Dibukanya “kran” pembahasan RUU di luar Prolegnas menjadikan perencanaan Prolegnas yang telah tersusun menjadi tidak terukur. Semestinya perencanaan Prolegnas berkaca dari perencanaan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) agars selaras (sinkron).
Sesuai UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membolehkan DPR, Pemerintah, dan DPD mengajukan RUU) di luar daftar Proglegnas baik jangka panjang (lima tahunan) maupun tahunan. Namun, pengajuan RUU di luar Prolegnas ini harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur Pasal 23 UU Perubahan Pembentukan Peraturan itu.
Kepala Pusat Perancangan Perundang-Undangan Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengakui selama ini membolehkan pengajuan RUU selain yang sudah ditentukan dalam daftar Prolegnas. Dalam praktik hal ini disebut RUU Kumulatif Terbuka yang biasanya karena ada amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau ada kebutuhan yang mendesak.
Dia menerangkan ketika ada amanat tindak lanjut putusan MK terkait revisi atau pembuatan UU tertentu, dimungkinkan DPR, pemerintah, ataupun DPD mengajukan perubahan RUU penyesuaian. Seperti Revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang belum lama ini disahkan DPR terkait batas usia pernikahan; RUU Sumber Daya Air yang belum lama ini disahkan menjadi UU sebagaimana perintah putusan MK; RUU Perkoperasian telah rampung di pembahasan tingkat pertama.
“Atau ketika ada ratifikasi perjanjian internasional (tindak lanjutnya dituangkan dalam UU, red), atau ada kebutuhan mendesak,” ujarnya.
Ketika ada perintah putusan MK yang mengamanatkan dibuatnya sebuah RUU tertentu, DPR dapat segera membuat naskah akademik dan memasukan draf RUU dalam Prolegnas. Terlebih, jika ada agenda DPR yang khusus membahas penetapan Prolegnas, ketika ada RUU yang dianggap mendesak, dapat otomatis masuk tanpa perlu ditetapkan dalam Prolegnas baru. “Jadi otomatis,” imbuhnya.
Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. |
Peneliti Indonesia Parlemen Center (IPC) Muhammad Ichsan menilai pengajuan RUU di luar Prolegnas bukanlah pelanggaran. Kewenangan tersebut telah diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Peraturan DPR No.1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Hanya saja, menurutnya pengajuan RUU di luar Prolegnas harus memenuhi syarat.
Pertama, adanya urgensi dan tujuan penyusunan. Kedua, sasaran yang ingin diwujudkan. Ketiga, pokok pikiran, lingkup dan objek yang bakal diatur. Keempat, jangkauan dan arah pengaturan. “Tetapi persyaratan tersebut harus dituangkan dalam naskah akademik,” ujarnya.
Baginya, praktik pengajuan RUU di luar Prolegnas telah dilakukan DPR periode 2014-2019. Misalnya, UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) yang direvisi sebanyak dua kali yang sebelumnya di luar dari daftar Prolegnas. Namun sayangnya, penelurusan terhadap kedua naskah akademik revisi dua kali UU MD3 tak ditemukan di laman website DPR.
Yang terpenting, dia menyoroti pengajuan RUU di luar Prolegnas terdapat syarat “keadaan tertentu lainnya”. Menurutnya, frasa “keadaan tertentu lainnya” perlu ada parameter dan tafsir yang jelas, sehingga tidak menimbulkan multitafsir. “Kami tidak mampu menafsirkan keadaan tertentu,” ujarnya.
Inkosistensi perencanaan
Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai adanya peluang DPR dan pemerintah mengajukan RUU di luar Prolegnas menunjukan ketidakyakinan legislator terhadap perencanaan legislasi yang disusunnya sendiri.
Menurutnya, Pasal 23 ayat (2) UU 15/2019 berdampak inkonsistensi perencanaan program legislasi. “Dalam hal ini, Prolegnas tidak dapat menjadi pedoman dalam melihat politik legislasi dalam lima tahun ke depan,” ujarnya.
Sholikin yang pernah menjabat Direktur Eksekutif PSHK periode 2015-2019 ini berpendapat adanya Prolegnas menuntut agar perencanaan legislasi menjadi lebih terukur dan terprogram. Namun dengan dibukanya “kran” pembahasan RUU di luar Prolegnas menjadikan perencanaan Prolegnas yang telah tersusun menjadi tidak terukur.
Inkonsistensi perencanaan legislasi program penyusunan Peraturan Pemerintah
Tahun program penyusunan | Jumlah RPP dalam program penyusunan | Realisasi sesuai rencana program penyusunan | Realisasi di luar rencana program penyusunan |
2014 | 80 | 18 | 83 |
2015 | 151 | 19 | 123 |
2016 | 196 | 35 | 64 |
2017 | 89 | 3 | 63 |
2018 | 43 | 3 | 45 |
Inkonsistensi perencaan legislasi program penyusunan Peraturan Presiden
Tahun program penyusunan | Jumlah Ranperpres dalam program penyusunan | Realiasi sesuai rencana program penyusunan | Realiasi di luar rencana program penyusunan |
2014 | 22 | 11 | 179 |
2015 | 92 | 14 | 158 |
2016 | 91 | 2 | 123 |
2017 | 54 | 4 | 133 |
2018 | 30 | 3 | 124 |
Sumber: PSHK
Menurutnya, semestinya perencanaan Prolegnas berkaca dari perencanaan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) melalui program penyusunan peraturan yang dibuat pemerintah. Namun, faktanya setiap tahunnya penyusunan PP dan Perpres yang dibuat jauh lebih banyak di luar perencanaan.
“Walaupun dari sisi jumlah bisa jadi berbeda antara perencanaan UU dengan PP dan Perpresnya, tapi pola (penyusunannya) bisa sama (diselaraskan, red). Ketika dibuka di luar prolegnas, maka perencanaan legislasi menjadi buruk,” katanya.
Artikel ini telah tayang di hukumonline.com dengan judul “Pengajuan RUU di Luar Prolegnas Butuh Parameter yang Jelas”
Penulis: Rofiq Hidayat