Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) mengadakan diskusi publik bertema Agenda Reformasi Regulasi: Penataan Kelembagaan Regulasi di Daerah pada Kamis (4/4/2019) di Banda Aceh. Diskusi ini merupakan rangkaian dari diskusi daerah yang sebelumnya juga dilaksanakan di Makassar dan Semarang.
Diskusi publik menghadirkan empat narasumber, yakni perwakilan Kementerian PPN/Kepala Bappenas Mumtaz, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah Ilyas Ismail, Kepala Bagian Hukum Pemprov Aceh M. Junaidi, dan Direktur Riset dan Inovasi PSHK Rizky Argama. Diskusi juga dihadiri berbagai elemen seperti pimpinan perwakilan lembaga negara, pemerintah derah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, DPRD Provinsi dan DPRD kabuptaen/kota, akademisi dari berbagai perguruan tinggi, praktisi, pakar, lembaga riset, NGO, tokoh masyarakat, advokat, dan media.
Dalam sambutanya membuka diskusi, Wakil Rektor II Unsyiah Agus Sabti menyampaikan bahwa keadaan regulasi Indonesia sekarang sedang mengalami hiperregulasi dan tumpang tindih, akibatnya hukum tidak bisa menata keadaan dengan baik dan menghambat pembangunan bangsa.
Senada dengan itu, Mumtaz Soraya juga mengemukakan bahwa peraturan yang ada di Indonesia saat ini mengalami over regulasi, “Regulasi kita sudah obesitas” ujar Soraya. Menurutnya, saat ini tidak satu kementerian pun yang mengetahui secara persis jumlah peraturan yang telah mereka keluarkan dan yang masih berlaku sampai saat ini. Banyaknya aturan yang dikeluarkan telah berpotensi menimbulkan konflik regulasi. Sehingga, efeknya hampir sebagian besar program pembangunan yang ada di Indonesia, khususnya di daerah jadi terhambat. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga khusus pengelola regulasi yang akan mengontrol keluar masuknya regulasi di Indonesia dan menyinkrokan perencanaan regulasi dengan perencanaan pembangunan.
Hal serupa disampaikan Rizky Argama, riset yang dilakukan PSHK menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peraturan terbanyak di dunia. Kualitas regulasi Indonesia juga rendah, bahkan kalah dari negara-negara di Asia tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Menurutnya, kondisi tersebut akan berimplikasi selain menyebabkan tumpang tindih (over lapping) antara peraturan baik secara vertikal maupun horizontal dan menimbulkan kebingungan bagi penyelenggara pemerintahan, terutama di daerah. Melihat kondisi itu, penyelenggara negara seyogyanya tidak meletakkan pada kuantitas peraturan yang telah dibentuk sebagai tolok ukur kesuksesan pemerintahan, melainkan juga harus melihat aspek kualitasnya.
Selain persoalan hiperregulasi, persoalan lain regulasi Indonesia adalah tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan, tidak berkesesuaian dengan materi muatan, tidak efektif dalam implementasi dan tumpang tindih kewenangan kelembagaan pembentuk regulasi. Senada dengan Soraya, Rizky Argama juga mengusulkan perlunya dibentuk lembaga tunggal pengelola regulasi untuk mengatasi segala persoalan regulasi di Indonesia.
Ilyas Ismail selaku Dekan FH Unsyiah dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa saat ini ada kemungkinan pembentukan lembaga pengelola regulasi. “Saya menilai, peraturan perundang-undangan jumlahnya terlalu banyak, adanya pertentangan antar ketentuan perundang-undangan, dan yang berwenang menerbitkan ketentuan perundang-undangan tersebar di beberapa lembaga atau pejabat” ungkapnya.
Dia mencontohkan, sekarang ada regulasi yang tidak ada aturan pelaksanannya. Bahkan ada peraturan yang sudah kedaluwarsa tapi belum juga ada pelaksanaannya. Seperti pelaksanaan pasal 22 ayat (1) UU 5/1960 atau Pasal 214 dan Pasal 253 UU11/2006 dan Perpres 23/2015 yang sampai sekarang tidak dilaksanakan aturannya oleh Pemerintah.
Dalam konteks Aceh, M. Junaidi juga menyampaikan dukungan pembentukan badan regulasi nasional yang sedang direncanakan. Bahkan, di Aceh juga harus dibentuk Badan Pembinaan Hukum Aceh (BPHA) karena kekhususan regulasi yang dibuat (Qanun). (AO)