harus dilakukan dengan melibatkan semua elemen terutama fraksi yang ada. Fraksi dapat berperan dengan menempatkan anggota yang tepat dalam setiap pembahasan RUU. Sedangkan perbaikan internal pemerintah dapat ditempuh dengan menjaga konsistensi penyaringan RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas. RUU yang diprioritaskan sudah harus memiliki Naskah Akademis, Naskah RUU, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya.
Dalam penyusunan RUU Prolegnas, PSHK pernah mengusulkan agar Prolegnas disusun tiap satu tahun saja, tidak untuk 5 (lima) tahun seperti saat ini. Hal itu terkait dengan arah kerja dan mekanisme penganggaran Pemerintah maupun DPR yang disusun pada setiap tahunnya. Penyusunan Prolegnas seharusnya tidak dilakukan dalam tahun pertama masa jabatan DPR dan Pemerintah. Tahun pertama dapat dioptimal sebagai tahun persiapan untuk penyusunan dokumen-dokumen pendukung seperti Naskah Akademis serta Naskah RUU. Dengan begitu, potensi timbulnya permasalahan dapat terbaca dan bisa segera ditemukan solusinya. Selain itu, masyarakat juga dapat lebih banyak berpartisipasi.
Proses RUU yang akan menjadi prioritas juga perlu dibenahi. RUU itu harus melewati persyaratan yang ketat. DPR dan Pemerintah harus dengan tegas hanya memprioritaskan RUU yang sudah sangat siap untuk dibahas. Kesiapan itu merujuk pada ketersediaan terkait dengan dokumen-dokumen pendukung. RUU itu juga memilik urgensi yang tinggi untuk dibahas dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan. Selain itu, dalam penyusunannya juga harus melihat dan memperbaiki hasil evaluasi pelaksanaan Prolegnas sebelumnya.
Oleh karena itu, desain ulang Prolegnas adalah suatu kebutuhan untuk memulai sebagian upaya memperbaiki kualitas proses maupun substansi (rancangan) undang-undang. Desain yang berlaku sekarang sebagaimana yang diatur UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundangan harus ditinjau ulang dan dipersiapkan revisi terbatas. Jika tidak, DPR dan Pemerintah hanya akan mengulang kesalahan tanpa upaya menuntaskan akar permasalahan.
Prolegnas RUU Prioritas 2013
Sebanyak 70 RUU telah ditetapkan masuk Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2013. Penetapan itu disahkan pada 13 Desember 2012 dalam sidang paripurna di DPR. Dari 70 RUU yang masuk dalam Prolegnas antara lain 31 RUU dalam tahap pembicaraan tingkat I. Kemudian 2 (dua) RUU dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), 25 RUU dalam tahap akhir penyusunan terdiri dari 19 RUU dari DPR dan 6 (enam) dari pemerintah. Kemudian, 5 (lima) RUU sedang disiapkan oleh DPR dan 7 (tujuh) RUU lainnya baru disiapkan oleh pemerintah.
Selain juga disepakati 5 (lima) RUU yang bersifat kumulatif terbuka. Kelima RUU bersifat kumulatif terbuka adalah daftar RUU kumulatif terbuka tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Kedua, daftar RUU kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, daftar RUU kumulatif terbuka tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Keempat, daftar RUU kumulatif terbuka tentang pembentukan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kelima, daftar RUU kumulatif terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU menjadi UU.
Dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2013 terdapat RUU yang menarik perhatian publik antara lain yaitu: RUU tentang Organisasi Masyarakat, RUU tentang Keamanan Nasional, RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP), RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), dan RUU tentang Perubahan Harga Rupiah. RUU itu menarik perhatian publik dengan berbagai alasan. Sebagai contoh, RUU Organisasi Masyarakat menarik perhatian publik dan juga melahirkan resistensi publik yang tinggi karena RUU Ormas berpotensi membatasi hak semua orang untuk berkumpul dan berorganisasi.
Rekomendasi Prolegnas RUU Prioritas 2013
Friksi antara kepentingan untuk memenuhi target kuantitas RUU Prioritas dan target kualitas dari proses substansi UU yang disahkan melahirkan permasalahan yang tidak jua terselesaikan selama ini di DPR. Sistem perencanaan legislasi melalui Prolegnas yang sekarang digunakan oleh DPR dan Pemerintah berpotensi besar menghasilkan kegagalan capaian dari aspek kuantitas. Dengan kata lain, Pemerintah maupun DPR masih terjebak dalam situasi yang menyebabkan mereka sulit lepas dari kegagalan mencapai target, khususnya prioritas tahunan. Penyebabnya adalah desain Prolegnas yang tidak memperkirakan kapasitas dan beban kerja kedua belah pihak. Visi, misi, arah kebijakan, dan skala prioritas seharusnya disusun dengan baik diawal pembentukan Prolegnas dalam tataran pelaksanaan sehingga kesalahan yang sama tidak terus menerus berulang.
DPR dan Pemerintah perlu memiliki daftar RUU mana saja yang memiliki tingkat urgensi yang paling tinggi sampai yang terendah. Daftar itu dapat menjadi panduan DPR dan Pemerintah untuk menentukan mana yang harus didahulukan dalam pembahasannya. Hal itu penting agar DPR tidak dan Pemerintah tidak berfokus pada kuantitas dan mengabaikan aspek kualitas. Selain itu, RUU itu juga sudah harus memiliki dokumen-dokumen pendukung yang lengkap sehingga pembahasan terarah dan tidak tertunda hanya karena menunggu persiapan dokumen. Hal itu juga akan meningkatkan kualitas dari UU yang disahkan kelak.
*tulisan ini pernah dimuat di Parlementaria Majalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Edisi 99 TH XLIII, 2013 dan terdapat beberapa perubahan
[1] Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 1 angka 9