Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) kembali menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun mengenai Pemilu bertajuk “Catatan Kritis Pemenuhan Hak Memilih dan Dipilih Menuju Pemilu Serentak 2024” pada Jumat (18/11/2022) secara daring. Kegiatan ini melibatkan delapan perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan akademisi yang selama ini mendorong dan membantu pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu dalam mereformasi hukum Pemilu.
Dalam diskusi tersebut, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Huuriyah, menyoroti data kependudukan yang masih belum akurat. Hal tersebut penting karena data penduduk merupakan instrumen utama Pemilu yang akan menentukan daerah pemilihan (dapil), menentukan jumlah pemilih, dan menentukan alokasi kursi yang dibutuhkan dalam Pemilu. Huuriyah juga menyoroti perspektif penyelenggara dan peserta Pemilu dalam melihat masyarakat sebagai pemilih, “Persoalan utamanya adalah pemosisian warga yang cenderung hanya ditempatkan sebagai voters bukan demos. Publik lebih ditekankan untuk “ayo memilih” ketimbang diberikan edukasi politik yang lebih dalam sehingga publik memahami bagaimana keterkaitan penggunaan hak pilihnya dengan persoalan representasi,” ungkap Huuriyah.
Senada dengan Huuriyah, Wakil Ketua Cakra Wikara Indonesia, Dirga Ardiansa menilai bahwa ambang batas parlemen yang tinggi dapat menyebabkan suara hilang sehinggga bisa menurunkan tingkat representasi. Terkait dengan representasi perempuan, Dirga mendorong organisasi masyarakat sipil untuk membuat data bakal calon legisltaif (bacaleg) perempuan potential seperti Emily’s List untuk mendorong pencalonan yang lebih baik dengan memperhatikan wilayah dan nomor urut.
Terkait dengan hak memilih kelompok rentan, Eka Setiawan dari Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUA Disabilitas) menilai bahwa kelompok disabilitas kurang mendapatkan informasi mengenai rekam jejak calon dikarenakan minimnya informasi yang dapat diakses oleh berbagai ragam disabilitas. Sementara untuk masyarakat adat, Yayan Hidayat yang merupakan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyoroti tidak didirikannya TPS pada Pemilu 2019 pada beberapa area yang mengalami konflik wilayah adat. Selain itu, masyarakat adat yang berada dalam konservasi dan hutan negara juga tidak bisa memilih karena tidak memiliki KTP-el dan Kartu Keluarga. “Setidaknya terdapat 121 komunitas adat dalam kawasan konservasi, tersebar di 9 provinsi: Banten, Sumut, NTT, Sulsel, Sulteng. Kalteng, Bengkulu, Papua, dan Riau dengan total 3,2 juta masyarakat adat yang tidak dapat mengurus KTP-el maupun Kartu Keluarga,” ungkap Yayan.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay, menuturkan bahwa cara memilih perlu diperluas untuk mengakomodasi warga menggunakan hak pilihnya. Mekanisme pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) terkadang menyulitkan warga yang memiliki mobilitas tinggi, oleh karena itu perlu dibuka kemungkinan pemungutan suara seperti di luar negeri yang dapat dilakukan melalui pos atau bisa didahulukan sebelum hari pemungutan suara.