Dasar Filosofis
Pada dasarnya partisipasi masyarakat bukanlah suatu konsep yang baku. Ia hanya a means to an end, jadi bukan tujuan akhir itu sendiri [1] . Tujuan sebenarnya adalah ‘pengaruh yang berarti’ terhadap proses pemerintahan dalam arti luas (mulai dari pengambilan kebijakan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi kebijakan) terutama yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya publik.
Oleh karenanya, pola partisipasi sangat bervariasi, tergantung pada situasi dan kondisi di suatu tempat dan konteks yang menyertainya. Walaupun demikian konsep yang berkembang sejak 1960an ini banyak didasarkan pada perdebatan seputar seberapa jauh partisipasi publik harus dilakukan, bagaimana teknis yang tepat untuk melakukannya, dan seberapa jauh jaminan terhadap substansi yang berasal dari proses partisipasi harus tersedia.
Dalam konsep participatory democracy dinyatakan bahwa manusia pada hakekatnya mampu menyelaraskan kepentingan pribadinya dengan kepentingan sosial. Penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan ruang bagi pemangku kepentingan untuk berperan serta di dalamnya, dapat menghantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mencapai saling pengertian dan penghayatan terhadap kepentingan mereka satu sama lain. Pada akhirnya, perbedaan kepentingan dapat dijembatani.[2]
Perkembangan yang terkini dari gagasan tentang demokrasi yang partisipatif bahkan telah merambat ke arah yang lebih “memberdayakan.” Bila dalam konsep yang terdahulu seluruh komponen masyarakat dianggap memiliki kapasitas dan peluang yang sama dalam berpartisipasi, maka perkembangan yang kemudian sadar bahwa hal tersebut juga “berpeluang” menghambat tujuan dari partisipasi itu sendiri. Kesamaan kesempatan yang hirau pada perbedaan karakter dasar kelompok-kelompok dalam masyarakat, mengakibatkan hanya kelompok-kelompok yang memiliki kapasitas dan akses yang besar dalam sumber daya ekonomi-politik sajalah yang menikmati kondisi tersebut. Sedangkan kelompok yang rentan bukan saja tidak bisa menikmati, bahkan tidak jarang justru makin terpuruk. Padahal merekalah yang justru harusnya paling dilindungi karena sifat kerentanannya tersebut. Oleh karenanya munculah gagasan segar mengenaiempowered deliberative democracy, sistem demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara genuine yang sekaligus bertujuan langsung untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang rentan secara politik, ekonomi dan sosial.[3]
Persoalan Partisipasi di Negara Transisi
Dalam konteks negara transisi demokrasi seperti Indonesia, ada dua persoalan utama yang muncul dalam upaya menerapkan partisipasi publik yaitu: (1) menentukan model dan proses pelibatan yang cocok dengan kebijakan yang akan diambil; dan (2) menentukan siapa/lembaga apa yang perlu dilibatkan.
Persoalan pertama akan terkait dengan definisi dan tata cara pelibatan masyarakat dan stakeholders (pemangku kepentingan terkait). Sebut saja contohnya ketiadaan parameter yang menjustifikasi mengapa sebuah rapat (atau pertemuan membahas rancangan peraturan perundang-undangan misalkan) dinyatakan terbuka sementara rapat lainnya tidak. Atau efektivitas saluran dan mekanisme partisipasi yang ada selama ini yang lebih sering bersifat formalitas.
Sedangkan persoalan kedua umumnya baru terasa jika proses partisipasi sudah dijalankan. Hal ini akan sangat terkait dengan penentuan keterwakilan masyarakat, apalagi pada tingkatan tertentu partisipasi juga sangat terkait dengan keahlian. Dari permasalahan utama di atas, akan muncul masalah ikutannya seperti: (1) masalah identifikasi yang sering kurang tepat sasaran; (2) masalah waktu yang dibutuhkan (cenderung panjang); (3) dana yang diperlukan untuk menjalankan proses (terkait masalah anggaran); dan (4) keterbatasan sumber daya manusia yang dapat memfasilitasi dan mengawali proses ini.
