AWAL Juli 2022, Wakil Kementerian Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej telah menyerahkan naskah final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah pembahasan terbuka antara DPR dengan Pemerintah.
Wakil Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan “penyempurnaan” atas naskah RKUHP, namun tidak akan membuka ruang pembahasan di luar 14 isu krusial yang telah ditetapkan.
Pemerintah dan DPR seakan menutup mata untuk pasal-pasal bermasalah lainnya. Padahal, masih banyak isu yang menjadi perhatian yang sangat berkaitan dengan ancaman bagi ruang kebebasan sipil dan demokrasi.
Ketentuan bermasalah
Beberapa pasal bermasalah masih terus dipelihara dalam RKUHP versi Juli 2022. Salah satu ketentuan bermasalah adalah mengenai perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu, ada juga ketentuan yang berimplikasi sebagai ancaman bagi ruang kebebasan sipil, yakni ketentuan mengenai pemidanaan bagi mereka yang dianggap menghina kekuasaan umum atau lembaga negara.
Dalam perjalanannya, ketentuan mengenai penghinaan masih menjadi perdebatan di sejumlah negara di dunia karena dapat mengancam kebebasan berpendapat. Apalagi, ketentuan tersebut berpotensi menjadi pasal karet.
Di samping itu, ada juga ketentuan yang sangat berkaitan dengan penyempitan ruang kebebasan sipil, yaitu ketentuan mengenai demonstrasi. RKUHP menjadikan perbuatan melakukan demontrasi tanpa izin menjadi delik pidana.
Tentu ketentuan ini akan sangat berimplikasi pada peran masyarakat sipil untuk turut berkontribusi terhadap proses berdemokrasi.
Uraian ketentuan-ketentuan dalam RKUHP yang menjadi ancaman nyata bagi kebebasan ruang sipil dan demokrasi sebenarnya menyulitkan Pemerintah.
Sebab, pemerintahan justru memerlukan demokrasi yang sehat agar terbuka ruang luas terhadap kritik kepada pemerintah, lembaga negara, dan terhadap kinerja pemerintah.
Hal tersebut penting untuk menghadirkan ruang partisipasi yang aktif dari masyarakat untuk membantu kinerja pemerintah.
Berkaitan dengan demokrasi, telah banyak penelitian dan kajian terkait pembahasan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Bahkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir posisi demokrasi Indonesia berada dalam tingkat yang rendah.
Apabila RKUHP tetap mempertahankan ketentuan-ketentuan bermasalah ini, bukan tidak mungkin posisi demokrasi Indonesia akan terus mengalami kemerosotan dan hal tersebut merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.
Ruang kebebasan sipil seakan disumbat oleh negara melalui RKUHP, tentu ini menjadi catatan merah atas perlakuan negara terhadap ruang kebebasan sipil.
Hal ini juga menandakan negara agaknya masih “alergi” dengan kehadiran masyarakat sipil dalam proses berdemokrasi, padahal masyarakat sipil merupakan instrumen yang sangat penting dalam kehidupan bernegara.
RKUHP minim partisipasi
Di samping adanya ketentuan-ketentuan yang menjadi ancaman bagi ruang kebebasan sipil dan demokrasi, salah satu akar permasalahan substansial yang terdapat dalam RKUHP adalah proses penyusunan dan pembahasannya yang tidak terbuka dan partisipatif.
Hingga saat ini, masyarakat kesulitan untuk mengakses naskah RKUHP yang resmi dipegang oleh DPR dan Pemerintah.
Selain itu, para legislator selalu mengklaim bahwa pembahasan RKUHP telah dilakukan secara partisipatif.
Padahal partisipatif yang dimaksud seharusnya tidak sebatas formalitas tetapi dilakukan secara bermakna dengan berpedoman pada asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik maupun prinsip good governance.
Dalam proses pembahasan RKUHP, tidak terlihat keseriusan pemerintah dan DPR untuk secara sungguh-sungguh untuk melibatkan publik. Ini terlihat rencana awal pemerintah untuk memproses RKHUP secara kilat.
Pada bulan April 2022, pemerintah menyatakan akan segera menyerahkan RKUHP ke DPR kemudian dibahas dan disahkan bulan Juni 2022.
Lalu rencana tersebut diundur ke Juli 2022. Akhirnya diundur kembali ke waktu yang belum ditetapkan karena adanya penolakan (kembali) dari masyarakat.
Tidak hanya itu, ruang partisipasi masyarakat masih dilakukan secara tidak bermakna. Terbaru, pada tanggal 23 Agustus 2022, Pemerintah menyelenggarakan kick-off pembahasan RKUHP, namun pembahasan tersebut hanya berlangsung searah bersifat sosialisasi atau edukasi semata.
Tindakan tersebut patut untuk dipertanyakan, setidaknya tindakan tersebut masih menyiratkan bahwa Pemerintah tidak serius dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang bermakna sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sampai saat ini RKUHP belum ditetapkan sebagai undang-undang, sehingga masih terdapat waktu untuk terus mempersoalkan ketentuan-ketentuan bermasalah dalam RKUHP, mengingat ketentuan-ketentuan bermasalah tersebut sangat berpotensi merenggut hak kebebasan sipil dan demokrasi.
Namun demikian, tugas untuk mempersoalkan ketentuan-ketentuan bermasalah dalam RKUHP tidak dapat terwujud apabila tidak pernah diberikan ruang oleh Pemerintah.
Masyarakat tidak membutuhkan ruang yang dilakukan satu arah, namun menantikan ruang dialog Pemerintah untuk memastikan ruang kebebasan sipil dan demokrasi tidak didegradasi oleh ketentuan dalam RKUHP.
Ruang partisipasi masyarakat yang bermakna merupakan harga mati yang harus disediakan oleh Pemerintah. Jika tidak, maka hal tersebut berpotensi mendorong Indonesia untuk memasuki masa kelam bagi ruang kebebasan sipil dan demokrasi.
Editor: Sandro Gatra
Penulis: Muhammad Nur Ramadhan
Sumber : https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/09/05/16594791/rkuhp-ancaman-nyata-ruang-kebebasan-sipil-dan-demokrasi