Usai dilantik, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan gagasannya untuk mengeluarkan omnibus law atau satu undang-undang (UU) baru yang akan merevisi sejumlah UU yang sudah ada guna memangkas hambatan regulasi.
Jokowi berencana akan mengeluarkan dua omnibus law atau UU sapu jagat terkait aturan penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) guna meningkatkan daya saing dan mendorong investasi di Indonesia.
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, UU sapu jagat dipakai menyelesaikan kerumitan regulasi yang banyak dan tumpang tindih.
Cara yang mereka lakukan biasanya dengan menyusun satu undang-undang sebagai UU sapu jagat untuk mengatur multi sektor. UU sapu jagat dapat mengubah atau mencabut sejumlah undang-undang lain yang bertentangan. Karakteristik ini yang dipandang tepat diterapkan di negara yang kebanyakan regulasi (hiper regulasi).
Namun, apakah pendekatan ini mampu menyelesaikan kendala regulasi di Indonesia?
Hiper regulasi dan ego sektoral
Kualitas dan jumlah regulasi Indonesia memang bermasalah.
Indeks kualitas regulasi yang menunjukkan kemampuan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan peraturan yang mendorong pengembangan sektor swasta yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa skor Indonesia selalu di bawah nol atau minus dari 1996 hingga 2017.
Indeks terakhir pada 2017 menunjukkan angka -0,11. Indeks paling tinggi adalah 2,5 menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Paling rendah -2,5 yang menunjukkan kualitas regulasi buruk. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Selain kualitasnya yang buruk, regulasi Indonesia juga terlalu banyak.
Data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menunjukkan bahwa produksi peraturan perundang-undangan masih tinggi. Selama tahun 2014 sampai Oktober 2018 diterbitkan 107 undang-undang, 452 peraturan pemerintah, 765 peraturan presiden dan 7.621 peraturan menteri.
Banyaknya regulasi tersebut diperparah dengan adanya peraturan yang tidak harmonis, tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan, dan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi yang baik.
Regulasi yang banyak dan tidak harmonis hadir akibat ego sektoral di setiap kementerian dan lembaga negara. Masing-masing menyusun peraturan tanpa ada komunikasi intensif untuk harmonisasi dan sinkronisasi. Akibatnya peraturan di tingkat teknis dibentuk sesuai keinginan tiap instansi. Kondisi yang sama juga terjadi dalam pelaksanaan program pemerintah.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2018 menunjukkan bahwa regulasi tumpang tindih dan ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar lambatnya pertumbuhan ekonomi. Penanganannya harus segera dilakukan. Apabila tidak, maka pertumbuhan ekonomi terus melambat.
Setelah meminta kementerian, badan, dan lembaga negara untuk menghilangkan ego sektoral pada pidato Sidang Tahunan MPR 16 Agustus 2019, Jokowi pun berinisiatif membentuk UU sapu jagat untuk mengatasi regulasi yang tumpang tindih.
Konsep UU sapu jagat masih relatif baru dalam diskursus perundang-undangan Indonesia dan belum pernah dipraktikkan. Istilah ini pun baru akrab di Indonesia beberapa tahun belakangan sebagai salah satu resep menyelesaikan regulasi tumpang tindih yang menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tapi tanpa melakukan perbaikan birokrasi, pembentukan UU sapu jagat untuk menyelesaikan kendala regulasi tak akan efektif. Menghilangkan ego sektoral harus dilakukan dalam satu rangkaian reformasi birokrasi.
Eksklusivitas UU Sapu Jagat
Karakteristik UU sapu jagat ini merevisi puluhan UU dengan satu UU yang mengatur banyak sektor. Artinya kehadirannya berpengaruh pada keberadaan UU yang lain.
Misal, rencana pembentukan undang-undang pemberdayaan UMKM dengan pendekatan UU sapu jagat akan berpengaruh setidaknya pada aturan UMKM yang sudah ada, seperti UU Perseroan Terbatas, Koperasi, Ekonomi kreatif dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada rencana pembentukan UU penciptaan lapangan kerja.
Ruang lingkup yang luas dan lintas sektoral ini memberikan kedudukan eksklusif bagi UU sapu jagat dalam sistem perundang-undangan.
Eksklusifitas ini bisa menyebabkan UU sapu jagat sebagai cara praktis penguasa memaksakan pengaturan yang diinginkan dengan satu UU saja. Risikonya adalah pengabaian hak-hak publik.
Apalagi jika UU sapu jagat saat ini didorong oleh pemerintah untuk perbaikan iklim investasi. Bisa saja pemerintah menggunakan dalih iklim investasi untuk membenarkan setiap keputusannya meskipun mengabaikan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, proses penegakan hukum, antikorupsi, nilai-nilai akuntabilitas, dan transparansi.
Oleh karena itu, meskipun pembentukan UU sapu jagat tidak dilarang dalam dalam sistem perundang-undangan Indonesia, proses menyusunnya harus sangat hati-hati agar tidak disalahgunakan.
Strategi
Berikut adalah lima langkah yang harus dilakukan pemerintah agar memastikan UU sapu jagat bisa efektif dan tidak disalahgunakan.
Pertama, dan paling utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah harus melibatkan publik dalam setiap tahapan penyusunannya. Luasnya ruang lingkup UU sapu jagat menuntut pihak pembuat UU menjangkau dan melibatkan lebih banyak pemangku kepetingan yang terkait.
Kedua, DPR dan pemerintah harus transparan dalam memberikan setiap informasi perkembangan proses perumusan UU sapu jagat ini. Partisipasi dan transparansi ini yang mutlak diperbaiki berkaca dari proses legislasi yang menimbulkan kontroversi belakangan seperti perumusan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketiga, penyusun harus memetakan regulasi yang berkaitan secara rinci.
Keempat, penyusun harus ketat melakukan harmonisasi baik secara vertikal dengan peraturan yang lebih tinggi maupun horizontal dengan peraturan yang sederajat.
Kelima, penyusun harus melakukan preview sebelum disahkan. Preview ini diprioritaskan untuk menilai dampak yang akan timbul dari UU yang akan disahkan.
Lima langkah tersebut harus dipenuhi para pembuat UU dalam penyusunan UU sapu jagat. Jika prinsip transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas tidak dipenuhi dalam penyusunan UU sapu jagat maka berpotensi memunculkan permasalahan baru seperti penolakan publik, substansi aturan yang mengingkari hak publik, hingga permasalahan implementasi.
Proses formal pembentukan UU sapu jagat dengan mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, dan akutabilitas perlu segera diatur melalui revisi kembali UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan UU sapu jagat oleh penguasa.
Selain itu, dalam konteks Indonesia, penerapan UU sapu jagat harus pararel dengan perbaikan tata kelola birokrasi, terutama dalam menghilangkan ego sektoral. Apabila tidak dilakukan, pendekatan UU sapu jagat akan menjadi sia-sia. Alih-alih menyembuhkan hiper regulasi di Indonesia, bisa jadi UU sapu jagat ini malah menjadi resep yang mematikan.
Artikel ini telah dimuat pada theconversation.com dengan judul “Mengapa kita harus berhati-hati dengan rencana Jokowi mengeluarkan omnibus law” pada 31 Oktober 2019
Penulis: M. Nur Sholikin
Photo: Shutterstock.com