Partisipasi publik dalam proses legislasi mencakup 3 (tiga) hal pokok yaitu:
- Hak dan tindakan masyarakat menyampaikan aspirasi terhadap DPR terkait dengan proses penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibuat, dengan tujuannya adalah mempengaruhi proses legislasi;
- Akses yang berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena legislasi, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan yang pro masyarakat marjinal. Ada dua hal penting dalam akses yaitu keterlibatan secara terbuka dan keikutsertaan. Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Keterlibatan menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan keikutsertaan berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan lain-lain; dan
- Kontrol warga masyarakat terhadap proses politik yang bersinggungan dengan proses legislasi, termasuk di dalamnya secara terus menerus memantau sekaligus mengawal pengelolaan aspirasi masyarakat oleh DPR.
Pihak-pihak yang dimaksud sebagai pemangku kepentingan adalah:
- Aktor atau kelompok yang berperan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada sebuah organisasi atau pada kebijakan tertentu;
- Mereka memiliki kepentingan dan posisi dalam sebuah kebijakan atau isu tertentu; dan
- Mereka memiliki sumber daya.
Sedangan proses analisis pemangku kepentingan sendiri dimaksudkan untuk mengetahui dan menilai:
- Kepentingan merekaterhadap kebijakan baru, apa saja manfaat dan kerugiannya buat mereka;
- Posisi mereka terhadap kebijakan baru, mendukung atau menentangnya;
- Sumber daya yang siap mereka gunakan untuk mendukung atau menentang kebijakan baru; dan
- Kemampuan mereka memobilisasi sumber daya tersebut.
Selain konteks di atas, bila kita elaborasi lebih jauh, akan terlihat bahwa ada berbagai alasan lain yang juga legitimate bagi partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:[4]
- Alasan praktis.Wawasan dan penguasaan pengetahuan dari penentu kebijakan (eksekutif dan legislatif) terbatas, sehingga pelibatan masyarakat sangat diperlukan bagi kesempurnaan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
- Alasan efektifitas pelaksanaan.Alasan ini dilandasi oleh suatu asumsi bahwa semakin eksklusif proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan maka semakin kecil dukungan yang didapat dari masyarakat. Namun sebaliknya, semakin terlibat masyarakat dalam prosesnya maka semakin tinggi rasa memiliki serta dukungan masyarakat terhadap suatu kebijakan, sehingga lebih mendorong efektifitas pelaksanaan atau penegakannya.
- Alasan kepentingan pendidikan politik.Alasan ini didasarkan kepada suatu asumsi bahwa penyebarluasan informasi yang menjadi isi dari suatu rancangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat merupakan proses pendidikan politik yang efektif. Dikarenakan pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan merupakan suatu tradisi baru (yang ingin dikembangkan di Indonesia), maka elit politik sebaiknya jangan terlampau cepat berharap bahwa masyarakat mampu memberi masukan (input) yang berarti, namun seringkali tanpa kita sadari, penyebarluasan informasi dan peluang mereka untuk terlibat merupakan proses pendidikan politik masyarakat yang sangat baik.
- Alasan pengawasan. Alasan ini dilandasi oleh suatu kondisi di Indonesia bahwa pembuatan suatu peraturan perundang-undangan berpotensi sebagai lahan korupsi dan kolusi yang sangat subur. Berbagai pihak menginginkan agar kepentingannya diakomodasikan dalam rancangan peraturan perundang-undangan melalui segala cara termasuk pemberian imbalan dalam bentuk uang. Apabila prosesnya dibangun secara terbuka dan masyarakat luas dimungkinkan untuk terlibat, maka korupsi dan kolusi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat diminimalisir.[6]
- Alasan untuk meminimalisir konflik.Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan seringkali terjadi konflik karena adanya perbedaan-perbedaan baik yang sifatnya subtansial maupun sifatnya artificial seperti perbedaan informasi, perbedaan pengertian, dll. Partisipasi yang baik menyebabkan hal ini dapat diminimalisir sebab dalam proses partisipasi maka keterbukaan informasi memegang peranan penting. Demikian juga halnya dengan keberadaan pihak yang jelas untuk melakukan klarifikasi secara aktif maupun pasif.
Identifikasi Pemangku Kepentingan
Pengklasifikasian RUU juga penting untuk mengidentifikasi siapa saja pemangku kepentingan dari RUU yang bersangkutan. Meski UU No 12 Tahun 2011 mengatur bahwa keharusan menyediakan akses yang mudah bagi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis terhadap setiap rancangan peraturan perundang-undangan, tetapi bagaimana menyelenggarakan mekanisme partisipasi publik yang cocok dan memenuhi keinginan masyarakat itu sulit. Karena masyarakat di Indonesia ada ratusan juta jiwa, siapa yang bisa dan seharusnya didengar dari masyarakat itu? Logikanya hanya mereka yang terkait dengan materi RUU tertentu. Di sinilah identifikasi pemangku kepentingan suatu RUU menjadi penting.
