Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyelenggarakan Pelatihan Resiliensi Hukum Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyempitan Ruang Gerak Masyarakat Sipil pada 7-9 Agustus di Semarang, Jawa Tengah. Kegiatan ini melibatkan 15 peserta dari berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) di Jawa Tengah untuk berbagi pengetahuan tentang sejarah serta perkembangan gerakan masyarakat sipil dan strategi dalam menghadapi serangan terhadap organisasi masyarakat sipil seperti kriminalisasi, serangan digital, dan Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
Direktur Eksekutif PSHK, Rizky Argama, dalam paparannya menjelaskan, negara dengan sengaja menciptakan situasi agar organisasi masyarakat sipil di Indonesia tunduk pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Terminologi dan konsep ormas sendiri diciptakan oleh Pemerintah Orde Baru dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan pemerintah terhadap aktivitas yang dilakukan oleh aktor non-negara. Ormas dikonstruksi sebagai “wadah tunggal” bagi organisasi-organisasi sejenis yang didirikan atas dasar kesamaan aktivitas, profesi, tujuan, atau agama, serta bersifat nirlaba. Oleh karena itulah, konsep ormas lebih dekat dengan aspek politik ketimbang hukum.
Direktur Eksekutif YAPPIKA-ActionAid, Fransisca Fitri, menilai saat ini ada urgensi bagi OMS untuk membentuk tata kelola organisasi yang kuat. OMS memang telah lama aktif untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, tapi efektivitas masyarakat sipil dalam membawa perubahan nyata sudah lama dipertanyakan karena berbagai faktor, seperti meningkatnya public distrust, serta ketidakpastian atas relevansi dan legitimasi OMS.
“Tren yang populer tapi meresahkan saat ini adalah bermunculannya kebijakan dan prosedur administrasi pemerintah yang menghambat operasi OMS. Selain itu, berubahnya prioritas donor yang didorong oleh kebijakan internasional telah mengancam keberlanjutan OMS,” ungkap Fransisca.
Peneliti PSHK, Alviani Sabillah, menuturkan bahwa ada beberapa elemen untuk menilai kebebasan sipil, yakni penghormatan terhadap kebebasan sipil melalui kerangka regulasi yang mendukung, lanskap politik, budaya dan sosial ekonomi yang kondusif, dialog antara masyarakat sipil dan aktor untuk memastikan partisipasi bermakna, keberadaaan “alat” untuk mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan OMS, serta kesadaran masyarakat sipil terhadap tantangan demokrasi, supremasi hukum, dan hak-hak dasar.
Alviani memaparkan perihal tren penyempitan ruang gerak masyarakat sipil atau shrinking civic space yang terjadi saat ini berbasis laporan CIVICUS pada 2021. Laporan itu menunjukkan hampir separuh warga dunia tinggal di negara yang ruang sipilnya berada dalam represi negara, sebaliknya, hanya sedikit yang hidup dalam ruang sipil terbuka.
Pelatihan ini juga mengangkat soal kasus kriminalisasi terhadap aktor organisasi masyarakat sipil yang terus meningkat. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, yang memandu sesi tersebut, menjelaskan bahwa untuk menangani kriminalisasi diperlukan pembagian kerja advokasi, menganalisis pola kriminalisasi yang sudah terjadi sebagai mitigasi ancaman di masa depan, mengampanyekan korban kriminalisasi dan pola yang dilakukan, serta melapor kepada mekanisme HAM nasional dan internasional.
Selain kriminalisasi, serangan digital terhadap kelompok kritis seperti mahasiswa, jurnalis, aktivis, dan pembela hak asasi manusia juga meningkat. Pada 2020, SAFEnet mencatat ada 147 aduan, kemudian 2021 meningkat jadi 193, dan 2022 melonjak jadi 302 laporan. Menurut Sekretaris SAFenet, Anton Muhajir, OMS rentan menjadi korban serangan digital karena penggunaan teknologi digital yang tinggi, isu yang dikerjakan sensitif, dan kurangnya kapasitas.
Anton juga membagikan strategi dasar untuk mencegah serangan digital yakni mengurangi jejak digital, mengendalikan yang bisa akses, melindungi aset dan identitas, sembunyi dari pelacakan, dan memilih program dan aplikasi yang aman. “Perangkat digital serupa badan kita, jadi penting sekali untuk menjaga kesehatan dan kebersihannya,” pesan Anton.
Selama pelatihan, peserta juga membagikan pengalaman dan tantangan masing-masing OMS. Menurut Radit dari LBH Semarang, pelatihan ini berhasil memberikan sudut pandang baru soal menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil. Senada dengan Radit, Mei dari Yayasan Bina Karta Lestari juga berpendapat pelatihan yang diselenggarakan PSHK berhasil memberi banyak insight soal tata kelola OMS yang baik dan cara mengatasi ancaman serangan digital dan kriminalisasi. “Pelatihan ini juga mendorong solidaritas bahwa kami tidak bekerja sendiri, tapi kami punya banyak teman dan perlu saling memperkuat satu sama lain,” ungkap Mei.