Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dengan dukungan Kemitraan menerbitkan Laporan Evaluasi Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2019-2024 pada Jumat (6/9/2024) di Jakarta. Penulisan catatan kritis ini merupakan respon terhadap kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan, terutama terkait keberadaan KPK yang perlahan juga mulai dipertanyakan efektivitasnya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Tak hanya itu, rentetan kontroversi juga terus menerpa KPK dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Mulai dari rendahnya kuantitas serta kualitas penindakan, skandal pelanggaran etik, hingga memburuknya tata kelola kelembagaan.
Direktur Eksekutif PSHK Rizky Argama dalam sambutannya menyampaikan bahwa perubahan Undang-Undang KPK pada 2019 membuat KPK secara resmi kehilangan jati dirinya sebagai lembaga antikorupsi yang independen. “Aktor utama penggerogotan kewenangan KPK melalui revisi UU KPK adalah DPR dan Presiden, dengan produk legislasi sebagai instrumennya. Ini merupakan gejala yang oleh banyak ahli politik disebut sebagai autocratic legalism atau legalisme otokrasi, yakni penggunaan hukum—baik lembaga, aparat, ataupun produk keputusan ataupun peraturan—untuk melegitimasi tindakan penguasa,” ungkap Gama—begitu ia biasa disapa.
Peneliti PSHK Muhammad Nur Ramadhan, yang merupakan salah satu penulis dalam penelitian ini, menuturkan bahwa revisi UU KPK memiliki beberapa implikasi seperti problematika kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan yang memunculkan celah untuk menghentikan kasus korupsi yang belum selesai dan mengikis kepercayaan publik terhadap kualitas perkara di KPK, status pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut, hancurnya independensi melalui alih status kepegawaian KPK, ketidakjelasan posisi dan kewenangan Dewan Pengawas KPK, dan kontroversi pengaturan batas minimum usia pencalonan pimpinan KPK.
Peneliti ICW Diky Anandya, yang merupakan salah satu penulis dalam penelitian ini, menyampaikan bahwa untuk memperbaiki tata kelola kelembagaan KPK diperlukan perubahan regulasi kembali melalui revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 dengan mempertimbangkan pemenuhan partisipasi yang bermakna dalam penyusunannya. Secara kelembagaan, KPK perlu menonjolkan peran terhadap upaya pencegahan terhadap sektor-sektor yang memiliki resiko tinggi terjadi korupsi, misalnya korupsi sektor politik dan sumber daya alam.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang hadir sebagai penanggap meminta agar publik tidak terlalu berharap terlalu tinggi pada KPK dalam situasi saat ini. Menurut Alex, kebijakan terkait pemberantasan korupsi di Indonesia tidak fokus karena ada lembaga lain yang menangani perkara korupsi yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini berbeda dengan Hong Kong yang hanya ditangani oleh satu lembaga pemberantasan korupsi sehingga kebijakan fokus dan penanganan perkara lebih menyeluruh.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Bivitri Susanti Jentera sebagai penanggap menyatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir lembaga-lembaga yang memiliki wewenang mengawasi kekuasaan sedang dilemahkan. Upaya untuk merusak independensi lembaga negara seperti KPK dan lembaga-lembaga lain adalah melalui proses pemilihan pimpinannya. Menurut Bivitri, jalan satu-satunya jalan memperbaiki KPK adalah dengan merevisi UU KPK kembali.
Peluncuran laporan ini dihadiri oleh Koordinator Antikorupsi United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Putri Wijayanti dan Peneliti ICW Kurnia Ramadhana sebagai penanggap dan dimoderatori oleh jurnalis Rivana Pratiwi. Peluncuran laporan ini dapat disaksikan ulang melalui YouTube Sahabat ICW.