Setelah disahkan awal minggu ini, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja akan berdampak besar, termasuk dalam melakukan perubahan mendasar dalam administrasi pemerintahan di Indonesia.
Di bidang administrasi pemerintahan, UU ini mengatur bahwa kewenangan menteri, kepala lembaga, dan pemerintah daerah untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan kewenangan presiden.
Ketentuan ini dibuat dengan tujuannya untuk percepatan pelayanan, percepatan perizinan, dan pelaksanaan program strategis nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat.
Pengaturan ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan menjadi langkah mundur.
Bertentangan dengan konstitusi
Dalam doktrin ketatanegaraan sistem presidensial, segala kewenangan menteri dan lembaga memang merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan presiden.
Namun tidak demikian halnya dengan kewenangan pemerintah daerah.
Dalam Undang Undang Dasar 1945, pemerintah daerah merupakan entitas tersendiri, penyelenggaraan pemerintahannya terpisah dari pemerintah pusat berdasarkan asas otonomi.
Pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri.
Jika UU Cipta Kerja mengganggap pelaksanaan pemerintah daerah adalah bentuk pelaksanaan kewenangan presiden, ini tentunya melanggar konstitusi.
Mengubah konsep diskresi
UU Cipta Kerja juga menimbulkan persoalan baru dengan menghilangkan syarat bagi pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi.
Diskresi memberikan ruang gerak bagi pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan tanpa perlu terikat sepenuhnya pada undang-undang asalkan tujuannya untuk kepentingan umum.
UU tentang Administrasi Pemerintahan membatasi penggunaan diskresi agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
UU ini ditujukan untuk mencegah diskresi disalahgunakan, agar tidak dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pejabat yang bersangkutan.
Namun, Pasal 175 UU Cipta Kerja menghapus syarat “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” bagi pejabat pemerintah untuk melakukan diskresi.
Ini akan berdampak buruk bagi iklim administrasi pemerintahan karena potensi untuk menyalahgunakan diskresi.
Bahkan, UU Cipta Kerja juga memungkinkan penggunaan diskresi secara luas, termasuk oleh presiden.
Jika presiden melakukan diskresi, tidak ada lagi kontrol terhadap diskresi presiden itu, karena tidak ada lagi jabatan yang lebih tinggi untuk mengawasi Presiden.
Selama ini yang bisa mengontrol presiden adalah peraturan perundang-undangan, namun syarat tersebut sudah dihapus.
Mengubah konsep fiktif positif
UU Cipta Kerja juga mengubah model asas “fiktif positif” yang ada di UU Administrasi Pemerintahan.
Dalam asas fiktif positif, suatu keputusan dengan sendirinya lahir apabila permohonan atas suatu keputusan atau ketetapan yang diajukan oleh warga negara atas suatu objek tidak direspons oleh pejabat pemerintah.
Misalnya, warga negara meminta kepada gubernur agar sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merusak alam dicabut karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan. Atau warga negara ingin mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kegiatan usaha atau rumah tinggal.
Sikap pejabat yang tidak menjawab atau diam itu oleh UU Administrasi Pemerintahan dianggap sebagai bentuk persetujuan dan pengabulan secara hukum.
UU Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa untuk mendapatkan kekuatan hukum, warga negara harus mengajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memperoleh penerimaan permohonan sebagai bentuk pengakuan.
PTUN wajib memutuskan permohonan itu paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan.
Kemudian, badan atau pejabat pemerintah wajib mengeluarkan keputusan untuk melaksanakan putusan PTUN paling lama 5 hari kerja setelah penetapan oleh pengadilan.
Dalam ketentuan yang diatur lewat UU Administrasi Pemerintahan, ada jaminan dari negara melalui putusan PTUN bahwa keputusan fiktif positif yang diperoleh warga negara akan dilaksanakan oleh badan atau pejabat yang bersangkutan.
Dalam ketentuan baru, UU Cipta Kerja mengatur bahwa keputusan akan lahir dengan sendirinya jika pejabat tidak merespons dalam 5 hari, ini lebih singkat dari sebelumnya 10 hari.
Dari segi percepatan waktu memang terlihat baik.
Akan tetapi, UU Cipta Kerja justru menghilangkan peran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memberikan kekuatan hukum atas keputusan tersebut dan menyerahkan kepada pejabat pemerintah untuk mengeksekusinya sendiri.
Artinya, warga negara tidak akan mendapat kepastian hukum dan administrasi makin berlarut.
Ini karena pejabat yang telah menolak dengan sikap diamnya tidak memiliki paksaan hukum untuk mengabulkan atau mengeksekusi permintaan warga negara.
Langkah perbaikan
Oleh karena itu, sudah sepantasnya persoalan administrasi pemerintahan di atas dikembalikan pada khitahnya.
Pertama, ruang diskresi pejabat pemerintah harus dibatasi dengan syarat “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Hal ini penting karena kebebasan pemerintah melalui diskresi yang tanpa kontrol sangat potensial disalahgunakan.
Bahkan, untuk penggunaan diskresi ke depan juga harus diperketat dengan syarat tidak melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), harus dilakukan dengan alasan yang objektif, dan harus dilakukan dengan itikad baik.
Diskresi hanya bisa dilakukan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Kedua, pelaksanaan keputusan fiktif positif harus tetap melibatkan PTUN.
Hal ini penting karena pengadilan adalah satu-satunya instrumen yang bisa memberi kepastian dan pelindungan terhadap hak-hak warga negara dalam urusannya dengan adminstrasi pemerintahan.
Tanpa pelibatan pengadilan, dapat dipastikan administrasi pemerintahan tidak akan terkontrol dan menyulitkan warga negara untuk mendapatkan kepastian akan hak-hak nya.
Putusan PTUN juga perlu diikuti dengan sanksi jika pejabat pemerintah tidak melaksanakan dalam batas waktu yang telah diberikan.
Terkait administrasi pemerintahan, dua hal ini perlu diterapkan dalam UU Cipta Kerja jika memang tujuannya adalah untuk melahirkan budaya birokrasi yang cepat, responsif, dan bertanggung jawab.
Penulis: Agil Oktaryal