Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan pemeriksaan perkara pengujian atas syarat usia minimal menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan melalui permohonan nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023. Ketiga perkara tersebut mempersoalkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mensyaratkan capres dan cawapres untuk berusia paling rendah 40 tahun. Para pemohon meminta MK untuk menurunkan syarat usia capres dan cawapres dengan alasan bahwa syarat tersebut diskriminatif bagi kelompok orang muda, seperti yang didalilkan pada Permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda menilai MK perlu menolak permohonan tersebut karena batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional, melainkan pilihan kebijakan (open legal policy). Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK konsisten berpendirian bahwa syarat usia jabatan publik merupakan open legal policy yang sepenuhnya merupakan kebebasan pembentuk undang-undang untuk mengatur. “Ini merupakan ujian terhadap kredibilitas dan konsistensi Mahkamah Konstitusi tentang open legal policy syarat usia jabatan publik,” ungkap Violla.
Violla juga mengatakan jika MK mengabulkan permohonan tersebut, maka akan ada potensi institutional disaster karena terjadi perubahan peraturan teknis secara cepat, terutama mendekati waktu pendaftaran capres dan cawapres. Oleh karena itu, sebaiknya batasan usia capres dan cawapres diformulasikan melalui perubahan legislasi secara komprehensif dan partisipatif.
Hal tersebut disampaikan Violla dalam diskusi publik bertajuk “Menilik Syarat Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden: Membaca Potensi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Potret Kepemimpinan Orang Muda” yang diselenggarakan oleh PSHK bekerja sama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Blok Politik Pelajar, secara daring pada Selasa (26/09/2023).
Direktur PUSaKO Charles Simabura menduga bahwa upaya menurunkan batas usia capres dan cawapres melalui uji materi MK karena Presiden Joko Widodo tidak bisa membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) karena kental dengan konflik kepentingan. Sementara itu, jika melalui fast track legislation akan sulit karena membutuhkan persetujuan fraksi-fraksi di DPR. Charles mengimbau MK untuk menolak uji materi tersebut agar MK terbebas dari konflik kepentingan. Idealnya, batasan minimal capres dan cawapres dilakukan melalui revisi UU Pemilu.
Senada dengan Charles, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menuturkan bahwa penyelenggaraan pemilu membutuhkan kepastian hukum, sehingga jika ingin melakukan perubahan batasan usia minimal capres dan cawapres, hal itu dapat ditempuh dengan merevisi UU Pemilu. Dengan merevisi UU Pemilu, pemerintah dan DPR bisa merumuskan secara tuntas dari berbagai perspektif kriteria seseorang yang layak maju menjadi pemimpin negara. “Ketika dibahas melalui revisi UU Pemilu, semua pihak bisa terlibat memberikan masukan yang komprehensif,” ungkap Khoirunnisa.
Khoirunnisa menegaskan bahwa penolakan terhadap uji materi ini bukan upaya menghambat partisipasi politik elektoral orang muda. Namun, uji materi ini terasa kental dengan nuansa konflik kepentingan yang tidak berasal dari keinginan orang muda. Khoirunnisa berharap dengan adanya uji materi ini, diskusi soal syarat ideal pengisian jabatan publik dapat dilanjutkan setelah Pemilu 2024 dengan lebih terbuka, demokratis, dan mendorong proses kelembagaan partai politik.
Juru Bicara Blok Politik Pelajar Delpedro Marhaen menuturkan bahwa batas usia capres dan cawapres merupakan simplifikasi dari persoalan partisipasi politik orang muda. Terlebih, upaya uji materi batas minimal usia capres-cawapres ini tidak merepresentasikan jawaban atas masalah partisipasi politik yang dihadapi oleh orang muda seperti politik kekeluargaan, politik uang, dan tokenisme. Delpedro menambahkan, dalam menumbuhkan kepemimpinan politik orang muda harus dibangun melalui dimensi politik sehari-hari, bukan hanya politik elektoral.
Diskusi “Menilik Syarat Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden: Membaca Potensi Putusan Mahkamah Konstitusi dan Potret Kepemimpinan Orang Muda” dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.