Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) telah menyelesaikan laporan studi berjudul “Pengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi bagi Kelompok Rentan”. Kajian ini disusun untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan legislasi terkait penghapusan diskriminasi terhadap kelompok rentan.
Menurut peneliti PSHK, Auditya Saputra, pengertian kelompok rentan belum secara eksplisit dirumuskan. Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan pelindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Sekilas, tidak ada penafsiran yang bisa ditarik dari rumusan pasal itu selain bahwa adanya hak mendapatkan perlakuan dan pelindungan lebih karena adanya kekhususan. Penjelasan pasal yang sama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan ‘penyandang cacat’.
“Terdapat permasalahan substansi seperti kekosongan definisi dan kebutuhan mendefinisikan kelompok rentan. Padahal dalam hukum, definisi itu penting. Tidak terdefinisikannya istilah ‘kelompok rentan’ mungkin telah diperhitungkan oleh pembentuk undang-undang. Ada pertimbangan tertentu mengingat konsep kerentanan bersifat dinamis,” ujar Auditya.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi dan peluncuran laporan studi bertajuk “Meninjau Kebijakan Pelindungan Kelompok Rentan di Indonesia” yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (30/11/2021).
Audit menambahkan, kerentanan harus dilihat dalam konteks kemungkinan risiko, dan risiko selalu berkorelasi pada faktor-faktor tertentu. Berdasarkan temuan, beberapa faktor dapat digeneralisasi sebagai berikut kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan hukum agar pengaturan tentang kelompok rentan dimutakhirkan dengan dua alternatif, yakni membentuk undang-undang baru tentang antidiskriminasi terhadap kelompok rentan dan melakukan revisi terhadap UU HAM.
Kepala Sub-Direktorat Instrumen Hak Kelompok Rentan Kementerian Hukum dan HAM RI, Hidayat Yasin menuturkan bahwa pemetaan isu perubahan UU HAM meliputi pengaturan konsistensi hak dasar, penyelarasan dengan kovenan dan konvensi, penyesuaian perkembangan generasi HAM, penguatan peran pemerintah, pelanggaran HAM yang mencakup definisi, jenis, pencegahan, dan penanganan, serta pemisahan pengaturan lembaga seperti Komnas HAM.
“Penerapan UU HAM juga selama ini mengalami beberapa tantangan yakni political will, harmonisasi peraturan perundang-undangan seperti perbedaan usia anak di berbagai peraturan lainnya, dan implementasi,” tambahnya.
Sementara itu, Human Rights & Gender Adviser UNAIDS, Yasmin Purba menuturkan bahwa berdasarkan catatan Arus Pelangi pada 2018, terdapat 45 diskriminatif terhadap kelompok keragaman seksual dan catatan LBH Masyarakat pada 2018 yang melaporkan bahwa terdapat 973 orang melaporkan mengalami diskriminasi dan persekusi berbasiskan Sex, Gender, Sexual Orientation, Sexual Preference, Gender Identity, Gender Expression (SOGIE).
Yasmin juga menambahkan perlunyan perlindungan hukum komprehensif bagi kelompok rentan dengan memperluas lingkup definisi diskriminasi untuk dapat mencakup kerentanan-kerentanan khusus yang dimiliki oleh kelompok-kelompok yang menghadapi stigma dan diskriminasi serta menetapkan mekanisme keadilan yang mudah diakses oleh korban untuk dapat menuntut hak-haknya yang dilanggar akibat diskriminasi.
Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka launching laporan studi terbaru PSHK yang bekerja sama dengan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) berjudul “Pengembangan Strategi Advokasi Antidiskriminasi bagi Kelompok Rentan di Indonesia”. Diskusi yang dimoderatori oleh peneliti PSHK, Antoni Putra dapat disaksikan ulang di kanal YouTube PSHK Indonesia.