Bersama pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimandatkan untuk mengawasi dan memastikan kinerja eksekutif sepenuhnya berfokus pada penanganan krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Namun, dibandingkan sorotan besar terhadap peran eksekutif, peran DPR masih luput dari radar. Legislator tenggelam dalam ingar bingar pemberitaan Covid-19 dan hanya sesekali muncul ke permukaan.
Sepanjang 2020, target kinerja legislasi DPR yakni Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 DPR jauh dari target. Awalnya, Prolegnas Prioritas 2020 menargetkan 50 RUU. Tapi pertengahan tahun diubah menjadi 37 RUU. Faktanya, hanya 13 RUU yang mampu dirampungkan dengan rincian 3 RUU nonkumulatif terbuka dan sisanya RUU kumulatif terbuka.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya, menyampaikan bahwa berdasarkan pengalaman Baleg selama ini, evaluasi prolegnas tidak berdasarkan pada jumlah RUU yang disahkan menjadi undang-undang saja. RUU yang berstatus pembicaraan tingkat satu, sedang dalam proses penyerahan kepada presiden untuk mendapatkan Surpres, RUU sedang dalam proses harmonisasi, ataupun RUU sedang dalam proses penyusunan, juga harus dihitung dan dipertimbangkan. Sebab setiap tahapan yang dilalui, sebuah RUU memerlukan dukungan politik yang kuat dan tidak mudah.
Menurutnya, kinerja legislasi DPR dipengaruhi oleh pandemi Covid-19. Rapat DPR diselenggarakan secara terbatas dan hanya mengizinkan beberapa perwakilan fraksi hadir secara fisik, selebihnya harus hadir secara virtual. Ketentuan ini berlaku, baik pada rapat komisi, badan, maupun rapat Pimpinan DPR.
Willy mengklaim pelaksanaan rapat DPR secara virtual melalui TV Parlemen, YouTube DPR, dan Facebook DPR justru membuka ruang partisipasi masyarakat secara luas. Masyarakat dapat langsung mengakses atau mengikuti rapat DPR melalui berbagai media sosial terkait pembahasan suatu RUU. Bahkan hasil rekaman rapat DPR tersebut juga dapat langsung diunduh.
Ia menambahkan bahwa di tengah pandemi saat ini, kerja DPR terkait penanggulangan wabah menjadi prioritas. Contohnya adalah dimasukannya revisi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi dan peluncuran catatan tahunan kinerja DPR bertajuk “Legislasi Masa Pandemi: Sorotan atas Kinerja DPR dalam Satu Tahun Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) secara daring pada Selasa (27/7/2021). Dalam kesempatan tersebut, PSHK juga meluncurkan buku Legislasi Masa Pandemi: Catatan Kinerja Legislasi DPR 2020 yang menjabarkan berbagai masalah terkait kinerja DPR selama satu tahun pertama pandemi Covid-19.
Peneliti PSHK, Nabila, menuturkan bahwa target penyelesaian yang tinggi pada Prolegnas Prioritas 2020, menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah tidak melakukan refleksi atas kinerja legislasi yang mereka lakukan selama ini. Berdasarkan catatan PSHK selama enam tahun terakhir, penyelesaian target Prolegnas prioritas tahunan tidak pernah tercapai. Selain target yang tidak realistis, cara DPR menentukan RUU mana yang akan dibahas terlebih dahulu juga patut dipertanyakan.
Di luar capaian kuantitas, kualitas legislasi juga jauh dari harapan. Pertama dari sisi proses, terlihat dari ketidakpatuhan DPR dan pemerintah terhadap prosedur pembentukan Undang-Undang. Pelaksanaan fungsi legislasi pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 (UU PPP). Namun, proses yang terjadi sering kali mengabaikan ketentuan dalam undang-undang itu, salah satunya terkait penyediaan ruang partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang.
Contoh paling eksplisit terkait pengabaian partisipasi publik dapat dilihat dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Sepanjang proses pembahasan, hanya ada satu draf resmi yang dapat diakses publik, yakni draf awal ketika pengajuan oleh presiden kepada DPR.
Kedua dari sisi substansi, menurutnya pembentukan UU tidak berdasarkan kebutuhan mendesak di masyarakat, bermaslaah secara redaksional dan penerapan nilai, banyaknya permohonan pengujian materil UU yang baru disahkan.
Nabila juga menambahkan bahwa proyeksi legislasi pada 2021 tidak akan jauh berbeda dari tahun lalu. Jumlah target penyusunan Prolegnas Prioritas 2021 yang berjumlah 33 diprediksi capaiannya tetap tidak akan terpenuhi. Dari 33 RUU prioritas tersebut belum mencerminkan legislasi yang dibutuhkan di masa pandemi karena hanya ada dua RUU yang terkait pandemi.
Co-Founder Laporcovid-19, Irma Hidayana, menilai pekerjaan rumah yang masih dihadapi dalam mengatasi pandemi ini adalah transparansi data dan buruknya komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah. Ia juga meminta DPR untuk mendorong dibuatnya aturan pelaksana UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurutnya, batas dibuatnya aturan pelaksana UU tersebut adalah Agustus 2021.
Irma juga mengajak publik untuk mendorong transparansi dan pengelolaan kesehatan di berbagai tingkat demi meningkatkan status kesehatan masyarakat serta ikut mengawasi potensi Conflict of Interest, abuse of power dan bentuk peyalahgunaan kewenangan dan korupsi dalam pendiagnosaan, penentuan perawatan, dan pegobatan.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai penanganan pandemi sudah salah kaprah sejak awal. Menurutnya, pengesahan UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan bukan payung hukum darurat untuk memerangi Covid-19, melainkan menangani dampak Covid-19 terhadap perekonomian, khususnya untuk mengamankan APBN dan sektor keuangan.
Menurutnya, prioritas saat ini adalah memutus rantai penularan Covid-19. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan nasional yang Tangguh dan pengorganisasian yang apik, komunikasi publik yang efektif, dan tidak menggunakan pendekatan komersial.
Diskusi dimoderatori oleh peneliti PSHK, Auditya Saputra, diikuti oleh lebih dari seratus peserta dengan berbagai latar belakang seperti dosen, mahasiswa, ataupun aparat pemerintaah. Diskusi ini juga dapat disaksikan ulang di kanal YouTube PSHK Indonesia.