Pada hakikatnya, omnibus law di Indonesia yang belakangan ini sedang marak dibahas, sebenarnya adalah undang-undang biasa saja. Punya julukan “omnibus” bukan berarti kemudian jadi memiliki hierarki baru di luar tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Omnibus juga secara hukum bukan pangkat baru, yang membuat undang-undang omnibus jadi bisa dibentuk lewat jalan pintas dan melupakan partisipasi publik.
Penekanan bahwa omnibus law adalah undang-undang, bukanlah dalam rangka mengecilkan persoalan omnibus ini. Menimbang kemungkinan adanya ratusan peraturan (berikut ribuan pasal di dalamnya) yang bisa dibongkar-pasang oleh undang-undang omnibus ini, menjadi mustahil bagi kita untuk menyederhanakan apalagi mengecilkan persoalan omnibus ini. Namun agar tak mudah terpukau dengan istilah baru, penting untuk mendudukkan kembali omnibus law di Indonesia ini pada tempat asalnya: ia adalah undang-undang.
Dengan menyadari bahwa pada dasarnya omnibus law adalah undang-undang, kita bisa membebaskan diri dari politik semantik yang bisa saja sedang berlangsung. Sebagai undang-undang, maka omnibus law tidak bisa lepas dan tidak terbebas pengaturan pembentukannya dari UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana diubah oleh UU No.15 Tahun 2019).
Sebagai undang-undang, omnibus law tetap harus mengacu pembentukannya pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas keterbukaan. Asas keterbukaan ini mensyaratkan keterbukaan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk dapat memberikan masukan mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan (lihat Penjelasan Pasal 5 huruf g UU No.12 Tahun 2011).
Sebagai undang-undang, omnibus law jelas bukanlah sabda raja. Oleh karenanya, suara dan kepentingan publik harus dikedepankan.
Ingin Sapu Jagat, Secepat Kilat?
Walau berstatus sama seperti undang-undang lainnya, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa omnibus law merupakan pendekatan khusus yang memiliki kekhasannya sendiri. Omnibus bukanlah jenis ataupun hierarki peraturan perundang-undangan baru, melainkan sebuah metode atau pendekatan penyusunan peraturan. Secara harafiah, kata “omnibus” berasal dari bahasa latin yang berarti “untuk semua hal”.
Hal yang khusus dari pendekatan penyusunan omnibus law ini adalah substansi materinya yang disiapkan untuk menggabungkan berbagai isu lintas sektor, lintas peraturan, mengubah, mengatur ulang, ataupun mencabut rentetan pasal yang dianggap menghambat atau tidak selaras untuk tujuannya.
Omnibus law ini bahkan sudah mulai punya nama lain di Indonesia, yaitu: “Undang-undang Sapu Jagat”.
Model pendekatan omnibus ini pernah dipraktikkan di beberapa negara lain seperti Filipina, Australia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Di Indonesia, walaupun sudah ada beberapa undang-undang yang menggunakan pendekatan serupa (misal: UU No. 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan), namun bisa dikatakan bahwa penyusunan omnibus law dalam skala masif seperti yang dibahas saat ini, belum pernah terjadi sebelumnya.
Tercantum dalam daftar prioritas 2020, ada empat omnibus law: RUU Cipta Lapangan Kerja (disiapkan oleh Pemerintah), RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (disiapkan oleh Pemerintah), RUU Ibukota Negara (disiapkan oleh Pemerintah), dan RUU Kefarmasian (disiapkan oleh DPR).
Pertimbangan ekonomi dan upaya menggaet investor, nampak jelas menjadi salah satu latar belakang utama persiapan paket omnibus law ini. Dengan omnibus law Cipta Lapangan Kerja misalnya, Pemerintah mengharapkan terdorongnya pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7% – 6%, dan terhindarnya Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Omnibus Law besutan Presiden Jokowi ini juga sepertinya memang disiapkan untuk melaju secepat kilat. Awalnya disebut pada pidato pertama Jokowi sebagai Presiden periode ke-2 pada 20 Oktober 2019, omnibus law kemudian melaju masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020, yang ditetapkan oleh DPR pada 22 Januari 2020.
