PSHK tergabung dalam Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan wadah pertemuan dan pertukaran diskusi tentang pentingnya pembuatan kebijakan berbasis pengetahuan guna mendukung diskursus dan literasi kebijakan yang inklusif di antara para aktor dan pemangku kepentingan di sektor pengetahuan.
Konferensi K2P akan dilaksanakan selama dua hari pada 22-23 Maret 2022 secara daring, sebagai salah satu bagian dari rangkaian kegiatan penutupan program Knowledge Sector Initiative. Konferensi dibagi ke dalam dua format, yakni Ruang Bincang (webinar dalam format talkshow) yang mempertemukan think tank, pemangku kebijakan, dan mitra pembangunan lainnya serta Titik Temu yang memprofilkan temuan dan rekomendasi berbasis riset dari beragam sektor pembangunan.
Peneliti PSHK, M. Nur Sholikin dalam “Ruang Bincang 3: Tata Kelola dalam Penyusunan Kebijakan” meyampaikan materi mengenai implementasi kebijakan reformasi regulasi. Menurutnya, ada beberapa prioritas masalah regulasi di Indonesia seperti ketidaksesuaian perencanaan legislasi dengan perencanaan pembangunan, materi muatan yang tidak tepat, hiper-regulasi, dan peraturan yang tidak efektif tanpa penyelesaian yang cepat.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Sholikin menekankan pentingnya reformasi regulasi yang sistematis dan berkesinambungan dalam RPJMN, penataan fungsi dan kelembagaan, serta revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama dalam “Titik Temu 3: Merancang Tata Kelola Melalui Inovasi dan Pengetahuan” membawakan materi mengenai monitoring dan evaluasi peraturan untuk hukum yang lebih progresif. Ia menuturkan bahwa prosedur pembentukan peraturan yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 belum mengakui secara formal mekanisme monitoring dan evaluasi peraturan. Undang-Undang tersebut masih melihat proses legislasi sebagai proses yang linear, dimulai dari tahap perencanaan dan berakhir di tahap publikasi peraturan. Padahal, proses pembentukan kebijakan–termasuk pembentukan peraturan–seharusnya dipandang sebagai sebuah siklus. Dan dalam siklus ini, dibutuhkan satu tahap lagi sesudah publikasi, yaitu monitoring dan evaluasi.
Pada Oktober 2019, DPR bersama Presiden merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Peraturan ini menambahkan satu bab khusus berjudul Pemantauan dan Peninjauan. Pasal ini memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Ini adalah kemajuan besar dalam sistem tata kelola legislasi kita. Tapi, peraturan ini masih sangat terbatas, karena hanya mengatur soal monitoring dan evaluasi pada level undang-undang. Ke depannya, mekanisme monitoring dan evaluasi perlu menjadi tahap yang wajib dilaksanakan dan terintegrasi dalam siklus pembentukan peraturan di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Fajri Nursyamsi hadir dalam tiga diskusi. Yang pertama adalah “Titik Temu 2: Pemanfaatan Data untuk Transformasi Kebijakan” dengan materi mengenai perspektif GEDSI (Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial) dalam penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap). GEDSI sendiri adalah suatu perspektif yang berupaya menyejajarkan peran dari pelibatan kelompok disabilitas dan juga gender sehingga dapat menghasilkan suatu manfaat pembangunan yang merata. Bedasarkan kajian yang dilakukan oleh PSHK dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat dua temuan penting dalam konteks regulasi dan perencanaan penganggaran. Dalam konteks regulasi, peraturan perundang-undangan yang ada pada dasarnya sudah mengakui dan mendorong pengarusutamaan GEDSI dalam Litbangjirap.
Sementara dalam konteks perencanaan, berdasarkan RPJMN 2020-2024 ditemukan bahwa anggaran untuk perencanaan program prioritas penguatan kapasitas kelembagaan dan pengarusutamaan gender oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dialokasikan sebesar Rp487 miliar.
Menurut Fajri, penerapan prinsip GEDSI harus terus dimaksimalkan. Terdapat lima rekomendasi kebijakan yang diusulkan, yaitu pertama pelaksanaan evaluasi oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian PPPA, penyusunan indikator oleh Kementerian PPN/Bappenas, penyusunan pedoman oleh BRIN, pengalokasian anggaran oleh BRIN, dan penyediaan data dan analisa oleh BPS serta kementerian/lembaga terkait.
Diskusi kedua yang diikuti Fajri adalah “Ruang Bincang 5: Mendorong Kebijakan Setara-Inklusif yang Transformatif dan Partisipatif”. Dalam diskusi tersebut, Fajri menuturkan bahwa perspektif pembentuk regulasi masih menempatkan isu disabilitas sebagai isu yang hanya terkait dengan aspek kesejahteraan sosial. Seharusnya isu disabilitas dipandang sebagai isu HAM yang bersifat multisektor. Pembentuk regulasi juga masih berjarak dengan organisasi penyandang disabilitas dan belum menjadikan organisasi penyandang disabilitas sebagai target untuk dilibatkan dalam proses pembentukan regulasi.
Untuk mengatasi hal tersebut, Fajri menilai diperlukan peningkatkan pemahaman dan perspektif disabilitas bagi setiap pihak yang terkait dengan proses pembentukan regulasi dan perluasan jaringan pembentuk undang-undang dengan organisasi penyandang disabilitas dari berbagai ragam disabilitas sebagai bentuk representasi, khususnya dalam konteks pembentukan regulasi.
Terakhir, Fajri menjadi narasumber dalam “Titik Temu 5: Praktik Baik Terapan Pengetahuan untuk Kebijakan Berbasis Bukti”. Ia menyampaikan materi mengenai kajian kerangka hukum disabilitas. Pada 2015, PSHK melakukan riset pemetaan regulasi di Indonesia yang terkait dengan isu disabilitas berjudul Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Riset tersebut menemukan bahwa mayoritas regulasi mengenai disabilitas masih menggunakan perspektif belas kasih dibandingkan dengan perspektif HAM. Hal ini berdampak kepada sasaran pengaturan yang lebih banyak mengintervensi perubahan kepada kondisi fisik atau mental seseorang dibandingkan dengan mengubah lingkungan menjadi lebih aksesibel.
Menurut Fajri, riset dalam isu disabilitas sangat dibutuhkan saat ini, khususnya untuk mendukung pembentukan suatu kebijakan yang inklusif. Masih banyak sektor yang terkait dengan isu disabilitas yang membutuhkan analisa berdasarkan data dan informasi ilmiah yang valid. Pada titik itulah riset menjadi sarana pembentukan kebijakan berbasis bukti serta sarana pelibatan partisipasi penyandang disabilitas yang luas dan bermakna. Dengan begitu, isu disabilitas tidak hanya akan berpusat pada aspek kesejahteraan sosial, tetapi juga menyasar kepada perbaikan pelayanan publik yang aksesibel, perubahan cara pandang berbasis HAM, dan perluasan kesempatan penyandang disabilitas dalam berbagai sektor strategis.
Sebagai penutup kegiatan, 18 lembaga riset kebijakan yang terlibat dalam Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) meluncurkan memo bersama berjudul Independensi Riset dan Produksi Pengetahuan Indonesia. Memo tersebut berisi tantangan dan hambatan dalam upaya mendorong koordinasi dan kerja sama di seluruh sistem penelitian dan pengembangan serta rekomendasi kebijakan yang bisa menjamin, mendorong, sekaligus memfasilitasi kolaborasi pengetahuan yang mendukung prinsip independensi riset.