Pemerintah telah melakukan upaya mengarusutamakan perspektif disabilitas di berbagai sisi, termasuk dari sisi legislasi. Sayangnya, ratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan pengesahan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tidak serta merta mengubah perspektif yang ada, termasuk dalam riset. Selain itu, pelibatan penyandang disabilitas dalam riset juga tergolong minim.
Menurut Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Nuke Pudjiastuti terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan riset-riset bertema disabilitas, yaitu isu disabilitas belum menjadi salah satu indikator dan perspektif dalam riset, pendanaan riset nasional belum berperspektif disabilitas, dan kelompok riset dalam lembaga cenderung berjuang sendiri-sendiri sesuai dengan target lembaga atau universitas.
Ia menuturkan beberapa langkah awal dapat dilakukan untuk mengembangkan riset berperspektif disabilitas, yaitu dengan menjadikan isu disabilitas sebagai salah satu fokus dan prioritas; kedua membangun komunikasi dan menyamakan cara pandang. Ketiga dengan mengumpulkan, mengelompokkan, mendokumentasikan, dan membangun pusat riset; dan keeempat dengan mendesain sinergi dan kolaborasi rencana kerja antar lembaga.
“Isu disabilitas perlu dimasukkan ke dalam pendanaan-pendanaan seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang bisa diakses semua pihak untuk pengarusutamaan disabilitas dalam riset,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan dalam webinar bertajuk “Inklusi Disabilitas dalam Riset untuk Pembentukan Regulasi” dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada Senin (13/12/2021) secara daring.
Peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti, menuturkan perlunya inklusi sebelum mendorong kebijakan riset berpersprektif disabilitas. Hal tersebut terjadi karena selama ini penyandang disabilitas mengalami setidaknya empat permasalahan dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu stigma dan stereotip yang menganggap penyandang disabilitas tidak berdaya; tindakan pengucilan yang menghambat partisipasi penyandang disabilitas dalam pengambilan kebijakan; penyandang disabilitas juga diperlakukan secara berbeda; dan terakhir penyandang disabilitas juga menghadapi kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.
Estu menambahkan berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat sekitar 10,8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja, namun hanya sekitar 5% yang memiliki gelar sarjana. Hal tersebut menyebabkan minimnya pihak yang mendorong riset berperspektif disabilitas karena mayoritas riset dilakukan oleh mereka yang menempuh perguruan tinggi.
“Kalau representasi penyandang disabilitas di perguruan tinggi sangat minim, maka yang mendorong riset berkaitan dengan disabilitas juga pasti sangat minim. Hal ini berdampak pada tidak tergambarnya pendapat atau pengalaman penyandang disabilitas di dalam riset,” ungkapnya.
Untuk mendorong pengarusutamaan disabilitas dalam riset, Estu menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor antara lembaga riset pemerintah atau nonpemerintah dengan komunitas dan melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan program dan penganggaran. Diperlukan juga pemanfaatan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana penunjang, dan jaminan pelibatan penyandang disabilitas dalam peraturan teknis. Terakhir, monitoring dan evaluasi diperlukan untuk melihat efektivitas pelaksanaan kolaborasi lintas sektor tersebut.
Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Slamet Thohari menuturkan bahwa perlunya kebijakan afirmasi untuk mendorong jumlah penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan tinggi. Kebijakan afirmasi tersebut dilakukan oleh Universitas Brawijaya lewat Seleksi Program Khusus Penyandang Disabilitas (SPKPD) pada 2012 lalu. Dengan program tersebut, Universitas Brawijaya memberikan kuota khusus dan beasiswa bagi penyandang disabilitas lewat tes seleksi yang disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Analis Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Abi Marutama menilai komitmen Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham mendorong pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas diwujudkan dengan menyediakan anggaran dan kebebasan bagi peneliti untuk melakukan riset bertema disabilitas.
Abi menambahkan terdapat beberapa tantangan dalam melakukan riset di lembaga pemerintah yaitu minimnya dana riset yang disediakan, terbatasnya kemampuan sumber daya manusia untuk melakukan riset, dan terbatasnya waktu yang disediakan untuk riset yakni hanya enam bulan. Selain itu, minimnya adopsi hasil riset pada kebijakan juga masih menjadi tantangan hingga saat ini. Menurut Abi, hal tersebut terjadi karena minimnya pemahaman pemangku kebijakan atas isu disabilitas.
“Mungkin ada bahasa teknis yang sulit dipahami oleh pengambil kebijakan, misalnya akomodasi yang layak. Hal tersebut dianggap istilah baru bagi pengambil kebijakan,” ungkapnya.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2021, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi dapat disaksikan ulang di kanal YouTube PSHK Indonesia.