Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Maraknya kasus TPPO dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari ketidaktahuan korban dan keluarga akan modus TPPO, tingkat kerentanan korban yang tinggi, hingga adanya jaringan pelaku TPPO yang kuat dan beroperasi secara internasional. Dalam karakteristik tindak pidana seperti TPPO ini menuntut adanya pemahaman dan kemampuan dari aparat penegak hukum, untuk mengungkap dan akhirnya menghukum para pelaku, baik yang beroperasi di lapangan maupun tokoh intelektualnya. Salah satu aparat penegak hukum yang dimaksud adalah Hakim, yang memiliki peran strategis dalam memutus perkara TPPO, khususnya di tahap persidangan.
Sebagai bentuk dukungan terhadap peningkatan kapasitas pengetahuan dan keahlian hakim dalam penangani perkara TPPO, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerjasama dengan International Organization of Migration (IOM) Indonesia saat ini sedang menyusun Modul Pelatihan Penanganan TPPO Bagi Hakim di Persidangan. Modul itu akan digunakan dalam pelatihan hakim, terutama yang bertugas di wilayah-wilayah berpotensi terjadi perkara TPPO. Modul itu disusun bersama dengan Mahkamah Agung, khususnya Pokja Perempuan dan Anak.
Salah satu kegiatan dalam penyusunan modul tersebut adalah kegiatan focus group discussion atau diskusi kelompok terpumpun pada Kamis (3/12/2020). Diskusi tersebut mengundang para Hakim yang berada dalam Pokja Perempuan dan Anak, para peneliti dari PSHK, dan perwakilan dari IOM Indonesia. Dalam diskusi membahas urgensi dari peningkatan kapasitas bagi Hakim dalam penanganan TPPO. Seperti disampaikan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Roki Panjaitan bahwa:
“Ada kapitalisasi yang sangat besar dari perdagangan orang. Begitu besar keuntungan yang diperoleh oleh jaringan perdagangan orang. Bahkan, harus dikejar oleh penegak hukum yang lain. Kapitalisasi yang sangat besar ini bisa menjadi pencucian uang. Sehingga, harus disampaikan kepada hakim-hakim kenapa Mahkamah Agung bekerja sama dengan mitra-mitra ini agar hakim peduli untuk memberantas TPPO melalui putusan yang tegas dan bisa berdampak secara luas sehingga pelaku-pelaku gentar untuk melakukannya berulang-ulang”.
Selain itu, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Diah Sulastri Dewi juga menyampaikan bahwa harus ada modul dan pelatihan terkait TPPO dalam persidangan, tidak hanya bagi hakim, tapi juga bagi seluruh aparat penegak hukum agar memiliki persepsi yang sama agar terciptanya putusan yang berkeadilan.
Diskusi kelompok terpumpun tersebut juga membahas terkait temuan-temuan awal, yaitu hambatan dalam proses penegakan hukum karena adanya perbedaan persepsi terkait kategori dan unsur dalam TPPO, dan praktik pelaksanaan restitusi bagi korban. Dibahas juga keterkaitan TPPO dengan tindak pidana lain yang terkait dengan UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu juga dibahas terkait dengan teknis penulisan modul serta rencana teknis penyampaian materi dalam pelatihan. Dengan adanya diskusi kelompok terpumpun dengan para Hakim dalam Pokja Perempuan dan Anak ini diharapkan dapat memperkaya dan mempertajam substansi dari modul dan dapat sesuai dengan kebutuhan pelatihan yang biasa dilakukan di lingkungan Mahkamah Agung. (Kris Ninawati Hanapi dan Fajri Nursyamsi)