Sepanjang 2023, DPR dan Presiden hanya berhasil mengesahkan 6 dari 39 RUU Prioritas. Dari jumlah tersebut, 27 RUU diketahui tanpa perkembangan dan 10 RUU masih dalam pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah.
Capaian yang rendah pada 2023 juga tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sepanjang 2020 DPR dan Presiden hanya berhasil mengesahkan 3 dari 37 RUU Prioritas, jumlah yang sama berulang pada 2021, dan pada 2022 menjadi 7 dari 40 RUU Prioritas yang berhasil disahkan.
Menurut Asisten Peneliti PSHK Bugivia Maharani, jumlah target yang ditetapkan dalam prolegnas prioritas tidak rasional dan DPR tidak pernah belajar dari pengalaman pencapaian target persetujuan UU. “Hal ini membuktikan adanya ketidaksiapan pada tahap perencanaan prolegnas yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah,” ungkap perempuan yang akrab disapa Rani.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Diskusi Forum Kajian Pembangunan (FKP) bertajuk “Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023: Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi” pada Jumat (22/12/2023) secara daring.
Terkait akses informasi, Rani mengungkapkan bahwa tidak semua informasi yang tercantum dalam rekam jejak legislasi DPR sesuai dengan progres terkini. Sebagian besar RUU dengan informasi proses pembahasan justru tidak memuat dokumen pendukung. Padahal, akses terhadap informasi legislasi sangat berkaitan erat dengan partisipasi publik yang bermakna.
Rani juga menyoroti singkatnya masa pembahasan RUU yang mendapat kritikan dan penolakan publik seperti seperti RUU Perubahan Kedua UU ITE, RUU Kesehatan, RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK), dan RUU Ibu Kota Negara (IKN). Sementara RUU yang didorong oleh publik untuk segera dibahas dan disahkan seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga justru jalan di tempat.
Lebih lanjut, Peneliti PSHK Violla Reininda menilai terdapat penyempitan ruang gerak masyarakat sipil dan dekadensi demokrasi yang terlihat dari pelemahan institusi demokrasi seperti intervensi Mahkamah Konstitusi dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pelemahan kelompok oposisi, dan pembungkaman kebebasan dan hak hak sipil.
Untuk memperluas dan melindungi ruang gerak masyarakat sipil, Violla mengungkapkan lima langkah yang perlu diperkuat. Pertama, pembentuk undang-undang memfasilitasi dan mempertimbangkan keterlibatan publik yang bermakna, baik secara informal maupun formal. Kedua, adanya oposisi yang melakukan checks and balances dalam pembentukan legislasi. Ketiga, transparansi dan aksesibilitas informasi. Keempat, justifikasi akademis serta kejelasan metode dan teknik perancangan. Terakhir, tersedianya waktu yang memadai.
Upaya untuk menjaga partisipasi publik juga muncul dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU XVII/2020 tentang Pengujian Formil UU Cipta Kerja yang mengamanatkan prasyarat partisipasi yang bermakna dalam pembentukan undang-undang yang meliputi hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Menurut Violla, DPR dan Presiden terus mempraktikkan praktik legislasi tanpa partisipasi publik. Kemunduran ini bisa terus dipertahankan karena minimnya kelompok oposisi di DPR. “Pemilu 2024 harus dijadikan momentum untuk mereformasi praktik berdemokrasi dan supremasi konstitusi,” tegas Violla.
Pada kesempatan yang sama, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Fajri Nursyamsi mengungkapkan terdapat lima hambatan partisipasi legislasi yaitu dokumen legislasi yang tidak terpublikasi; sulit mengakses rapat pembahasan RUU; pembahasan terburu-buru sehingga tidak ada waktu untuk membuka ruang partisipasi; partisipasi yang ada masih satu arah; dan partisipasi masih dimaknai sebagai mobilisasi. “Kehadiran kelompok masyarakat untuk memberikan masukan dalam pembahasan RUU hanya sebatas formalitas untuk memenuhi tahapan pembahasan,” ungkap Fajri.
Untuk perbaikan penyusunan legislasi ke depan, Fajri mengusulkan beberapa hal, yaitu perlu adanya penegasan pihak yang bertugas menghadirkan transparansi dan partisipasi dalam proses legislasi; ruang partisipasi harus bersifat dialogis; perketat syarat penentuan Rapat Tertutup; obyek kerahasiaan terletak pada informasi, sehingga dokumen tetap dipublikasikan; perkuat kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan advokasi kebijakan di masyarakat sipil; perluas peluang kolaborasi lintas isu di kelompok masyarakat sipil, dan pentingnya membangun ruang partisipasi yang inklusif.
Forum Kajian Pembangunan (FKP) merupakan sebuah konsorsium yang terdiri dari berbagai institusi di Indonesia, yang bekerja sama dengan the Indonesia Project (Australian National University). Pada Desember 2023, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menjadi tuan rumah untuk acara FKP.
Seri Diskusi FKP bertajuk “Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023: Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi” yang dimoderatori oleh Asisten Peneliti PSHK Cikal Restu Syiffawidiyana dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube PSHK Indonesia.