Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) belum kunjung dibahas oleh DPR meskipun pemerintah telah mengirimkan surat presiden sejak 4 Mei 2023.
RUU Perampasan Aset harus terus didorong untuk mengoptimalkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan asset recovery. RUU Perampasan Aset akan mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri dari sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset. Selain itu, terdapat batasan aset tindak pidana yang dapat dirampas, yaitu aset yang bernilai Rp100 juta ke atas dan aset yang berkaitan dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.
Hal tersebut disampaikan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang juga merupakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan periode 2002-2011, Yunus Husein, dalam diskusi bertajuk “Jalur Lambat RUU Perampasan Aset di Tahun Pemilu” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berkolaborasi dengan Themis Indonesia pada Kamis (2/11/2023) secara daring.
Terkait pengelolaan aset, Yunus mengungkapkan, saat ini pelaksanaan tugas pengelolaan aset tersebar di beberapa kementerian dan lembaga sehingga kurang efektif dan efisien. Selain itu, pencatatannya juga masih tersebar dan tidak terintegrasi, serta banyak aset sitaan dan rampasan yang terbengkalai. Harapannya, RUU Perampasan Aset dapat mengatasi berbagai masalah tersebut dengan tugas-tugas pengelolaan aset yang terintegrasi mulai dari penyimpanan sampai pengembalian aset tindak pidana.
Dari aspek proses legislasi, Direktur Eksekutif PSHK Rizky Argama menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset berpeluang kecil diselesaikan pada tahun terakhir periode DPR 2019-2024. Hal ini disebabkan oleh adanya limitasi bagi Komisi-komisi di DPR untuk membahas maksimal dua RUU dalam satu tahun berjalan. Saat ini, Komisi III DPR, yang bertanggung jawab atas RUU Perampasan Aset, tengah membahas RUU Hukum Acara Perdata dan RUU Narkotika. Dengan demikian, RUU Perampasan Aset baru akan dibahas jika salah satu atau kedua RUU tersebut selesai dibahas.
Terkait kinerja legislasi pada tahun pemilu, Gama menuturkan bahwa lame duck session, yakni periode sesudah pemilihan umum dan sebelum anggota DPR yang baru dilantik, tidak sepenuhnya menjadi faktor yang menurunkan capaian kuantitas legislasi. Dari tiga periode terakhir, penurunan jumlah capaian RUU di masa lame duck session hanya terjadi pada 2009. Sementara pada 2014, jumlah RUU justru mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, dan pada 2019 cenderung konstan. Jika dilihat dari kualitas, sejumlah RUU bermasalah justru dibahas dan disetujui pada tahun pemilu. Sebagai contoh, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, dan UU KPK yang dibahas dan disetujui menjadi UU melalui proses legislasi yang tergesa-gesa, tidak partisipatif, dan memancing protes publik.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Edita Elda menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset penting untuk disahkan guna melengkapi KUHP Baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Elda juga menjelaskan bahwa hukum acara perampasan aset diatur khusus dikarenakan hukum acara perampasan aset di dalam RUU menekankan pada konsep negara versus aset (in rem). Konsep in rem juga mengatur mengenai pelindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik dan memiliki keterkaitan dengan aset yang diajukan permohonan perampasan aset.
Diskusi yang dimoderatori oleh Asisten Peneliti PSHK Bugivia Maharani tersebut dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.