Sebelum tahun 2019 berakhir, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan 248 Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024. Jumlah ini terbilang ambisius. Periode sebelumnya pemerintah dan DPR hanya mampu menyelesaikan 91 undang-undang (UU) dari target 189 RUU.
Jumlah RUU dalam prolegnas ini sekitar 31% lebih banyak dari Prolegnas periode lalu. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga mencatat RUU sektor perekonomian dan investasi mendominasi, yakni 87 RUU (35%). Disusul RUU bidang politik, hukum, dan keamanan 73 RUU (29%); bidang pembangunan manusia dan kebudayaan sebanyak 64 RUU (26%); dan bidang kemaritiman sebanyak 24 RUU (10%). Komposisi ini hampir sama dengan komposisi Prolegnas 2015-2019.
Bahkan, tiga RUU sektor perekonomian dan investasi seperti RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mendapat jalur prioritas melalui omnibus law. Tiga RUU ini dikabarkan dikebut penyelesaiannya pada Januari hingga Maret 2020.
Tidak mengherankan regulasi sektor perekonomian paling dominan karena memang Presiden “Joko Widodo” meletakkan fokus pada percepatan ekonomi dan investasi untuk periode kedua pemerintahannya.
Namun jumlah RUU dalam Prolegnas yang banyak itu tidak sejalan dengan tujuan pengurangan jumlah regulasi (deregulasi) yang juga menjadi prioritas pemerintah. Apalagi, dari 248 RUU, pemerintah menjadi penyumbang terbesar kedua dengan total 86 RUU, disusul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 51 RUU, dan yang terbanyak adalah DPR dengan 179 RUU.
Masih ada peluang untuk mengurangi jumlah RUU tersebut lewat evaluasi terhadap Prolegnas yang umumnya dilakukan pada bulan Juni-Juli setiap tahunnya melalui sidang paripurna DPR.
DPR bisa mengurangi regulasi dengan memastikan bahwa satu UU baru harus menggantikan setidaknya dua UU lama. Selain itu para anggota DPR harus memastikan UU mengatur hal yang layak diatur di level undang-undang. Para pembuat UU juga perlu menyatukan UU yang serupa.
Butuh mengurangi
Seperti diketahui, dalam banyak kesempatan Jokowi menginstruksikan perlu dilakukan upaya pengurangan regulasi di Indonesia karena jumlahnya sudah terlalu banyak.
Menurut Jokowi sendiri, jumlah yang terlalu banyak itu membuat rumit hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah.
Data PSHK menunjukkan bahwa dari 2014 hingga November 2019 telah terbit 10.180 regulasi, berupa 131 Undang-Undang (UU), 526 Peraturan Pemerintah (PP), 839 Peraturan Presiden (perpres) dan 8.684 Peraturan Menteri (permen). Banyak regulasi yang saling tumpang tindih dan menghambat akses layanan publik, serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Saya pernah mencontohkan bahwa regulasi terkait memulai usaha saja begitu banyak. Untuk proses pra pendaftaran saja diatur oleh 9 UU, 2 PP, 4 perpres, dan 20 permen; peraturan untuk proses pasca pendaftaran ada 1 UU, 5 PP, 1 perpres, dan 8 permen.
Demikian banyak biaya, waktu, dan prosedur yang harus dilalui untuk memulai sebuah usaha di negara ini, sehingga negara lain menilai rendah kemampuan pemerintah Indonesia dalam membentuk dan mengimplementasikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong pembangunan sektor usaha.
Indeks dari Bank Dunia yang mengukur kemampuan tersebut memperlihatkan skor mutu regulasi Indonesia dari tahun 1996 hingga 2017 selalu berada di bawah 0 (dari skala -2,5 hingga 2,5). Bahkan di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2017, Indonesia hanya menempati posisi kelima dengan skor -0,11. Teringgal jauh dari Singapura yang memiliki skor 2,12 di peringkat pertama.
Cara mengurangi
Pemerintah harus konsisten dengan niat deregulasi. Dalam pandangan saya, beberapa cara berikut dapat ditempuh.
Pertama, kurangi jumlah RUU di Prolegnas 2020-2024 dan alihkan fokus untuk memperbaiki mutu UU agar efektif dalam implementasi. Hasil pantauan PSHK selama lima tahun terakhir, pemerintah bersama DPR rata-rata hanya mampu menyelesaikan 20 UU setiap tahunnya.
Kedua, terapkan prinsip one-in-two-out. Pemerintah harus bisa memulai perencanaan regulasi dengan cara membuat satu UU dengan mencabut dua atau lebih UU terkait. Selama ini, UU selalu diproduksi tanpa mengevaluasi peraturan yang hadir sebelumnya, baik UU serupa ataupun yang materinya menjadi bagian dari UU tersebut.
Ke depan, perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi terhadap UU terkait. Asas lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) harus dipraktikkan.
Ketiga, pastikan materi yang diatur layak dicantumkan di level undang-undang. Salah satu penyebab terlalu banyak perundang-undangan di Indonesia adalah banyak materi yang seharusnya tidak diatur di tingkatan UU tapi justru diatur di UU.
Sebagai contoh, UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; UU No. 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun; dan masih banyak lagi yang sebenarnya tidak patut diatur pada level undang-undang.
Terkait penanganan fakir miskin, misalnya, yang merupakan pelaksanaan tugas pemerintah sebagai amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial, seharusnya bisa diatur di level PP atau Perpres. Perihal rumah susun telah diatur UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukinan, sehingga pengaturan rumah susun harusnya berada pada level PP karena itu adalah bagian pelaksanaan tugas pemerintah dari UU Perumahan dan Permukiman tersebut.
Di Prolegnas 2020-2024 masih banyak ditemui kasus serupa, misalnya, RUU tentang Radio Televisi Republik Indonesia. Padahal telah ada UU No. 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran. Sehingga perihal radio harusnya bisa diakomodir di level PP bahkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika sekalipun.
RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak, misalnya juga, telah didahului oleh UU No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yang seharusnya bisa dirujuk dan kemudian perihal kesejahteraan ibu dan anak bisa diatur di dalam PP. Masih banyak lagi RUU yang seharusnya tidak menjadi materi undang-undang.
Keempat, gunakan metode kodifikasi (penyatuan) untuk beberapa undang-undang yang materinya hampir sama, satu isu, atau sektor pengaturannya yang relatif serupa.
Metode ini sudah dipraktikkan dalam isu kepemiluan yang menggabungkan UU Pemilu Presiden, UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, dan UU Penyelenggara Pemilu ke dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain membuat regulasi lebih tertata, metode ini juga efektif untuk tujuan menyederhanakan regulasi.
Kelima, pola pikir yang ada di kementerian dan lembaga untuk mengatur segala hal harus diubah karena ini mengakibatkan regulasi menjadi bertumpuk. Prinsip “segala sesuatu dibolehkan, kecuali yang dilarang” bisa digunakan agar mengurangi upaya membentuk UU untuk mengatur segala sesuatu.
Artikel ini telah tayang di theconversation.com/ dengan judul “Banyaknya RUU dalam Prolegnas 2020-2024 tidak konsisten dengan niat deregulasi Pemerintah. Ini cara menguranginya”, https://theconversation.com/banyaknya-ruu-dalam-prolegnas-2020-2024-tidak-konsisten-dengan-niat-deregulasi-pemerintah-ini-cara-menguranginya-129712.
Penulis : Agil Oktaryal
Photo : theconversation.com