Materi dalam Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus diperbincangkan khalayak karena cakupan isunya yang beragam, meliputi ketenagakerjaan, lingkungan hidup, penggunaan lahan, UMKM, sampai ke tata kelola pemerintahan. Luasnya lingkup pengaturan dalam UU Cipta Kerja, ditambah jumlah ketentuan yang mencapai ratusan pasal, menyebabkan beberapa isu penting lain luput dari perhatian publik, salah satunya isu disabilitas.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi menilai bahwa UU Cipta Kerja justru mematahkan banyak perubahan positif yang telah dicapai untuk penyandang disabilitas. Padahal sejak 1999 regulasi terkait penyandang disabilitas mengalami kemajuan sampai akhirnya pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Hal tersebut disampaikan Fajri Nursyamsi dalam diskusi bertema “Implementasi UU Cipta Kerja dalam Kerangka Kebijakan Disabilitas” yang diselenggarakan secara daring pada Jumat (4/12/2020).
Lebih lanjut, Fajri menilai terdapat empat hal dalam proses pembahasan dan substansi UU Cipta Kerja yang menyebabkan mundurnya pelindungan penyandang disabilitas. Pertama, proses pembentukan UU Cipta Kerja abai untuk melibatkan partisipasi penyandang disabilitas, karena tidak dilibatkan sejak awal, dokumen yang terpublikasi tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas netra, dan TV Parlemen yang menyiarkan sebagian rapat-rapat pembahasan UU Cipta Kerja tidak menyediakan juru bahasa isyarat.
Kedua, UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah “cacat” yang menggambarkan perspektif belas kasih, dibanding kata disabilitas yang berperspektif HAM. Ini menandakan bahwa UU Cipta Kerja tidak mempertimbangkan perubahan cara pandang yang ditandai dengan perubahan penggunaan istilah dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas. Hal itu merupakan dampak dari tidak ada pelibatan penyandang disabilitas dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
Ketiga, jaminan penyediaan aksesibilitas di bangunan gedung dalam Pasal 27 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Keempat, UU Cipta Kerja mengatur pemutusan hubungan kerja dengan alasan disabilitas, yang bertentangan dengan Pasal 11 huruf d dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU Cipta Kerja juga masih menggunakan sehat jasmani dan rohani sebagai syarat pengisian jabatan, yang dalam praktiknya kerap mendiskriminasi penyandang disabilitas.
Lebih lanjut, UU Cipta Kerja juga luput untuk menghilangkan hambatan bagi penyandang disabilitas yang bekerja dalam bidang UMKM seperti adanya stigma negatif, tempat berjualan yang tidak aksesibel, sampai sulitnya mendapatkan modal karena masih ada Lembaga keuangan yang tidak mengakui kapasitas hukum penyandang disabilitas.
Diskusi yang dihadiri oleh puluhan peserta ini diselenggarakan oleh PSHK bekerja sama dengan Forum Kebijakan Pembangunan (FKP), sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2020, PSHK menjadi ruan rumah untuk acara FKP, ikuti terus media sosial kami (@PSHKIndonesia) untuk informasi seri diskusi FKP selanjutnya.
Diskusi ini juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia.