Saat ini, dunia menghadapi tren penyempitan ruang gerak masyarakat sipil. Laporan CIVICUS pada 2021 menyatakan 43,4% orang tinggal di negara yang ruang sipilnya berada dalam represi negara; sebaliknya, hanya 3,1% populasi dunia yang hidup dalam ruang sipil terbuka. Selain itu, Freedom House dalam laporannya menyoroti terus menurunnya kualitas pelindungan hak-hak sipil dan politik di dunia. Fenomena ini dikenal dengan istilah penyempitan ruang gerak ma-syarakat sipil (shrinking civic space) yang dalam praktiknya masih kerap muncul tindakan diskriminasi.
Civicspace, atau yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai ‘ruang gerak masyarakat sipil’, adalah infrastruktur sosial yang berisi lingkungan pendukung atau arena bagi aktor-aktor masyarakat sipil (civil society actors) untuk bergerak dalam rangka mempengaruhi struktur sosial dan politik di sekitarnya. Infrastruktur sosial tersebut ditopang oleh pilar-pilar penting hak asasi manusia dalam bidang sipil dan politik, di antaranya hak kebebasan berekspresi, berpendapat, berorganisasi dan berpartisipasi, serta hak-hak lainnya di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Sementara itu, aktor masyarakat sipil yang dimaksud adalah warga, baik individu maupun yang tergabung secara kolektif dalam wadah organisasi masyarakat sipil (civil society organ-izations).
Ruang gerak masyarakat sipil yang vibrant dibutuhkan agar warga mampu memberdayakan dirinya guna berkontribusi dalam upaya perubahan sosial, sekaligus terlibat aktif dalam pembentukan kebijakan maupun tata kelola pemerintahan. Untuk itu, negara harus mendorong dan melindungi terbentuknya civic space yang aman dan memberdayakan, agar aktor masyarakat sipil bisa bergerak bebas dan berperan aktif bersama sektor lainnya, yaitu sektor negara (state) dan sektor pasar (market).
Bagaimana dengan di Indonesia? Fenomena penyempitan ruang gerak masyarakat juga tampak di Indonesia. Pada 2021, misalnya, Freedom House memberikan penilaian kepada status demokrasi Indonesia sebagai ‘partly free’. Kendati pun situasi di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan pada aspek kerangka hukum maupun implementasi peraturan perundang-undangan terkait civic space sejak era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca-Reformasi 1998, persoalan civic space nyatanya tidak pernah benar-benar tuntas.
Bahkan, belakangan publik semakin sering mendengar berita-berita seperti penangkapan terhadap pengunjuk rasa damai, kriminalisasi aktivis, kekerasan terhadap jurnalis, hingga pembubaran organisasi karena dicap bertentangan dengan ideologi negara. Pasang surut hukum seputar ruang gerak masyarakat sipil ini perlu dicatat dan dipetakan untuk memberikan informasi dan rujukan bagi aktor-aktor politik dan hukum–seperti pengadilan, parlemen, dan lembaga pemerintahan–agar dapat lebih memahami konteks problematika ruang gerak masyarakat sipil.
Berangkat dari konteks tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menyusun sebuah buku yang berasal dari kumpulan tulisan yang merupakan sumbangsih berharga dari sejumlah penulis yang berpartisipasi dalam Konferensi Nasional Kebebasan Sipil (KNKS) 2023. KNKS 2023 menjadi platform penting bagi para akademisi, praktisi, dan aktivis yang peduli terhadap kebebasan sipil untuk berbagi pemikiran, hasil peneliti-an, serta pengalaman dalam upaya memperkuat fondasi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Melalui rencana penerbitan buku ini, harapannya adalah agar kebebasan sipil dapat terus dirawat dan menjadi fokus bahasan yang relevan. Buku ini diharapkan dapat menjadi bukti konkret bahwa diskursus mengenai kebebasan sipil masih memiliki daya hidup yang tinggi dan perlu terus didiskusikan serta dituangkan dalam karya-karya akademik yang komprehensif. Sebagai sumber pengetahuan dan panduan, diharapkan buku ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap pemahaman ma-syarakat terkait pentingnya menjaga dan memperjuangkan kebebasan sipil di tengah dinamika perubahan zaman.