Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyelenggarakan Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) bertajuk “Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan dari Perspektif Praktisi Hukum” pada Selasa (5/12/2023) di kampus Jentera.
Diskusi ini membahas buku berjudul Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan yang ditulis oleh Anggota Komisi Yudisial RI Binziad Kadafi. Buku itu diangkat dari disertasi yang telah dipertahankan dalam sidang terbuka di Tilburg University, Belanda, pada Desember 2019. Buku ini memberikan kontribusi teori yaitu fungsi Peninjauan Kembali (PK) dalam menjaga finalitas putusan dan menjembatani ne bis in idem, sebuah asas yang melarang dibukanya suatu perbuatan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap dan PK yang merupakan mekanisme untuk menguji putusan hakim.
Binziad Kadafi, yang akrab disapa Dafi, menuturkan bahwa PK yang seharusnya jadi upaya hukum yang eksklusif dan istimewa, justru dijadikan sebagai satu-satunya upaya hukum seperti banding biasa, terutama pada PK pidana khusus yang terdiri dari kasus narkotika dan tindak pidana korupsi. Pada 2022, terdapat 9.519 permohonan PK dengan 64% di antaranya PK pajak, masuk ke Mahkamah Agung (MA) untuk berbagai jenis perkara. Sementara itu, untuk persentase PK pidana khusus terhadap putusan PN jumlahnya juga melonjak sangat drastis hingga mencapai 68,4%. Menurut Dafi, akibat tingginya arus perkara, hasil pemeriksaan PK di MA tidak lagi “mengesankan”, sehingga bisa ditemukan putusan-putusan PK yang dianggap bermasalah. “Masalah konsistensi jadi sorotan sejak lama dalam putusan-putusan PK,” ungkap Dafi.
Dafi juga mengungkapkan beberapa usulan fondasi baru dalam merancang sistem PK ke depan, yaitu PK hanya dapat diajukan dalam putusan final; PK tidak dibatasi hanya satu kali selama alasan yang diajukan adalah bukti baru yang dapat mengantarkan pada kualifikasi hukum yang berbeda dan diajukan secara hati-hati; alasan materiil PK hanya terdiri dari novum, putusan saling bertentangan, falsum, dan pernyataan terbukti tanpa pemidanaan; penerimaan permohonan PK juga hanya diajukan kepada MA; dan pemeriksaan materiil PK didorong untuk dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terdekat dari locus delicti.
Hakim Adhoc Tipikor PN Palangkaraya Muji Kartika Rahayu menuturkan bahwa adanya putusan yang saling bertentangan dalam satu perkara sama yang dipisah persidangannya adalah semata karena majelis hakimnya berbeda, sehingga putusan menjadi otonomi dan tanggung jawab masing-masing majelis hakim. Menurutnya, dalam kondisi seperti itu seharusnya majelis hakimnya disamakan untuk menghindari pertentangan putusan. “Seharusnya saat penetapan majelis, hakimnya sama saja sehingga putusannya tidak bertentangan. Ini problemnya adalah manajemen persidangan,” ungkap Kanti, sapaan akrab Muji.
Pengajar STH Indonesia Jentera Asfinawati menuturkan bahwa PK merupakan cerminan masalah peradilan seperti kesalahan hakim, putusan yang tidak bisa dilaksanakan, dan taktik untuk mengulur waktu. Seharusnya, PK dan juga upaya hukum lain dapat dilihat sebagai jurisgenerative yaitu hukum bukan sebagai norma, tapi hukum sebagai makna. Perdebatan di dalam persidangan maupun di luar persidangan merupakan upaya dalam pembentukan makna hukum. ”Meskipun putusan PK tidak konsisten atau terlalu banyak, pada akhirnya putusan dan perdebatan itu dapat memberikan makna baru sehingga kita bisa menciptakan peradaban sistem hukum yang baru,” ungkap Asfin.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2023, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Seri Diskusi FKP bertajuk “Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan dari Perspektif Praktisi Hukum” yang dimoderatori oleh Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.