Desakan penuntasan kilat ini dipertegas lagi oleh Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa dirinya akan “angkat dua jempol” jika DPR bisa menyelesaikan omnibus law ini dalam waktu 100 hari. Sinyal dari Presiden ini tentu tidak bisa dipandang enteng, mengingat bahwa komposisi kursi di DPR 2019-2024 lebih dari separuhnya diduduki oleh koalisi partai pendukung Pemerintah.
Kuatnya dorongan dari Presiden Jokowi untuk menuntaskan paket omnibus law ini, sepertinya untuk sementara akan mengesampingkan janji sebelumnya untuk membenahi regulasi di Indonesia secara lebih komprehensif melalui badan khusus pembenahan regulasi.
Publik perlu bersiap, karena badai pembahasan omnibus bisa jadi segera berhembus secepat kilat.
Pentingnya Suara Publik
Mengingat tingkat kerumitan yang luar biasa tinggi dalam pembahasan omnibus law ini, pelibatan publik dengan mendengarkan suara para pemangku kepentingan menjadi semakin penting. Sekadar contoh, untuk omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja diberitakan ada 2.517 pasal terdampak dari 83 Undang-Undang.
Tingginya tingkat kerumitan tersebut, justru membuat draft tersebut harus dibuka sejak awal untuk membuka ruang pembahasan bagi segenap pemangku kepentingan. Pasal 96 ayat (4) UU No.12 Tahun 2011 jelas menyatakan bahwa untuk memudahkan partisipasi masyarakat, setiap rancangan peraturan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Pemerintah juga sebenarnya tidak perlu menunggu Surat Presiden (Surpres) ke DPR untuk bisa memberi akses kepada publik untuk bisa memberi masukan terhadap rancangan peraturan. Perlu diingat bahwa Asas Keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-udangan yang baik mensyaratkan keterbukaan seluas-luasnya mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan.
Pola melempar bola ke DPR sebaiknya tidak dilakukan lagi oleh Presiden Jokowi dalam proses omnibus law ini. Belajar dari pembahasan kilat yang dilakukan terhadap undang-undang perubahan UU KPK yang lalu (hanya 12 hari) di DPR, jangan sampai ada kesan bahwa Presiden lepas tangan seolah pembahasan undang-undang di DPR bukan urusannya lagi. Padahal jelas menurut konstitusi kita, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Pemerintah dan DPR harus cermat dan bertanggungjawab dalam mengelola berbagai aspirasi masyarakat. Ada banyak kepentingan berlintasan dalam isu-isu omnibus law ini, kepentingan bisnis, perburuhan, investasi, kelestarian lingkungan, hak asasi manusia dan lain-lain.
Perlu ada keseimbangan pendekatan yang proporsional dalam mengelola aspirasi publik yang mewakili berbagai pemangku kepentingan. Melalui Keputusan Menko Perekonomian No.378 Tahun 2019, Pemerintah membentuk Satgas bersama Pemerintah dan KADIN untuk konsultasi publik omnibus law. Di sisi lain, diberitakan bahwa Presiden memberikan arahan kepada Kapolri, Kepala BIN, dan Jaksa Agung untuk ikut terlibat dan melakukan pendekatan kepada berbagai organisasi dalam rangka memuluskan pembahasan omnibus law. Perbedaan cara-cara pendekatan seperti ini perlu diubah, janganlah Pemerintah menggunakan pendekatan “ramah ke atas, galak ke bawah”.
Kalau badai omnibus terus melaju kencang tanpa memperhatikan suara dan kepentingan publik, sudah sepatutnya publik bertanya: badai omnibus ini berhembus untuk siapa?
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3938723ec2f/mengendus-badai-omnibus-oleh–eryanto-nugroho?page=3
Penulis: Eryanto Nugroho