Sejak Presiden Joko Widodo mewacanakan gagasan Undang-Undang sapu jagat (omnibus law) akhir tahun lalu hingga berlangsungnya proses pembentukan UU Cipta Kerja, berbagai upaya pembatasan ruang gerak masyarakat sipil terus terjadi. Sejumlah peristiwa mengonfirmasi hal itu, dan salah satu di antaranya tercermin dari pernyataan presiden yang meminta aparat keamanan untuk mendekati kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap wacana UU Cipta Kerja.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet, Damar Juniarto, terdapat upaya mobilisasi opini di ranah digital untuk mendukung pengesahan UU Cipta Kerja. Berdasarkan laporan Jaring.id, dari dua puluh tagar pendukung UU Cipta Kerja yang paling banyak digunakan sepanjang 13-27 Oktober 2020 di Twitter, dua tagar dimulai oleh akun pemerintah, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme & Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Damar juga menilai dalam satu dekade terakhir kondisi demokrasi (digital) menurun, hal ini ditandai dengan beberapa praktik otoritarianisme digital seperti pemberlakuan sensor informasi, pengawasan digital, dan praktik pemblokiran internet. Menyempitnya ruang warga di ranah daring memunculkan berbagai potensi serangan siber kepada kelompok beresiko seperti pembela hak asasi manusia, aktivis, akademisi, serta mahasiswa.
Ke depan, Damar menilai kelompok masyarakat sipil perlu menggugat berbagai peraturan yang membuka ruang praktik otoritarianisme digital melalui jalur hukum seperti judicial review, menguatkan literasi keamanan digital, dan melakukan konsolidasi lintas sektor untuk menguatkan gerakan dan menggalang dukungan.
Hal tersebut disampaikan diskusi bertema “Ruang Gerak Masyarakat Sipil Sesudah UU Cipta Kerja” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) secara daring pada Kamis (17/12/2020).
Relawan Paramedis Jalanan, Alviani Sabillah, menuturkan relawan medis tidak luput dari tindakan represif aparat selama aksi demonstrasi berlangsung. Dari setidaknya 35 keterlibatan dalam berbagai aksi demonstrasi dan solidaritas lainnya, Paramedis Jalanan kerap terhambat memberikan akses pertolongan pertama karena sering ditanyakan mengenai legalitas kedokteran, padahal relawan sudah dilengkapi dengan pembekalan medis untuk pertolongan pertama dan peralatan medis yang dibutuhkan.
Pengajar Kajian Indonesia dari University of Sydney, Tom Power, menilai masyarakat sipil sering kali tidak berdaya dengan berbagai kebijakan anti-demokratis yang dikeluarkan pemerintah seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, Perppu Ormas, Perpres tentang Jabatan Fungsional TNI, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena institusi akuntabilitas (Sistem check and balances) telah dilemahkan secara sistematis sehingga kurang efektif dalam membatasi kesewenang-wenangan pimpinan politik. Pelemahan tersebut merupakan indikator utama dalam proses executive aggrandisement, yaitu salah satu bentuk kemunduran demokrasi.
Asas akuntabilitas pemerintahan dalam negara demokratis yang dinilai mengalami kemunduran, yakni pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas, dan oposisi tidak resmi dengan aksi unjuk rasa.
Peneliti senior PSHK dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Eryanto Nugroho menuturkan bahwa menyempitnya ruang kebebasan sipil telah berlangsung lama dan meningkat paling tidak dalam satu dasawarsa belakangan. Hal ini terjadi di banyak negara dan cenderung bisa disebut sebagai tren global. Pandemi Covid-19 juga dinilai menambah tantangan dan potensi penyempitan ruang kebebasan sipil.
Pasang-surut ruang kebebasan sipil berlangsung dan berubah dalam berbagai rezim pemerintahan. Sebagai contoh, dalam hal kebebasan berserikat, misalnya, sejarah mencatat berbagai kasus yang terjadi di masa Orde Lama yang melarang Liga Demokrasi, Rotary Club, dan sebagainya karena tidak mau menerima atau mempertahankan manifesto politik; Orde Baru melarang Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya sempat dilarang karena tidak menyesuaikan dengan UU Ormas; dan pasca Reformasi 1998 terjadi pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia dan Perkumpulan ILUNI-UI.
Sebagai penutup, Eryanto menghimbau organisasi masyarakat sipil perlu merumuskan strategi baru dalam menghadapi potensi menyempitnya ruang partisipasi publik; mengembangkan inovasi dan akses pada sumberdaya; membenahi kerangka hukum dan kebijakan yang mengancam kebebasan sipil; melaksanakan konsolidasi, refleksi, dan re-orientasi agar terus relevan dan efektif dalam memberikan kontribusinya; meningkatkan kepercayaan publik; dan meningkatkan pemanfaatan teknologi.
Diskusi yang dimoderatori Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama diikuti oleh puluhan peserta dengan berbagai latar belakang seperti dosen, mahasiswa, ataupun aparat pemerintaah. Webinar ini merupakan penutup dari rangkaian Seri Diskusi Omnibus yang telah digelar sejak Juni 2020. Selain itu, webinar kali ini juga menjadi bagian dari Forum Kajian Pembangunan, sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University), yang menjadikan PSHK sebagai tuan rumah selama Desember 2020.
Diskusi ini juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube PSHK Indonesia.