Sumber Daya Alam: Berkah atau Kutukan?” merupakan tema diskusi yang berlangsung beberapa waktu yang lalu di Jakarta. Diskusi itu diselenggarakan oleh Melbourne Business School (MBS) bekerja sama dengan Center for the Study of Governance (CSG) Universitas Indonesia. Tema itu menjadi menarik bagi Indonesia karena dua hal. Pertama, struktur ekonomi Indonesia saat ini relatif masih bertumpu pada kegiatan-kegiatan eksploitasi sumber daya alam (industri ekstraktif). Kedua, situasi ekonomi global yang sedang melesu menyebabkan turunnya permintaan sumber daya alam secara signifikan, yang berimplikasi pada turunnya kinerja ekonomi Indonesia.
Pada diskusi tersebut, Mark Crosby—panelis dari MBS—menyebutkan beberapa faktor penyebab kegagalan pengurusan Sumber Daya Alam (SDA) yang menyebabkan kehancuran ekonomi negara, bahkan menciptakan disintegritas sosial pada negara itu. Dari tiga faktor yang disebutkan, salah satu faktor penyebab yang menarik untuk direfleksikan pada situasi saat ini adalah lemahnya institusi negara di dalam mengelola SDA yang dimiliki. Lemahnya institusi negara ditandai dengan tingginya praktik korupsi di dalam pengurusan sumber daya alam. Pemaparan itu menyebabkan kegelisahan mendalam kepada audiens Indonesia yang meyakini bahwa korupsi pada sektor sumber daya alam— salah satu faktor yang disebutkan—memang ada dan masif. Kegelisahaan itu seharusnya berlanjut pada pemikiran langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah mewujudnya kutukan SDA bagi perekonomian Indonesia dan membalikkannya menjadi keberkahan.
Transparansi Sebuah Langkah Awal
Pada 2013, Revenue Watch Institute (RWI) mengeluarkan Resource Governance Index (RGI), yaitu indeks pengelolaan transparansi dan akuntabilitas suatu negara dalam pengelolaan sumber daya alamnya (migas dan mineral). Pada RGI 2013, Indonesia menduduki peringkat 14 dari 58 negara dengan skor komposit 66 dari skor tertinggi 98 dan terendah 51; posisi itu satu tingkat di bawah Timor Leste. RGI mencakup empat indikator. Dari keempat indikator itu, Indonesia mendapat skor 66 dalam praktik pelaporan (reporting practices). Indikator praktik pelaporan merupakan gabungan dari indikator transparansi dalam hal jumlah cadangan, jumlah penghasilan, dan publikasi kontrak antara Pemerintah dan Perusahaan Migas. Walaupun tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia ada di posisi yang rendah dalam praktik pelaporan, satu elemen esensial dari keseluruhan keterbukaan indikator praktik pelaporan—yakni publikasi kontrak—Indonesia mendapatkan nilai 0. Apalagi, dibandingkan dengan Timor Leste yang mendapat skor 67 atau Australia (Australia Barat) yang mendapatkan nilai 100.
Publikasi kontrak merupakan hal yang esensial dalam transparansi pengelolaan SDA. Dalam Rekomendasi RGI 2013, RWI menekankan bahwa publikasi kontrak merupakan hal yang penting bagi terciptanya partisipasi masyarakat untuk melakukan evaluasi: apakah masyarakat mendapatkan posisi yang baik dalam pengelolaan SDA, yang sekaligus berfungsi sebagai instrumen kontrol bagi publik untuk mengawasi dan mengawal pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam kontrak itu. Ketertutupan dalam pelaksanaan urusan publik merupakan resep untuk menjamurnya praktik korupsi dalam pelaksanaan urusan tersebut. Dalam sektor pengelolaan SDA, dugaan bahwa praktik-praktik pelaksaaan pengelolaan SDA sudah didengar sejak lama, bahkan dijadikan pertimbangan oleh MK untuk menilai konstitusionalitas BP Migas pada 2012. Berselang kurang dari satu tahun sejak putusan MK itu, pertimbangan MK tersebut terkonfirmasi dengan tertangkapnya Rudi Rubiandini, Ketua SKK Migas (eks-BP Migas) oleh KPK.
Kerahasiaan yang Inkonstitusional
Salah satu argumentasi utama yang sering dimunculkan oleh birokrat dan perusahaan pengelola SDA pendukung kerahasiaan kontrak adalah kerahasiaan kontrak merupakan bagian dari rahasia dagang. Argumentasi itu tentu saja terdengar absurd dan tidak berdasar secara hukum jika kita memahami dasar utama pengelolaan Migas di Indonesia, yakni Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa kepemilikan SDA bukan merupakan kepemilikan privat, tetapi kepemilikan publik. Peran negara dan entitas usaha bertindak sebagai orang yang diamanatkan untuk melakukan pengurusan (trustee) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frase kemakmuran rakyat mengafirmasi bahwa penikmat akhir (final beneficiary) dari pengelolaan SDA adalah rakyat/publik.
Konstruksi yuridis tersebut diafirmasi dalam definisi kontrak sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan pengelolaan SDA bahwa kontrak pengelolaan SDA merupakan instrumen pengendali yang penyusunannya menitikberatkan pada keuntungan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsekuensi yuridis dari pengaturan yang demikian adalah munculnya kewajiban dari pengurus (birokrat negara/perusahaan) untuk memberikan informasi sejalas-jelasnya terhadap pelaksanaan pengurusan yang mereka lakukan di dalam pengurusan SDA kepada rakyat sebagai penikmat akhir dari keuntungan yang diperoleh dari pengurusan SDA. Kerahasian di dalam pengurusan SDA, termasuk di dalamnya Kontrak, bertentangan dengan konstitusi. Hal itu merupakan penyangkalan terhadap rakyat sebagai penikmat akhir. Rakyat berhak untuk memperoleh informasi terkait dengan pengurusan yang dilakukanoleh Pemerintah, termasuk di dalamnya mempublikasikan kontrak-kontrak yang disusun dalam pengusahaan SDA.
Situasi ketertutupan yang demikian tidak lagi dapat dipertahankan. Tertangkapnya Rudi Rubiandini tidak hanya menjadi pintu masuk bagi pembongkaran kasus-kasus dalam sektor SDA, tetapi juga merupakan momentum bagi pemegang amanah pengurusan Migas (pemerintah dan perusahaan) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam melakukan pengurusan SDA milik rakyat Indonesia. Bahkan, lebih dari itu, keterbukaan dan transparansi merupakan langkah awal sekaligus pilihan strategis untuk mencegah mewujudnya SDA Indonesia sebagai kutukan dan membalikkan arah pengurusan SDA Indonesia untuk menjadi berkah bagi seluruh rakyat Indonesia.
*Ditulis oleh: Giri Ahmad Taufik (Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia/PSHK)