Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5 diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, di Batusangkar, Sumatera Barat, pada 9-11 November 2018. Pada KNHTN 5 kali ini mengangkat tema tentang “Tantangan Menjaga Kedaulatan Rakyat dalam Pemilihan Umum”. Tema itu relevan dengan isu besar di Indonesia saat ini, yang akan menyelenggarakan Pemilihan Umum serentak pada 2019.
Turut hadir pada pelaksanaan KNHTN 5 peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi. Fajri hadir sebagai peserta call for paper, atau peserta yang mengirimkan artikel dan berhasil lolos seleksi dari panitia. Dalam makalahnya yang ditulis bersama Muhammad Nur Ramadhan, Fajri menulis tentang Analisa Yuridis Peran Partai Politik dalam Pemenuhan Hak Dipilih Penyandang Disabilitas.
Dalam makalahnya, Fajri membahas Pemilu dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Fajri mengangkat isu hak dipilih bagi penyandang disabilitas yang kerap terabaikan, dan melihat partai politik sebagai entitas yang dapat berperan untuk ikut menghilangkan diskriminasi tersebut. Pengabaian terhadap hak dipilih penyandang disabilitas disebabkan karena adanya hambatan dalam aksesibilitas dan masih adanya stigma ditengah masyarakat, sehingga menghalangi penyandang disabilitas untuk menduduk jabatan-jabatan publik. Selain itu, dari segi peraturan perundang-undangan, masih ada syarat bagi calon anggota legislatif yang diskriminatif bagi penyandang disabilitas dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu syarat dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis (Pasal 24 ayat (1) huruf d); serta syarat sehat jasmani dan rohani (Pasal 24 ayat (1) huruf h).
Upaya mendukung pemenuhan hak dipilih penyandang disabilitas dalam Pemilu melalui ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini masih bersifat pasif, yaitu pengaturan perihal keterbukaan kesempatan dengan Pasal yang menjamin adanya hak untuk mencalonkan diri. Namun ketentuan itu tidak disertai dengan serangkaian tugas yang diwajibkan kepada berbagai aktor dalam Pemilu, terutama partai politik. Melalui makalahnya, Fajri mendorong adanya 3 kewajban yang harus dicantumkan dalam UU Pemilu kedepan yang diberikan kepada partai politik. Adapun tiga hal itu adalah pemenuhan aksesibilitas, pelaksanaan edukasi terkait dengan isu disabilitas di internal maupun kepada masyarakat, dan melaksanakan kebijakan afirmasi (affirmative action).
Dalam makalahnya, Fajri menggagas agar kebijakan afirmasi bagi penyandang disabilitas dapat melihat pada kesuksesan kebijakan yang sama untuk mendorong partisipasi kelompok Perempuan di Parlemen. Kebijakan afirmasi bagi kelompok perempuan identik dengan quota sebesar 30%. Hal yang sama dapat diterapkan kepada kelompok penyandang disabilitas, tetapi dengan persentase yang menyesuaikan dengan jumlah penyandang disabilitas dbandingkan dengan kelompok perempuan. Berdasarkan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 disebutkan bahwa jumlah perempuan dalam pendudukan Indonesia adalah sebesar 49,73%, sedangkan jumlah penyandang disabilitas adalah 8,56%. Oleh karena itu, apabila dengan 49,73% ada 30% quota Perempuan, maka dengan perbandingan yang sama, pada 8,56% diusulkan untuk menerapkan quota sebanyak 5,16% (atau sekitar 5%-6%) bagi penyandang disabilitas. Quota itu diwajibkan untuk dipenuhi oleh partai politik dalam hal pendirian dan pembentukan partai politik; kepengurusan partai politik; dan pencalonan anggota legislatif.
Quota tersebut tidak akan memberatkan partai politik. Apabila disandingkan dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kab/kota, partai politik hanya perlu menyediakan 1.020 orang calon anggota legislatif (575 kursi DPR, 2207 kursi DPRD Provinsi, dan 17.610 kursi DPRD kab/kota). Jumlah itu hanya 0,005% dari jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, yang mencapai sekitar 21 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk penyandang disabilitas yang besar juga menjadi potensi suara bagi partai politik yang memiliki perhatian terhadap isu disabilitas. Upaya ini harus terus disuarakan dan didorong dalam kesempatan pengambilan kebijakan kedepan, terutama dalam konteks penyempurnaan dari UU Pemilu.