Pernyataan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) terkait Status Darurat Kesehatan Nasional
Jakarta (29/3/2020). Hingga Sabtu (28/3), pemerintah telah mengumumkan total kasus positif Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia sudah lebih dari 1000 kasus yang tersebar di 28 provinsi dan lebih 100 orang dinyatakan meninggal dunia. Dengan angka ini, tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) di Indonesia menjadi lebih dari 8% atau masuk lima besar tertinggi di dunia. Sementara itu, rata-rata CFR dunia sebagaimana dilansir oleh Universitas John Hopkins 4,4%. Artinya, darurat kesehatan di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. WHO dalam pertemuan G20 menyarankan agar para pemimpin dunia melakukan lebih banyak untuk menahan laju COVID-19. Senada dengan anjuran WHO, Dewan Guru Besar FKUI sudah menyampaikan rekomendasinya agar Pemerintah Indonesia menjalankan lockdown wilayah untuk mencegah penularan COVID-19 lebih luas.
Beberapa keputusan teknis dan himbauan untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah; termasuk himbauan tidak keluar dan berpindah ke daerah untuk mencegah penyebaran virus COVI-19 memang telah dibuat Pemerintah. Dari tingginya mobilitas masyarakat meninggalkan ibu kota untuk mudik ke daerah menunjukkan bahwa tanpa komando dan insentif yang jelas, himbauan Pemerintah tersebut sama sekali tidak efektif. Dengan mobilitas yang masih tinggi untuk mudik ke daerah , penyebaran COVID-19 semakin tidak terkendali.
Beberapa daerah seperti Papua Barat mengambil inisiatif menutup total akses masuk dan keluar, baik jalur laut maupun udara. Contoh lain, Tegal yang memagari jalan arus utama dengan beton tebal atau Surabaya yang menutup dua jalan utamanya. Dalam waktu dekat, tidak tertutup kemungkinan daerah lain akan segera menyusul. Di lain pihak, aparat mulai melakukan pendekatan-pendekatan keamanan untuk mencegah penularan COVID-19 yang apabila tidak dipagari dengan jelas, bisa terjerumus pada praktik totaliter.
Dari keadaan itu terdapat tiga hal yang teridentifikasi:
- Kebijakan penanganan yang terbatas pada himbauan melakukan physical distancing tidak melakukan perjalanan jauh menggambarkan bahwa Pemerintah gagap mengambil keputusan terhadap status keadaan darurat kesehatan dan penanganan COVID-19;
- Mobilitas massal masyarakat ke daerah yang nyaris tak terbentung adalah bukti bahwa tidak efektifnya himbauan Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebaran virus hingga ke daerah;
- Keputusan masing-masing daerah melakukan karantina kewilayahan secara mandiri untuk menyelamatkan masyarakat di daerah adalah wujud dari lambatnya pemerintah pusat dalam hal ini Presiden untuk bersikap menetapkan status COVID-19 menjadi darurat kesehatan nasional.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai penetapan status keadaan darurat kesehatan oleh Presiden terhadap COVID-19 penting segera dilakukan. Penetapan ini akan berpengaruh pada otoritas pengambilan kebijakan serta bagaimana cara pemerintah menangani situasi, termasuk untuk memberlakukan karantina wilayah yang memiliki daya paksa dalam keadaan darurat kesehatan. Hal ini merujuk pada perkembangan COVID-19 di Indonesia hingga 28 Maret 2020, tingkat orang terjangkit terus meningkat tajam, bahkan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, penyebaran dan penanganannya sudah melewati batas-batas provinsi atau tingkat nasional. Merujuk pada Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemda, maka urusan yang melewati batas provinsi menjadi kewenangan pemerintah pusat untuk mengatasinya.
- Dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan status darurat kesehatan nasional diantaranya:
UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. - UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf c yang menyebut penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; yang kemudian diperkuat oleh Pasal 51. Bahkan, di Pasal 1 angka 19 undang-undang ini menegaskan bahwa status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sehingga Keputusan Kepala BNPB No. 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Bencana Wabah Penyakit Virus Corona di Indonesia sebagaimana diubah dengan Keputusan No. 13A Tahun 2020 sesungguhnya keliru secara hukum karena kewenangan penetapan status dan bencana nasional seharusnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat yakni Presiden.
Rencana Pemerintah menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk menentukan tata cara penetapan dan pencabutan status keadaan darurat kesehatan harus segera direalisasikan. Penetapan tersebut harus berbarengan dengan keputusan tentang status keadaan darurat COVID-19 tersebut. Termasuk juga peraturan pemerintah harus memuat aturan mengenai hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah selama karantina berlangusung. Ketentuan ini juga harus konsisten dengan Pasal 55 UU No. 6/2018 Tentang Karantinaan Kesehatan. Berdasarkan Pasal 55, tercantum bahwa Pemerintah Pusat wajib memenuhi kehidupan dasar orang yang berada dalam lingkup wilayah karantina kesehatan. Kewajiban ini koheren dengan UU No. 18/2012 Tentang Pangan pasal 58 ayat 1 tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dan menyalurkan bahan pangan dalam keadaan darurat.
Dengan penetapan status darurat kesehatan nasional serta ditetapkannya daerah atau sebagian daerah yang berstatus darurat melalui Keputusan Presiden, maka pembatasan hak warga serta pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan preventif mencegah meluasnya COVID-19 mendapat rambu-rambu yang jelas. Adanya penetapan status darurat kesehatan nasional juga akan menciptakan kebijakan penanganan COVID-19 yang sinergis satu sama lain antara pusat dan daerah mengingat segala bentuk kebijakan akan diambil oleh pusat dengan koordinasi dengan pemerintah daerah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kami Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia(PSHK) mendesak agar Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk :
- Mengeluarkan Keputusan Presiden untuk menetapkan status darurat kesehatan COVID-19 berbarengan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah terkait penanganan darurat kesehatan secara nasional agar langkah-langkah pemerintah menjadi terukur;
- Mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan karantina wilayah untuk daerah tertentu ataupun secara nasional untuk pembatasan mobilitas penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi, termasuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan;
- Segera membatasi mobilitas penduduk di daerah terjangkit ke daerah-daerah lain untuk mencegah penularasan COVID-19 yang lebih luas;
- Menjamin tetap terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat selama karantina wilayah berlangsung;
- Berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan peraturan pemerintah terkait karantina kewilayahan untuk medapat masukan dan gambaran akan kebutuhan rill di daerah.
Image: Indopos