Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) mengubah sejumlah undang-undang bidang pendidikan, antara lain, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Menurut Anggota Badan Legislasi DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, selain empat UU tersebut, Pemerintah juga mengajukan inisiatif perubahan tersendiri terhadap UU Sisdiknas yang juga masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Hal ini patut dipertanyakan, apakah yang sesungguhnya diinginkan oleh Pemerintah, mengubah peraturan terkait sektor pendidikan secara parsial melalui RUU Cipta Kerja atau melakukan perubahan peraturan secara menyeluruh melalui perubahan RUU Sisdiknas.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Omnibus Vol. 3 bertema “Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja: Demi Investasi atau Masa Depan Generasi?” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Senin (20/7/2020).
Lebih lanjut, Ledia mengatakan bahwa pasal-pasal yang diubah dalam RUU Cipta Kerja tidak memiliki korelasi langsung terhadap penciptaan lapangan kerja. Pengaturan terkait sistem pendidikan harus menjadi UU tersendiri yang berfungsi mengatur standar, pengelolaan, dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Senada dengan Ledia, Halimson Redis yang merupakan Tim Kajian RUU Cipta Kerja, DPP Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Guru di Jubilee School Jakarta menyatakan sesungguhnya RUU Cipta kerja tidak berbicara mengenai peningkatan kualitas pendidikan, melainkan hanya menjadikan sektor pendidikan sebagai obyek komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi.
RUU Cipta Kerja ini dianggap mereduksi eksistensi guru karena menempatkan guru sebagai pekerja ekonomi, padahal seharusnya guru dianggap sebagai pekerja pendidikan. Untuk itu FGII menegaskan, pemerintah dan DPR harus mengeluarkan materi UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen dari bagian pembahasan RUU Cipta Kerja.
Menurut Fajri Siregar yang merupakan kandidat PhD, Departemen Antropologi University of Amsterdam, terdapat enam problematika dalam RUU Cipta kerja sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia. Pertama, izin perguruan tinggi asing yang dipermudah; Kedua, pelaku usaha pendidikan kebal sanksi; Ketiga, wacana menghapus mata kuliah agama dan kewarganegaraan; Keempat, pengajuan izin pembukaan perguruan tinggi asing melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), bukan Kemendikbud; Kelima, dosen Warga Negara Indonesia (WNI) lulusan asing tidak memerlukan sertifikasi dosen; Keenam, perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan dapat berprinsip nirlaba.
Meski begitu, Fajri juga menilai ada beberapa materi RUU ini yang patut untuk didukung, seperti debirokratisasi dosen dan program merdeka belajar.
Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama ini diikuti oleh hampir seratus peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia. (N)