Identifikasi pemangku kepentingan yang lebih luas menjadi tantangan tersendiri dalam pembahasan RUU tertentu. Karena biasanya baik DPR maupun Pemerintah sudah terpaku pada metode klasifikasi pemangku kepentingan yang sederhana, yaitu melibatkan akademisi dan praktisi.
Tidak adanya acuan dalam mengidentifikasi pemangku kepentingan suatu RUU dipandang sebagai masalah, karena bisa saja pihak yang diundang (misalkan dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU) tidak jelas keterkaitannya. Atau sebaliknya, ada pihak yang dianggap relevan dan berperan dalam penegakan suatu RUU justru tidak dilibatkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU tersebut. Apalagi, ketika kita berbicara sumber daya yang diperlukan ternyata tidak mendukung efektivitas pelaksanaan undang-undang.
Sebagai contoh, pihak kepolisian saat ini mengalami kesulitan dalam menerapkan kurang lebih 70 produk perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana yang disebabkan tidak adanya hukum acara yang memadai. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ada sifatnya sangat kaku. Akhirnya semangat dari undang-undang yang dibuat tidak mencapai sasaran karena tidak ada aturan acara pidana. Akhirnya upaya penyidikan yang sedemikian rumit menjadi sia-sia belaka.
Jika kita kaitkan dengan proses legislasi, keluh kesah institusi kepolisian seharusnya tidak perlu terjadi apabila kepolisian sendiri dilibatkan dalam pembicaraan saat membahas suatu RUU terutama ketika merumuskan ketentuan pidana. Dalam artian, DPR melakukan konfirmasi dan pendalaman terhadap sumber daya kepolisian, sehingga akan diperoleh deskripsi tentang kemampuan dan kesiapan aparat penegak hukum dari kepolisian dalam mengimplementasikan peraturan perundang-undangan khususnya menyangkut ketentuan pidana.
Bisa saja persoalannya bukan terletak pada mampu tidaknya pihak kepolisian namun lebih kepada kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan perlunya sosialisasi dalam jangka waktu tertentu agar aparat memperoleh pemahaman yang utuh terhadap isi undang-undang. Kasus berupa kekeliruan penerapan undang-undang saat penangkapan tiga orang penari telanjang di daerah Jakarta Barat pada awal Desember 2008 (dengan menggunakan Pasal 82 UU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi, padahal undang-undang yang berlaku adalah UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang memuat ketentuan tidak lebih dari 45 pasal), merupakan contoh konkret betapa masih berjaraknya pemahaman aparat di lapangan dengan proses legislasi dan sosialisasi.
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat termasuk pula keterlibatan pemangku kepentingan dan lembaga pelaksana undang-undang secara tidak langsung merupakan prasyarat untuk mengetahui tingkat efektifitas pelaksanaan undang-undang. Proses pembahasan yang partisipatif akan menginformasikan kepada para pembuat kebijakan (DPR dan Pemerintah) hal-hal apa saja yang dibutuhkan sekaligus potensi permasalahan yang bisa saja timbul dari dikeluarkannya produk peraturan perundang-undangan. Kuncinya, memperluas jangkauan partisipasi sama sekali tidak berkehendak memperumit proses legislasi namun menghadirkan keterwakilan para pihak yang diharapkan dapat berkontribusi maksimal dalam menerapkan maksud dan tujuan dibuatnya suatu aturan.
—————————————————-
- Lihat juga Mas Achmad Santosa, Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 48-49.
- Mas Achmad Santosa dan Arimbi HP, “Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan”, (Jakarta: WALHI dan YLBHI, 1993).
- Lihat pembahasannya lebih jauh dalam Archon Fung and Erik Olin Wright, “Experiments in Empowered Deliberative Democracy Introduction,” (June 1999),http://www.ssc.wisc.edu/~wright/ deliberative.html
- Mas Achmad Santosa, “Akseptabilitas Sosial sebagai faktor Penentu Kualitas Peraturan Perundang-undangan,” dalamGood Governance dan Hukum Lingkungan, cit.
- Lihat juga Ann Seidman, ibid. hlm. 430-470, perilaku korupsi dapat terjadi akibat diskresi yang luas, tanpa disertai akuntabilitas, besarnya kerahasiaan yg tidak perlu, dan minimalnya peran serta masyarakat dalam pembuatan kebijakan/peraturan.